Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Darurat Cerai

10 Februari 2018   10:19 Diperbarui: 10 Februari 2018   20:33 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Darurat Cerai (voa-islam.com)

Kasus perceraian dan KDRT kini semakin bertambah signifikan dalam kasus rumah tangga di Indonesia, umumnya di lakukan oleh hampir semua kalangan baik muslim, non muslim, kaya, miskin bukan merupakan hal baru dan tabu di lakukan, ada baiknya pemerintah turun tangan menangani masalah ini sebab runtuhnya rumah tangga merupakan keruntuhan suatu bangsa.

Pernikahan kini bukan lagi mahligai suci untuk berkasih sayang dan mendapatkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana pasal 1 UU no.1 tahun 1974. Pernikahan beralih fungsi menjadi ajang "smackdown" bagi petarung. Apa yang salah dalam fenomena ini?

Masalah sepele bisa menjadi bom waktu bagi masa depan generasi pelanjut di Indonesia.  Dari berbagai fenomena selama ini, jika terbukti salah satu pihak (apakah suami atau istril melakukan perselingkuhan), maka demi harga diri seorang suami misalnya, langsung membunuh istri. Ini menjadi masalah sangat krusial untuk dicari solusinya.

Mestinya sebelum tarjadi kekerasan dalam rumah tangga, salah satu pihak harus segera melaporkannya kepada orangtua atau kepada pihak yang berwajib alias polisi. Namun, sering terjadi tekanan psikis [mental] kepada salah satu pihak, karena apabila peristiwa tersebut dilaporkan kepada pihak lain, karena sebelumnya telah diancam jangan melaporkannya kepada pihak lain, maka dampaknya salah satu pihak akan dibabat habis oleh pasangannya.

Dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tantang Penghapusan KDRT menyangkut: kekerasan fisik, kekarasan psikis,  kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Anehnya perseteruan dam perselingkuhan tersebut diketahui dan dijadikan contoh oleh anak-anak dan keturunannya, sehingga secara turun temurun dan secara tak langsung  keluarga itu melahirkan anak-cucu yang tidak sehat dan kurang bermoral.

Apalagi ketika si anak kelak dewasa dan menikah, tidak jarang sang anak-anak yang sudah beranjak dewasa  pun akan melampiaskan kebiasaan itu kepada pasangannya. Akibat dampak ini. Tentu saja hal ini meniadi tantangan berat bagi orangtua zaman now, khususnya bagi pemerintah.

Di Indonesia, menurut data BPS ada sekitar 2 juta pasangan yang mencatatkan pernjkahan di KUA, sayangnya 300.000 pasangan di antaranya bercerai dengan berbagai alasan. Dari jumlah itu, 70 persen gugatan perceraian ke Pengadilan Agama diajukan oleh perempuan atau khuluq dalam islam. Ada banyak faktor dan motif mengapa terjadi perceraian, tapi jika bercerai  dalam cerai masih hidup, itu masih waiar; akan tetapi jika putus cinta karena kematian disebabkan perkelahian dan penganiayaan? Ini yang menjadi persoalan krusial.

Secara faktual, berbagai alasan parcemian ditemukan di parsidangan, karena usia relalif masih muda, sehingga mereka tidak mengerti secara mendalam arti perkawinan tersebut, karena alasan ekonomi, alasan pendidikan, perkawinan itu terjadi karena keadaan terpaksa, artinya karena salah satu wanita telah lebih dulu hamil di luar nikah, akibatnya orang tua tidak dilibatkan dalam pemilihan  jodoh, 1191'] adanya persepsi pendapat yang berbeda dan berkepanjangan hingga tidak dapat diselesaikan.

Dan dampak dari semua persoalan tersebut terjadilah percekcokan yang berkepanjangan, rumah tangga tidak lagi meniadi istana keluarga umuk melahirka.n keturunan yang berkualitas, sehingga selain terjadi kekerasan dalam rumah tangga bahkan Karena tidak betah muncullah  berbagai skandal parselingkuhan suami istri.

Ada baiknya pemeritah kembali mengamandemen UU pernikahan dimana  menurut ketentuan Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan, meneka yang sudah berusia 21 tahun tanpa persetuiuan orangtua, kecuali di bawah usia 21 tahun bisa menikah.Itu pun, menurut penulis, tidak dapat diterima lagi.

Manurut penulis sebaiknya usia perempuan minimal 21 tahun, sedangkan usia pria minimal 25 tahun dengan syarat salah satu pihak telah  penghasilan tetap. Selain itu setiap pasangan tarsebut harus terlebih dahulu mendapat persetuiuan dan restu dari masing-masing kedua orang tua.

Karena yang melahirkannya adalah orangtua itu sendiri. Sebelum menikah, mereka harus terlebih dulu mandapat bimbingan rohani dari pembina rohani yang ditetapkan setiap agama. Hal ini patut dilakukan, sehingga masing-masing "iman" calon mempelai menjadi kuat untuk mempertahankan dam membangun rumah tangga yang lebih baik. Bila perlu sebelum pernikahan harus diatur persyaratan yang tegas, yakni manikah masih dalam posisi , suci artinya masih perawan atau tidak.

Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, barangkali pernikahan bisa ditunda dulu. Mengapa harus demikian untuk mencegah terjadinya perpecahan dalam rumah tangga. Bisa saja pernikahan tersebut terjadinya karena telah hamil duluan.

Namun tentu perlu ditelaah lagi apakah tidak perawaan karena telah bersetubuh atau karena kecelakaan saya kira memang demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun