Indonesia masih menjadi konsumen ilmu pengetahuan, bukan memproduksi ilmu pengetahuan hal ini bisa dilihat dari jumlah karya ilmiah orang Indonesia yang terbit dijumal kelas dunia. Bisa juga dilihat dari jumlah buku yang terbit dan merupakan karya orang Indonesia. Â
Seperti di kutip di portal berita kompas Jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun.
Apa sebabnya masih sedikit karya di jurmal ilmiah atau buku karangan orang Indonesia?
Ada dua aspek yang bisa ditinjau yaitu kultur budaya dan ekonomi politik. Aspek kultur ilmiah terkait budaya ilmiah di lembaga pendidikan. Aspek ekonomi politik terkait keberpihakan dan dukungan finansial terhadap usaha produksi ilmu pengetahuan. Â Tingkatan budaya terkait ilmu ada lima level yaitu menyenangi ilmu, memahami ilmu, mencintai ilmu mengembangkan ilmu dan memproduksi ilmu.Â
Urutan tersebut merupakan sebab akibat.  Akan mudah memahami ilmu jika kita senang. Akan mudah mengembangkan ilmu jika kita mencintainya. Akhirnya akan mudah memproduksi ilmu jika sudah tumbuh  budaya mengembangkan ilmu .
Faktor kedua yang membangun produsen ilmu yaitu budaya menulis.  Kondisi negeri kita budaya menulis  masih rendah. Masyarakat kita lebih kuat budaya bicaranya. Dalam dunia pendidikan pun demikian. Guru dan dosen  masih banyak menggunakan waktunya untuk berbicara dan berceramah di kelas, ruang seminar. Jarang menggunakan  waktunya untuk menulis.
Mengapa pendidik jarang yang menulis? Karena tidak terbiasa. Mengapa tidak terbiasa? Karena tidak ada sistem yang memaksa pendidik untuk menulis. Pada tingkatan persekolahan guru tidak divajibkan membuat bahan ajar sendiri. Â Guru tinggal menggunakan buku yang dibuat oleh penerbit. Padahal sering terjadi buku dari penerbit tidak cocok 100% dengan kondisi aktual.
Faktor lain yang juga jadi sebab pendidik kurang semangat menulis yaitu rendahnya penghargaan financial  terhadap penulis. Royalti untuk penulis hanya sekitar 10%. Jika buku yang tebalnya 200 halaman harga Rp 50 ribu dicetak 1.000 eksemplar, maka royalti jika buku itu habis terjual yaitu Rp 5juta. Menulisnya membutuhkan waktu berbulan-bulan. Bandingkan jika dosen,  menjadi  narasumber seminar atau pelatihan. Satu hari bisa dapat honor jutaan rupiah. Jadi lebih banyak yang memilih menjadi pembicara daripada penulis.
Oleh karena itu untuk mendorong tumbuhnya produksi ilmu maka pemerintah harus memberikan insentif khusus kepada para pendidik dan ilmuwan yang menulis. Tentunya tak bisa dihidupkan fondasi nya yaitu membangun budaya ilmiah. Indikator utamanya yaitu tumbuhnya sikap senang dan cinta ilmu sehingga tumbuh kreativitas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H