Dewasa ini di negara kita banyak orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya  masuk ke Perguruan  Tinggi untuk mendapat  sesuatu yang berguna,bagi  kecerdikan dan skil  ijazah dengan nilai-nilai yang baik dengan harapan dapat dijadikan garansi  untuk mem- perolah penghasilan dan status sosial yang baik dalam masyarakat. Orang-orang kaya tak segan-segan membayar  mahal untuk pendidikan  anak-anaknya di sekolah bermutu.
Demikianpula orang-orang kurang mampu memeras keringat untuk bisa mencukupi keperluan pendidikan anak-anaknya. Pengeluaran duit yang tidak sedikit itu untuk bagi mereka adalah investasi jangka panjang. Dari pihak lembaga Pendidikan Tinggi, terjadi kompetisi dalam mempromosikan  fakultas-fakultas dan jurusan jurusan yang menjanjikan kegiatan di masa depan.
Masuk ke Pergurua Tinggi seharusnya bukan untuk tujuan praktis-utilitaris, atau kemanfaatan yang praktis. Perguruan nggi bertugas pertama-tama untuk  ngembangkan ilmu, yakni penge- tahuan yang mendalam. Jadi andaikata pun ilmu nantinya  untuk membangun karier, namun pertama tama karier yang menyangkut pengetahuan tentang proses proses fundamental,  Prinsip-prinsip dasar, dan metode-metode analitis yang asasi". Inilah pengetahuan yang kini lazim disebut sebagai profesionalitas. Terkait dengan itu. Kiranya kita harus menekankan pentingnya penelitian-penelitian dalam abstrak dan bersifat ilmiah.
Tujuan ini memang berbeda dari objek yang biasa dicari sebagai nilai, seperti kekayaan, kekuasaan atau rasa senang dalam hidup Meskipun demikian objek ilmu tetaplah objek yang  kekhasannya sendiri orientasi pendidikan di Indonesia untuk mencari pekerjaan berawal dari kebijakan kolonial yang membutuhkan pegawai-pegawai pemerintahan. Sebelum itu, di Jawa, tradisi pendidikan lama sangat menekankan pembinaan watak dan moral yang tinggi sebagaimana dapat kita baca dari ke- susasteraan Jawa. Ideal manusia terdidik adalah menjadi priyayi, "manusia utama, yang terhormat dalam masyarakat.
Karena kepribadian dan perilakunya. Ideal sebagai utama ini tampaknya masih ingin diperkembangkan oleh pendidikan-pendidikan bercorak nasional di zaman pergerakan nasional Pola ini merupakan reaksi terhadap pola pendidikan pemerintah kolonial saat itu, yang berorientasi pada pengisian lapangan kerja di perkebunan-perkebunan pemerintah atau menjadi mantri pamong praja. Gelar priyayi yang semula mempunyai konotasi dengan kehidupan.
Seorang satria atau bangsawan dengan muatan moral yang kuat, sekurang-kurangnya dalam arti sopan santun kini dipakai dalam kaitan pendidikan. "Priyayi adalah orang-orang yang telah menjalani pendidikan. Akan tetapi, tampaknya pemerintah kolonial menggunakan kata priyayi" untuk mempermudah klasifikasi sosial "Priyayi.
Menurut etimologinya guru, berasal dari bahasa Sansekerta dan memuat isi semantik yang berbeda dari dosen yang berasal dari bahasa Latin docere. Dalam tradisi India kuno, guru adalah pendidik yang cara hidupnya diikuti oleh murid murid yang hidup di ashramtu termuat pendidikan menyeluruh menyangkut pembentukan kepribadian anak. dislik, sementara dosen Idecente) secara semantik tidak memuat pengertian yang lebih jauh selain sebagai orang yang mengajar. Apakah belum saatnya untuk berpikir bahwa Perguruan Tinggi mesti dibebaskan dari kesan pendidikan moralis agar tekanan kehidupan ilmiah menjadi lebih terasa?
MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) dapat kita tempatkan sebagai Studi Generale sebagaimana kita maksud di atas, maka MKDU pun kiranya harus di mengerti dan ditempatkan pada proporsinya yang jelas. MKDU bukanlah persuasi untuk penanaman moral, apalagi yang bersifat indoktrinatif MKDU sebagai  Generale masih tetap penting dan relevan, tetapi perlu di tekankan coraknya yang ilmiah dan int bersifat pengolahan dan pengintegrasian pengetahuan dasar dan umum. MKDU membentuk mahasiswa menjadi manusia ilmiah yang kritis dan objektif sehingga mampu mempunyai yang kuat.
Adalah kalangan bangsawan atau pegawai pemerintahan kembangan gelar ini memberikan bias mengenai arti kata priyayi corak moralnya surut dan corak fungsionalnya berkembang, Dengan kata lain pendidikan dengan orientasi penghasilan dan kedudukan tinggi yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial memberi bias pada pandangan manusia ideal sebagai priyayi an itu membaca kita pada pemikiran mengenai gambaran ideal manusia dewasa ini yang mau dicapai oleh pendidikan kita lebih-lebih dengan masuknya tehnologi yang pesat. Tuntutan dunia modern yang global, rupanya menarik masyarakat untuk berpacu dalam kemajuan.
likalau tugas Pendidikan Tinggi adalah membentuk masyarakat ilmiah, tidakkah ilmu mu ini yang harus segera diperkenalkan kepada mereka? Orientasi pendidikan yang menekankan penanaman nilai-nilai moral dan kepribadian, memang tak boleh dhilangkan. Akan tetapi, berbeda dari pendidikan masa lampau, dewasa ini dengan adanya jenjang jenjang pendidikan yang semakin jelas, orientasi semacam itu Kiranya lebih cocok ditempatkan dalam jenjang jenjang aral  pendidikan pada pendidikan dasar dan juga menentukan Pendidikan Tinggi dengan corak ilmiahnya yang khas seperti sudah diterangkan di atas, harus lebih bebas dari orientasi agamis dan moralistik sehingga bisa lebih memusatkan perhatiannya pada pengembangan ilmu dan sainstek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H