Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untung Rugi Nikah Siri, Banyakan Ruginya Kale

1 Oktober 2017   15:52 Diperbarui: 1 Oktober 2017   16:25 3182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu belakangan marak kasus situs nikah siri.com. Sebuah website bukan hanya mencari jodoh dan hal-hal lainnya. Yang katanya menjurus kepada melelang keperawanan. Sebenarnya apa sih itu nikah siri? Bagaimana agama dan Negara memandang persoalan tersebut?

Nikah siri secara bahasa berarti sembunyi atau rahasia. Sebab jenis perkawinan ini pada umumnya dilaksanakan dengan hanya dihadiri kalangan terbatas. Secara sembunyi dan diam-diam tanpa adanya pegawai pencatat nikah atau KUA.

Kontroversi sah dan tidaknya perkawinan ini seakan mempertegas adanya ambiguitas hukum di tengah masyarakat muslim Indonesia antara hukum formal dan agama. Satu sisi pernikahan siri dikatakan sah dalam persepektif fikih  jika telah terpenuhi syarat dan rukun tanpa perlu catatan pernikawinan. Sementara hukum formal pernikahan tidak diakui oleh hukum perdata yang tentu saja berimplikasi pada konsekuensi administrasi dan legal standing suatu pernikahan.

Dalam hukum islam mencatat hasil akad perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang baik dan berguna walaupun ketentuan tersebut bukan menjadi suatu keharusan dalam rukun dan syarat pernikahan. Keleluasaan nikah semacam ini membuat masyarakat melihat celah dengan melakukan pernikahan sembunyi-sembunyi atau nikah siri. .

Pada dasarnya pernikahan merupakan dipandang sah selama memenuhi rukun dan syarat. Dan bahtera sebuah rumah tangga juga merupakan hal yang dibina atas dasar sikap saling suka dan mencintai dengan penuh kasih sayang. Bahkan pada orang tua zaman dahulu pernikahan berjalan begitu saja tanpa adanya pencatatan dari KUA. Mungkin disebabkan berbagai alasan tanpa ada unsur kesengajaan.

Namun kehidupan rumah tangga tidak hanya mulus saja seperti jalan tol. Suatu saat dan kadangkala ada riak dalam pernikahan. Bahkan kenyataan saat ini menunjukkan data dan fakta banyak pernikahan berakhir di perceraian.

Meski dipandang halal namun perkara bercerai sangat dibenci oleh Allah. Perceraian suami dan istri ternyata berdampak sistemik. Karena elemen terkecil suatu Negara adalah sebuah keluarga. Jika keluarga dalam suatu bangsa hancur, maka akan rusaklah bangsa tersebut cepat atau lambat.

Terlebih lagi pernikahan yang dilakukan secara siri dan tidak terdaftar oleh KUA. Dalam mengantisipasi persoalan semacam ini dan persoalan yang cukup komplek tersebut pemerintah berkepentingan dalam membuat kebijakan dan regulasi (Syisah Syar'iyyah) yang tentu saja mengatur mengenai pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan dilakukan secara resmi sehingga berkekuatan hukum dan berfungsi sebagai alat bukti bagi kedua belah pihak apabila dikemudian hari ada proses timbul akibat dari suatu pernikahan.

Pernikahan sendiri tanpa dihadiri oleh saksi ibarat wanita tersebut berzina karena pernikahannya tidak sah. Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas. r.a berkata

Pernikahan itu tidak sah tanpa adanya bukti

Keberadaan bukti tersebut memiliki makna bersifat umum. Artinya apakah dimaksud dengan bukti adalah berupa kesaksian . Karena hanya melalui kesaksian inilah memungkinkan bagi seseorang membuat bukti tertulis.

Jika ditelaah lebih jauh pernikahan bukanlah masalah sederhana yang mengikat antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan sejatinya adalah suatu kontrak atau akad. Hal ini tentu menimbulkan berbagai dampak hukum lainnya. Untuk menjaga akibat dampak hukum yang timbul tentu harus dilakukan dan dicatat secara resmi.

Nikah siri masih banyak terjadi di masyarakat karena beranggapan pernikahan yang tidak dicatatkan secara legal oleh Kementrian Agama atau KUA yang dibuktikan dengan kepemilikan akta nikah atau buku nikah.

Nikah siri yang seharusnya batal demi hukum bergeser menjadi persoalan adminstratif. Siapa saja boleh menikah secara sah, walau tanpa catatan resmi. Jika demikian akan banyak timbul dampak sistemik sesudahnya. Mengapa ? Konsekuensi luas bukan hanya kepada pasangan suami dan istri tetapi juga kewajiban bagi anak-anak, keluarga, masyarakat dan Negara.

Hukum yang ditimbulkan dari suatu pernikahan adalah kewajiban suami menafkahi istri dan keluarganya dan istri membantu suami di dalam rumah tangga. Kedua orang tua juga wajib mendidik anak-anak mereka dan mendaftarkan ke sekolah. Syarat untuk mendaftar sekolah tentu saja harus mempunyai akta kelahiran sehingga dianggap anak yang sah. Salah satu syaratnya ayah ibunya menikah secara sah dan dibuktikan dengan akta nikah yang tercatat di KUA.

Sudah sangat jelas dari ilustrasi diatas bahwa fikih tidak hanya memandang aspek keabsahan pernikahan namun diperlukan juga syarat adminstratif tambahan. Seperti ketentuan yang mengharuskan tercatat di lembaga resmi Negara agar mempunyai akta nikah. Tujuannya jelas agar akibat hukum yang timbl dari suatu hubungan pernikahan dapat di pertanggung jawabkan yang tidak hanya dari segi Syara" tetapi juga administrative sebagai bukti penguat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun