Jika ditelaah lebih jauh pernikahan bukanlah masalah sederhana yang mengikat antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan sejatinya adalah suatu kontrak atau akad. Hal ini tentu menimbulkan berbagai dampak hukum lainnya. Untuk menjaga akibat dampak hukum yang timbul tentu harus dilakukan dan dicatat secara resmi.
Nikah siri masih banyak terjadi di masyarakat karena beranggapan pernikahan yang tidak dicatatkan secara legal oleh Kementrian Agama atau KUA yang dibuktikan dengan kepemilikan akta nikah atau buku nikah.
Nikah siri yang seharusnya batal demi hukum bergeser menjadi persoalan adminstratif. Siapa saja boleh menikah secara sah, walau tanpa catatan resmi. Jika demikian akan banyak timbul dampak sistemik sesudahnya. Mengapa ? Konsekuensi luas bukan hanya kepada pasangan suami dan istri tetapi juga kewajiban bagi anak-anak, keluarga, masyarakat dan Negara.
Hukum yang ditimbulkan dari suatu pernikahan adalah kewajiban suami menafkahi istri dan keluarganya dan istri membantu suami di dalam rumah tangga. Kedua orang tua juga wajib mendidik anak-anak mereka dan mendaftarkan ke sekolah. Syarat untuk mendaftar sekolah tentu saja harus mempunyai akta kelahiran sehingga dianggap anak yang sah. Salah satu syaratnya ayah ibunya menikah secara sah dan dibuktikan dengan akta nikah yang tercatat di KUA.
Sudah sangat jelas dari ilustrasi diatas bahwa fikih tidak hanya memandang aspek keabsahan pernikahan namun diperlukan juga syarat adminstratif tambahan. Seperti ketentuan yang mengharuskan tercatat di lembaga resmi Negara agar mempunyai akta nikah. Tujuannya jelas agar akibat hukum yang timbl dari suatu hubungan pernikahan dapat di pertanggung jawabkan yang tidak hanya dari segi Syara" tetapi juga administrative sebagai bukti penguat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H