Sebetulnya ada dana APBN sebesar 20 persen untuk pendidikan. Sayang tiap tahun dana itu belum terserap optimal. Â Jangan sampai terjadi di sebuah institusi pendidikan, hanya karena tidak mampu menngelola dana pendidikan , seperti untuk penelitian dana tidak terserap optimal dan hanya di bagi bagi untuk seminar seadanya guna menghabiskan sisa anggaran.
Perguruan tinggi di Indonesia pun mengalami suatu ironi , mengapa? Ketika bangsa Indonesia sedang dalam keterpurukan untuk mengentaskan pendidikan agar dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dibutuhkan biaya pendidikan dibuat semakin mahal. Tentunya yang dapat mengakses ini hanya orang orang kaya saja. Â Bagaimana orang Indonesia bisa pintar kalo begini sedangkan sekolah saja harus bayar mahal
Berdasarkan data UKT tahun 2013 dan 2014, sebanyak 50 persen mahasiswa di PTN berbadan hukum membayar uang kuliah di atas Rp 4 juta - Rp 10 juta per semester. Bahkan ada yang membayar Rp 47,5 juta per semester (koran Kompas, 4 Februari 2016). Keberpihakan kepada orang kaya semakin kentara dengan adanya kebijakan jalur mandiri di PTN di mana mengalami peningkatan kuota 10 persen dalam penerimaan mahasiswa baru yang membuka akses luas bagi orang berduit yang tidak lolos SNMPTN dan SBMPTN untuk menikmati pendidikan perguruan tinggi negeri.
Hampir seluruh kampus kampus top di Indonesia saat ini disebut mempunyai otonomi dalam pendidikan , Namun ternyata itu hanya berlaku sebatas pembiayaan saja , sedangkan untuk kebijakan lainnya masih menggunakan kurikulum nasional.
Saat ini terjadi adalah bila PTN ditekan untuk mandiri secara ekonomis , maka konsekuensi logis adalah mengembangkan usaha bisnis (Tentunya berorientasi profit) Dengan begini , misi mencerdeskan masyarakat termsuk masyarakat menengah ke bawah sangat sulit terlaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H