Anggaran pendidikan tinggi tidak otomatis meningkatkan  mutu pendidikan nasional . Sebab bila tidak ditunjang dengan kenaikan anggaran bidang lain , terutama sangat berkaitan erat dengan proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, seperti halnya pembangunan prasarana dan sarana transportasi , telekomunikasi, fasilitas kesehatan dan lain lainnya. Ibaratnya kegiatan proses belajar mengajar tidak dapat berdiri sendiri harus ada penopangnya.  Kegiatan belajar mengajar yang baik hanya dapat terjadi pada daerah daerah yang baik sarana prasarananya.
Transportasi memadai, listrik mencukupi, dan tentu saja fasilitas kesehatan yang layak. Sebab tentu saja hanya siswa yang sehat dapat menerima proses belajar mengajar dengan baik . Kalau penulis melihat pada dearah terpencil dan pulau pulau terluar Indonesia nasibnya masih sangat memprihatinkan.
Memberikan fasilitas dan dana besar untuk pendidikan tanpa dukungan infrastruktur adalah hal imposible untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mana bisa menyalakan computer kalau listrik belum ada. Dan mana bisa meningkatkan wawasan keilmuan kalau jaringan internet belum merata seperti di kota.
Sebetulnya ada dana APBN sebesar 20 persen untuk pendidikan. Sayang tiap tahun dana itu belum terserap optimal. Â Jangan sampai terjadi di sebuah institusi pendidikan, hanya karena tidak mampu menngelola dana pendidikan , seperti untuk penelitian dana tidak terserap optimal dan hanya di bagi bagi untuk seminar seadanya guna menghabiskan sisa anggaran.
Perguruan tinggi di Indonesia pun mengalami suatu ironi , mengapa? Ketika bangsa Indonesia sedang dalam keterpurukan untuk mengentaskan pendidikan agar dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dibutuhkan biaya pendidikan dibuat semakin mahal. Tentunya yang dapat mengakses ini hanya orang orang kaya saja. Â Bagaimana orang Indonesia bisa pintar kalo begini sedangkan sekolah saja harus bayar mahal
Berdasarkan data UKT tahun 2013 dan 2014, sebanyak 50 persen mahasiswa di PTN berbadan hukum membayar uang kuliah di atas Rp 4 juta - Rp 10 juta per semester. Bahkan ada yang membayar Rp 47,5 juta per semester (koran Kompas, 4 Februari 2016). Keberpihakan kepada orang kaya semakin kentara dengan adanya kebijakan jalur mandiri di PTN di mana mengalami peningkatan kuota 10 persen dalam penerimaan mahasiswa baru yang membuka akses luas bagi orang berduit yang tidak lolos SNMPTN dan SBMPTN untuk menikmati pendidikan perguruan tinggi negeri.
Hampir seluruh kampus kampus top di Indonesia saat ini disebut mempunyai otonomi dalam pendidikan , Namun ternyata itu hanya berlaku sebatas pembiayaan saja , sedangkan untuk kebijakan lainnya masih menggunakan kurikulum nasional.
Saat ini terjadi adalah bila PTN ditekan untuk mandiri secara ekonomis , maka konsekuensi logis adalah mengembangkan usaha bisnis (Tentunya berorientasi profit) Dengan begini , misi mencerdeskan masyarakat termsuk masyarakat menengah ke bawah sangat sulit terlaksana.
Anggaran pendidikan tinggi tidak otomatis meningkatkan  mutu pendidikan nasional . Sebab bila tidak ditunjang dengan kenaikan anggaran bidang lain , terutama sangat berkaitan erat dengan proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, seperti halnya pembangunan prasarana dan sarana transportasi , telekomunikasi, fasilitas kesehatan dan lain lainnya. Ibaratnya kegiatan proses belajar mengajar tidak dapat berdiri sendiri harus ada penopangnya.  Kegiatan belajar mengajar yang baik hanya dapat terjadi pada daerah daerah yang baik sarana prasarananya.
Transportasi memadai, listrik mencukupi, dan tentu saja fasilitas kesehatan yang layak. Sebab tentu saja hanya siswa yang sehat dapat menerima proses belajar mengajar dengan baik . Kalau penulis melihat pada dearah terpencil dan pulau pulau terluar Indonesia nasibnya masih sangat memprihatinkan.
Memberikan fasilitas dan dana besar untuk pendidikan tanpa dukungan infrastruktur adalah hal imposible untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mana bisa menyalakan computer kalau listrik belum ada. Dan mana bisa meningkatkan wawasan keilmuan kalau jaringan internet belum merata seperti di kota.