Saya juga sempat menyusuri lebih dalam lagi lahan rumah adat milik Mateos dan menemukan lebih banyak lagi rumah adat Mollo yang berada tepat di belakang rumah adat Ume Anin Fuka, halaman rumah adat Mollo tersebut ditumbuhi berbagai macam tumbuhan termasuk tanaman raspberi yang berhasil saya petik dengan seizin salah satu sanak keluarga Matheos. Perkarangannya pun penuh dengan rumput hijau sehingga membuat saya seperti berada di negeri dongeng.
Selepas penyambutan, kami para mahasiswa memperkenalkan diri beserta asal daerahnya masing-masing, beliau seringkali menimpali dengan semangat bahwa ia juga pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut.Â
Ketika disinggung mengenai Magelang, beliau juga bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke Candi Borobudur dan berakhir dikejar-kejar oleh para pedagang souvenir, sontak saja tawa pun menggelegar memenuhi rumah kayu dengan pilar berbentuk segi lima itu.Â
Meskipun Mateos berbicara dalam bahasa yang kurang bisa kami pahami, yakni cepat, terpotong-potong, dan intonasi yang meninggi serta ekspresif, kami belajar banyak mengenai ramah tamah.Â
Kami dapat merasakan ketulusan ketika beliau berbicara, beliau terkesan sangat senang sekali apabila ada tamu yang mengunjungi Fatumnasi dan mengenal lebih jauh mengenai adat dan sejarah Fatumnasi.
Setelah bercerita banyak dan tak lupa mengisi buku tamu secara bergilir, kami meminta kesediaan beliau untuk berfoto bersama. Mateos pun dengan bangga memperlihatkan tongkat pedangnya dan membukanya lalu memberikan senyum terbaiknya pada kamera. Usai berswafoto kami pun berpamitan kepada Mateos dan keluarga karena akan melanjutkan perjalanan ke Cagar Alam Mutis untuk berkemah.
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H