Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Kandidat Terbaik Pilkada DKI Versi Netizen?

23 Juli 2016   15:16 Diperbarui: 23 Juli 2016   15:31 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data Volume Pencarian Bulanan di Google terhadap 11 Kandidat Pilkada DKI. Sumber : Dokumen Pribadi (diolah dari statistik Google.Com)

Jawara Panco tingkat kaos kutang Joko Widodo, kemarin disorot pemberitaan lantaran meminta Megawati mengerahkan PDIP DKI mendukung Ahok. Boleh jadi, melanjutkan Ahok – Djarot atau bisa saja tiba-tiba menjadi Ahok – Boy. Ratapan merengek gaya Boy Sadikin disertai aksi ngambek mundur dari DPD DKI sebagai cara mendesak Megawati penuhi janji tahta DKI untuk Boy, boleh jadi dipenuhi.

Boy, biar bagaimana pun, salah satu tokoh kunci yang memegang dana dari Mu’min Ali si Bos Panin melalui kaki tangannya Ramdani Basri, ke PDIP. Anak buah Mas Boy (Boy Sadikin), biasa memanggilnya, Mas Dani. Boy, juga kunci dana pengusaha yang memodali banyak kelompok politik, Djan Faridz ke PDIP. Djan Faridz memberi gratis gedung Megawati Institute, kantor pusat Demokrat, juga PPP. Djan Faridz juga menyumbang ke Jokowi – Ahok Rp 60 miliar di 2012. Djan Faridz juga pemodal utama Pemuda Panca Marga (PPM) yang dipimpin Abraham Lunggana alias Haji Lulung sang UPS.

Sewaktu blok pertokoan milik Djan Faridz dan Tommy Winata di Tanah Abang tidak laku karena pedagang pilih berdagang di pinggir jalan, Jokowi – Ahok sukses blusukan bujuk pedagang Tanah Abang pinggir jalan  menyewa ke Djan Faridz dan Tommy Winata, meski akhirnya pedagang-pedagang merugi karena blok baru itu tak dikunjungi pembeli. Warga DKI tahunya, “Blusukan berhasil mengentaskan macet Tanah Abang”. Alhamdulillah, investasi Rp 60 miliar bakal balik modal.

Jadi, aksi ngambek Boy Sadikin bisa saja menghasilkan dukungan Megawati. Pesaingnya, Djarot Saiful Hidayat yang sekarang jadi Wakil Gubernur DKI, juga berharap banyak bisa lanjutkan Ahok – Djarot. Harapan Djarot, kalau Ahok maju jadi Cawapres di 2019, Djarot jadi Gubernur DKI. Tiba-tiba meluncur gerakan Sahabat Djarot di media dan social media. 

Sayangnya, gerakan Sahabat Djarot redup tak bermakna. Penyebabnya, tokoh yang terdepan mengusung Sahabat Djarot adalah Banyu Biru yang sebulan sebelum ramai Sahabat Djarot tersandung isu remeh, memosting SK Pengangkatan di Badan Intelijen Negara ke Social Media. Hilang respek ke Djarot gara-gara yang muncul ke permukaan si childish Banyu Biru.

Lagipula, Djarot yang selama ini tidak melakukan pencitraan, tak dianggap oleh netizen. Semua pembangunan DKI, dilihat masyarakat bukan hasil kerja Djarot, melainkan hasil kerja Ahok seorang diri. Maksud hati Djarot ingin merendah dan fokus kerja, malah tak dapat respek ketika ingin pamer di saat jelang Pilkada. Ironi tersendiri.

PDIP punya 3 kandidat yang digadang-gadang ke Pilkada DKI yakni Risma, Djarot dan Boy. Menurut saya, hanya Risma dari 3 nama itu yang layak masuk bursa utama PDIP. Djarot dan Boy sebaiknya dihapus. Entah bagaimana PDIP dalam melakukan pertimbangan, kalau saya melihat dari data statistik digital yang akan saya jabarkan di tulisan ini.

Data statistik pencarian netizen terhadap 11 nama kandidat Pilkada DKI pada mesin pencari Google seharusnya jadi pertimbangan parpol. Supaya lebih mudah memahami, lihat gambar berikut ini :

Digital Flow. Sumber : Dokumen Pribadi
Digital Flow. Sumber : Dokumen Pribadi
Alur kerja komunikasi digital memiliki kecenderungan umum seperti pada table di samping. Netizen, mendapatkan informasi awal (First Contact) dari 3 jenis sumber informasi digital, yakni
  • Social Chat meliputi BBM, WA, Line dan lainnya
  • Social Board meliputi Website, Online News, Blog, Forum dan lainnya.
  • Social Network meliputi Twitter, Facebook, Path, Instagram, Pinterest, Youtube dsb.

Kemudian bagi netizen yang tertarik mengetahui lebih jauh, akan melakukan validasi informasi melalui mesin pencari Google untuk mendapatkan bahan baku informasi yang dibutuhkan. Data-data hasil Googling, kemudian dianalisa dan sintesa oleh logika otaknya masing-masing untuk menghasilkan keputusan atau sikap  (Actitude : Action and Attitude) yang akan diambil terkait informasi yang telaah itu.

Mesin pencari Google, sebagai fungsi Validasi memegang peranan yang amat krusial bagi kecenderungan penilaian netizen terhadap suatu brand, baik produk, isu maupun profil seseorang. Sistem algoritma Google juga tergolong advance dalam menempatkan urutan informasi, sehingga apa yang muncul di mesin Google menggambarkan kecenderungan umum keingintahuan netizen. 

Oleh karenanya, kecenderungan informasi yang muncul di Google, dapat mempengaruhi proses validasi netizen yang dilakukan via Google. Maka itu, Google memegang peranan penting dalam menentukan hasil akhir Actitude netizen. Berikut ini data statistik Google terhadap 11 kandidat Pilkada DKI pada periode Juli 2015 s/d Juni 2016 :

Data Volume Pencarian Bulanan di Google terhadap 11 Kandidat Pilkada DKI. Sumber : Dokumen Pribadi (diolah dari statistik Google.Com)
Data Volume Pencarian Bulanan di Google terhadap 11 Kandidat Pilkada DKI. Sumber : Dokumen Pribadi (diolah dari statistik Google.Com)
Data di atas menunjukkan bahwa 5 besar kandidat yang paling dicari netizen di Google adalah Ahok, Ridwan Kamil, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno dan Risma. Ahok menguasai 85% pencarian Netizen, sisanya 10 kandidat menguasai 15% saja. Berikut data statistik pencarian Google berdasarkan penggunaan Gadget pada periode Juli 2015 s/d Juni 2016 :

Data Penggunaan Gadget Dalam Pencarian Informasi 11 Kandidat Pilkada DKI di Google. Sumber : Dokumen Pribadi (diolah dari Statistik Google.Com)
Data Penggunaan Gadget Dalam Pencarian Informasi 11 Kandidat Pilkada DKI di Google. Sumber : Dokumen Pribadi (diolah dari Statistik Google.Com)
Dari segi penggunaan Gadget, pencarian informasi mengenai masing-masing 11 kandidat Pilkada DKI dominan menggunakan Smartphone. Secara sederhana, pengguna Smartphone mewakili kecenderungan arah generasi muda (pemilih baru) dari segala kelas social. Pengguna Desktop PC mewakili kecenderungan arah generasi tua dan birokrat. Sementara pengguna Tablet mewakili kecenderungan arah kelas atas di lintas generasi.

Dari 1 juta pencarian informasi seputar Pilkada DKI tiap bulannya, sebanyak 73% menggunakan Smartphone, yang berarti generasi muda DKI menyoroti, menelaah dan mengambil keputusan serius mengenai siapa yang layak pimpin DKI 2017 – 2022.

Kandidat yang penguasaan netizen pengguna Smartphone-nya di atas 70%, memiliki modal kuat untuk menjadi Cagub dan memenangkan pertarungan. Tampaknya, sejauh ini hanya Ahok dan Agus Yudhoyono yang cukup serius menggaet pemilih baru melalui digital. Sisanya, perlu meningkatkan kampanye digital, jika ingin menjadi kandidat Cagub.

Berikut data pertumbuhan statistik Google Juli 2014 s/d Juni 2015 versus Juli 2015 s/d Juni 2016 :

Komparasi Volume Pencarian Bulanan di Google (Jul 2014 s/d Jun 2015 versus Jul 2015 s/d Jun 2016). Sumber : Dokumen Pribadi (Diolah dari Statistik Google.Com)
Komparasi Volume Pencarian Bulanan di Google (Jul 2014 s/d Jun 2015 versus Jul 2015 s/d Jun 2016). Sumber : Dokumen Pribadi (Diolah dari Statistik Google.Com)
Ini tabel pertumbuhan masing-masing kandidat Pilkada DKI berdasarkan statistik Google :

Data Pertumbuhan Volume Pencarian Bulanan di Google (Jul 2014 s/d Jun 2015 versus Jul 2015 s/d Jun 2016). Sumber : Dokumen Pribadi (Diolah dari Statistik Google.Com)
Data Pertumbuhan Volume Pencarian Bulanan di Google (Jul 2014 s/d Jun 2015 versus Jul 2015 s/d Jun 2016). Sumber : Dokumen Pribadi (Diolah dari Statistik Google.Com)
Lihat baik-baik bagian Djarot dan Boy. Data Google menunjukkan, jelang Pilkada DKI jumlah orang yang melakukan pencarian pada nama Djarot dan Boy malah menurun signifikan. Sementara 9 kandidat lainnya tumbuh melesat, dua kandidat PDIP yang dijagokan untuk Pilkada DKI malah merosot. Jadi agak bodoh kalau PDIP tetap memasukkan Djarot dan Boy dalam bursa utama kandidat Pilkada DKI.

Kalau PDIP tetap melanjutkan perkawinan dengan Ahok, mengacu pada data Google, sudah tentu pasangan terbaiknya : Ahok – Risma. Namun mengawinkan dua Gubernur menjabat akan menjadi persoalan sulit, faktor ego masing-masing kandidat akan menjadi persoalan serius.

Dari data Google itu, sudah tentu jalan terbaik bagi PDIP adalah menyatukan kembali PDIP dan Gerindra seperti di 2012. Jika tiket Gerindra jatuh pada Sandiaga Uno sesuai janji Prabowo, maka pasangannya adalah Risma – Sandi.

Kalau PDIP bersama Gerindra usung Risma – Sandi, maka Ahok pasangan sama siapa? Kalau lihat dari urutan di atas, bisa saja : Ahok – Kamil, Ahok – Yusril atau Ahok – Agus Yudhoyono. Tapi Kamil dan Yusril kelihatannya sulit berpasangan dengan Ahok. Ridwan Kamil akan kehilangan tiket kalau Gerindra sudah ke Sandiaga Uno. Kecuali, PKS yang juga dekat dengan Ridwan Kamil mau memasangkan dengan Ahok. Tapi kelihatannya, PKS sangat anti-Ahok, sehingga sulit merealisasikan Ahok – Kamil.

Ahok – Yusril juga kelihatannya sulit karena Yusril belum dapat kapal Parpol yang mau mendukung. Mengawinkan Ahok dengan Demokrat bersama Koalisi Empire Strikes Back (Golkar, Hanura, Nasdem) lebih mungkin. Ada yang sebut Ahok – Sjafrie. Boleh saja. Tapi Sjafrie peringkat digitalnya di bawah Agus Yudhoyono. SBY sebagai Ketum Demokrat pun pastinya akan mendahulukan Agus Yudhoyono ketimbang Sjafrie kalau akhirnya setuju menikah dengan Ahok.

Jadi kelihatannya, kalau PDIP dan Gerindra mengusung : Risma – Sandi, Koalisi Empire Strikes Back dan Demokrat akan mengusung Ahok – Agus Yudhoyono.

Sekarang kita lihat data Google mengenai relasi pencarian (Related Search) terhadap masing-masing kandidat :

Data Relasi Pencarian (Related Search) Google Terhadap 11 Kandidat Pilkada DKI. Sumber : Dokumen Pribadi (Diolah dari Statistik Google.Com)
Data Relasi Pencarian (Related Search) Google Terhadap 11 Kandidat Pilkada DKI. Sumber : Dokumen Pribadi (Diolah dari Statistik Google.Com)
Data Related Search Google menunjukkan aspek apa yang paling dicari netizen ketika meng-googling masing-masing kandidat Pilkada DKI. Ahok paling dicari mengenai penghinaan terhadap kitab suci dan Cina. Ridwan Kamil paling dicari mengenai istrinya Atalia Praratya dan status Walikota Terbaik. Yusril paling banyak dicari mengenai hubungan politiknya dengan Prabowo dan istrinya Rika Tolentino Kato.

Sandiaga Uno paling banyak dicari mengenai korupsi (Balaraja dan Duta Graha) dan istrinya. Risma paling banyak dicari mengenai status Walikota Terbaik Dunia dan suaminya Djoko Saptoadji. Agus Yudhoyono paling banyak dicari mengenai pangkat militernya dan kabar akan jadi Capres. Sjafrie paling banyak dicari mengenai kompetisinya dengan Ryamizard Ryacudu dan hubungannya dengan Prabowo Subianto.

Yoyok Riyo Sudibyo paling banyak dicari mengenai biodata (profil) dan istrinya. Djarot paling banyak dicari mengenai kompetisinya dengan Boy Sadikin dan profil Djarot. Boy Sadikin paling banyak dicari mengenai status agamanya (kepercayaannya) dan Ali Sadikin. Kang Yoto paling banyak dicari terkait kemunculannya di Hitam Putih dan kepemimpinannya di Bojonegoro.

Dari data Related Search Google ini dapat disimpulkan :

  • Ridwan Kamil, Risma dan Agus Yudhoyono paling banyak dicari soal prestasinya (Positive)
  • Ahok dan Sandiaga Uno paling banyak dicari soal isu negatif dan korupsinya (Negative).
  • Yusril dan Sjafrie paling banyak dicari mengenai hubungannya dengan Prabowo Subianto (Political).
  • Yoyok, Djarot dan Kang Yoto paling banyak dicari soal profilnya (Belum Dikenal).
  • Boy Sadikin paling banyak dicari soal status Agamanya (Spiritual).

Mengacu pada data itu, mengawinkan Risma – Sandi bisa saling mengisi aspek peringkat volume pencarian dan sentimen positif – negatif di Google. Begitu pula mengawinkan Ahok – Agus Yudhoyono juga saling mengisi antara peringkat volume pencarian dan sentimen positif – negatif di Google.

Kalau Parpol-Parpol memasukkan elemen statistik digital dalam perhitungannya, maka diperkirakan pertarungan Pilkada DKI 2017 akan terjadi seperti hitungan di atas : Risma – Sandi vs Ahok – Agus Yudhoyono.

Namun jangan lupakan faktor Pilpres AS pada November 2016. Wacana Pilpres AS memetakan Hillary versus Trump. Jika Hillary menang, maka AS tetap dekat dengan Israel dan memerangi ISIS. Hasil perang terhadap ISIS akan membongkar supply senjata ISIS oleh Rusia dan China, sehingga kemudian Hillary akan membawa PBB dan internasional menekan Rusia dan China.

Jika Trump menang, AS akan lebih dekat dengan kelompok Islam. Trump punya 3 pilar kebijakan :

  • Insentif Pajak bagi Perusahaan Multinasional AS (paket SUPER-PAC).
  • Pangkas Impor Barang dari China.
  • AS sokong Koalisi Islam di Indonesia dan Timteng.

Sementara Hillary didukung seluruh pemodal Yahudi se-dunia, kecuali Carl Icahn yang merapat ke Trump. Icahn tahu, Trump sedang dekati Indonesia yang mayoritas muslim. Bisnis Icahn di Freeport membuat Icahn pilih Trump ketimbang Hillary. Selain itu, Trump akan memangkas impor barang dari China. Kemudian, rencana AS dekat kembali dengan Islam, akan mendorong terbentuknya Koalisi Parpol Islam dalam 1 suara di banyak negara.

Kuda Hitam Blok Parpol Islam akan mendesak banyak pemerintahan negara Timteng dan Indonesia, memangkas impor barang dari China. Gabungan embargo impor barang China, akan menurunkan ekspor China yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi China.

Jika Hillary akan mengepung China dari tekanan internasional pasca perang ISIS, maka Donald Trump akan mengepung pertumbuhan ekonomi China dengan berkoalisi dengan Blok Parpol Islam se-Dunia.

Oleh karenanya, saya perkirakan akan marak muncul Koalisi Parpol Islam di sejumlah provinsi strategis di Indonesia pada Pilkada 2017. Kelihatannya peta Koalisi di DKI Jakarta akan jadi benchmark dalam kesepakatan Koalisi di Pilkada 2017, Pilkada 2019 dan Pilpres 2019.

Jadi, jika Koalisi Merah – Jingga dan Koalisi Kuning – Biru terbentuk di DKI, maka kemungkinan sejumlah provinsi strategis juga akan terbentuk koalisi yang sama di Pilkada 2017. Kemudian pola yang sama akan jadi acuan komitmen peta koalisi di Pilkada 2019 dan Pilpres 2019.

Senada, jika Trump menang di November nanti, maka mendadak akan mewabah Blok Parpol Islam di Pilkada 2017, Pilkada 2019 dan Pilpres 2019.

Siapakah kandidat yang cocok untuk Blok Parpol Islam di Pilkada DKI 2017?

Mengacu pada data digital di atas, tentu saja menyisakan 2 nama kuat yang saat ini tidak dapat tiket, yakni : Ridwan Kamil dan Yusril Ihza Mahendra.

Kamil dekat dengan PKS. Yusril mungkin didukung PBB. PAN di bawah Zulkifli Hasan boleh saja saat ini lebih dekat dengan PDIP. Namun tetap terbuka kemungkinan PAN, PKB, PPP, PKS dan PBB satu suara mengusung : Kamil – Yusril di Pilkada DKI 2017.

Akan lebih menarik jika peta pertarungan Pilkada DKI 2017 adalah

  • Blok Kuning – Biru : Ahok – Agus Yudhoyono.
  • Blok Merah – Jingga : Risma – Sandi.
  • Blok Parpol Islam : Kamil – Yusril.

Tiga pasangan ini saling mengisi jika mengacu pada data statistik digital yang saya paparkan di atas.

Mari kita lihat kelanjutan kisahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun