Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Politik

China – Rusia Gandeng Jokowi Jadikan RI Benteng Selatan?

29 Juni 2014   23:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:15 18058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Debat Capres 3, Jokowi enggan mengambil sikap terhadap konflik Laut China Selatan. Jokowi juga dinilai gagal menjelaskan konsep Tol Laut dan Pertahanan Maritim yang diusungnya. Pertanyaannya, Jokowi memang enggan sikapi Laut China Selatan dan gagal paparkan Tol Laut -Pertahanan Maritim, atau karena ada yang ditutupi?

Saya kira tak banyak yang memahami konsep Tol Laut Jokowi, karena memang dari segi penamaan tidak tepat sekaligus tidak dipaparkan jelas. Kebanyakan tentu mengira, Tol Laut adalah membangun jalan tol di atas Laut. Padahal Tol Laut yang dimaksud Jokowi adalah peningkatan jalur dan armada angkut kargo laut antar pelabuhan, bukan jalan tol di atas laut.

Lantas kenapa Jokowi menamainya Tol Laut? Sekedar terdengar unik meski tidak bermakna sama dengan pemahaman umum mengenai tol, ataukah untuk menyembunyikan sesuatu yang lebih besar?

Mari kita telaah.

Pada intinya, konsep Tol Laut Jokowi adalah penambahan jalur dan armada angkut kargo laut antar pelabuhan. Tujuan yang dijelaskan Jokowi, Tol Laut untuk meningkatkan lalu lintas manusia dan perdagangan antar pelabuhan dan antar pulau. Ketimbang seketika memuji konsep tersebut, saya cenderung melihat bagaimana konsep Tol Laut Jokowi akan diimplementasikan.

Mudah, faktor paling penting dalam mengimplementasikan konsep Tol Laut Jokowi adalah pengadaan Kapal Kargo Laut secara massif. Pertanyaannya, darimana pengadaan kapal-kapal kargo laut untuk realisasi konsep Tol Laut Jokowi?

Pemerintah memiliki PT PAL, BUMN yang berfungsi memproduksi kapal laut. Kemampuan produksi kapal laut PT PAL saat ini, tidak memungkinkan untuk melakukan produksi massal secara tiba-tiba untuk kebutuhan Tol Laut Jokowi. Tentu PT PAL perlu pembangunan pabrik skala besar untuk memenuhi kebutuhan Tol Laut Jokowi. Pembangunan pabrik skala besar umumnya membutuhkan waktu 3 – 5 tahun. Kelihatannya, penambahan pabrik kapal PT PAL bukan menjadi solusi utama Jokowi menerapkan Tol Laut. Solusi paling mudah tentunya mengadakan kerjasama strategis dengan negara yang memiliki kemampuan memproduksi kapal laut secara massif. Pertanyaannya kemudian, negara manakah yang berpeluang melakukan kerjasama itu?

Di kawasan Asia, China adalah negara yang tengah investasi raksasa di industri perkapalan dengan fokus pada kapal angkut kargo laut. Jepang juga memiliki industri perkapalan yang memadai, meski kemampuan produksinya di bawah China. Inggris juga tercatat sebagai negara yang memiliki industri perkapalan yang besar.

Namun tentunya, China adalah negara yang paling mungkin melakukan kerjasama dengan Jokowi untuk implementasi Tol Laut. Selain mampu produksi massal, kapal China juga jauh lebih murah. Harga jual China dengan Jepang berselisih cukup jauh untuk penjualan ke Indonesia, mengingat faktor ongkos angkut.

Saya kira, pengimplementasian Tol Laut Jokowi akan lebih strategis apabila bekerja sama dengan China sebagai pemasok kapal. Apalagi, Jokowi telah menunjukkan beberapa indikasi lain terkait kerjasama strategis dengan China.

Ketika menjabat Gubernur DKI, Jokowi melakukan pembelian Busway dari China secara massal. Untuk menggenjot percepatan program transportasi di DKI, Jokowi memilih China sebagai pemasok Busway.

Penting untuk dipahami, pembelian puluhan Busway dari China bukanlah sekedar transaksi biasa seperti seseorang membeli Hape China. Transaksi pembelian puluhan Busway oleh Pemda DKI bisa digolongkan sebagai transaksi G2G (Government to Government). Apabila transaksi pembelian Busway dengan China berlanjut, tentunya akan ada pembicaraan strategis antar 2 negara. Apalagi, kalau Jokowi menjadi presiden, boleh jadi akan menggalakkan program Busway di setiap Ibukota Provinsi. Itu artinya, di bawah Jokowi, Indonesia berpotensi mengadakan kerjasama yang lebih luas dengan China.

Bermula dari Busway China untuk DKI yang berpotensi berlanjut ke seluruh Ibukota Provinsi, boleh jadi pasokan kapal laut untuk Tol Laut Jokowi juga akan dari China. Saya kira, mengadakan 2 transaksi raksasa bernilai puluhan triliun ini saja sudah cukup untuk terbentuknya kerjasama strategis Indonesia – China.

Pertanyaan lanjutannya adalah, maukah China memasok sejumlah kebutuhan Busway dan kapal laut untuk Tol Laut Jokowi? Apa saja potensi persyaratan dari China terhadap Jokowi dan Indonesia untuk pasokan Busway dan kapal laut untuk Tol Laut?

Seperti saya katakan tadi, dalam transaksi skala besar seperti Busway dan kapal laut Jokowi, kita harus melihat dalam kacamata G2G. Dalam kacamata G2G, kita tidak bisa melihat sesederhana : Saya mau beli hape hari ini, langsung eksekusi. Dalam kacamata G2G, ada transaksi yang melibatkan produksi massal bernilai raksasa. Dalam kacamata G2G, tidak sesederhana : Saya mau beli ribuan Busway dan ribuan kapal laut dari China, maka langsung tersedia. Dalam kacamata G2G, China akan mengatakan : Apa yang saya dapat dari Indonesia jika saya menyediakan semua yang kamu butuhkan itu?

Saya kira, buat orang-orang yang memahami kacamata transaksi G2G akan mengerti apa yang saya katakan di atas.

Maka pertanyaannya kemudian adalah apa yang dibutuhkan China dari Indonesia saat ini?

Untuk lebih memahami konteks global, lihat tulisan saya berikut ini :


Lihat peta ini untuk mempermudah pembacaan Geopolitik Internasional saat ini :

[caption id="attachment_331322" align="aligncenter" width="498" caption="Peta Asia. Sumber : Pribadi"][/caption]

Seperti saya paparkan pada tulisan-tulisan di atas, bahwa China saat ini sedang membutuhkan aliansi di kawasan Laut China Selatan. Kondisi politik global tengah memanas. Poros Yahudi (AS – Eropa) berpotensi pecah perang dengan Poros Asia Utara (China – Rusia) di 5 titik :



  1. Teluk Persia (Perang Teluk IV)  : Israel, NATO, Turki versus Iran, China, Rusia.
  2. Laut Kuning : Korea Selatan, Jepang, AS versus Korea Utara, China, Rusia.
  3. Laut Andaman : Australia, PBB, Myanmar, India, Vietnam versus Thailand, Kamboja, Laos, China.
  4. Laut China Selatan : Australia, Filipina, AS, Vietnam, Malaysia versus China.
  5. Laut Hitam : Turki, NATO, PBB versus Ukraina, Rusia, Belarusia.

Pada 4 titik (Teluk Persia, Laut Kuning, Laut Andaman, Laut Hitam), Poros Asia Utara (China – Rusia) telah memperoleh aliansi. Satu-satunya titik perang dimana Poros Asia Utara (China – Rusia) belum mendapat aliansi strategis adalah Laut China Selatan.

Perlu dicatat bahwa Laut China Selatan adalah pintu masuk menyerang Hong Kong, salah satu basis ekonomi terkuat China saat ini. Filipina yang menjadi pangkalan militer AS mudah menyerang Hong Kong.

Secara historis, politik, ekonomi, sosial dan budaya, China sulit membentuk aliansi strategis dengan Malaysia dan Filipina. Potensi aliansi strategis China hanya bisa dibangun dengan Taiwan dan China telah tawarkan Taiwan kembali jadi provinsi China. Taiwan belum memberi keputusan soal tawaran kembali jadi provinsi China.

AS pun mengetahui Taiwan sedang dilobi China dan membalas dengan lobi kredit pasokan senjata AS ke Taiwan senilai US$ 51 miliar. Tanpa menggandeng Taiwan, Malaysia dan Filipina, maka China tak punya pertahanan di kawasan Laut China Selatan. Seharusnya, Vietnam bisa menjadi aliansi China mengingat adanya kesamaan historis soal penganut Komunisme. Sayangnya, Vietnam keburu dilobi AS.

Vietnam telah mengadakan kerjasama pembersihan senjata-senjata bekas perang Vietnam antara AS – Vietnam. Kerjasama AS – Vietnam ini berarti perbaikan hubungan pertahanan, tentunya untuk mencegah Vietnam jadi aliansi China.

Melihat AS bergerak cepat menggandeng Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Filipina, lalu China hanya punya 1 solusi : Sibukkan Asia Tenggara.

China mengklaim seluruh perairan Laut China Selatan sebagai wilayahnya. Klaim China atas seluruh Laut China Selatan memicu konflik antara China, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Taiwan. Konflik Laut China Selatan kian memanas dan berpotensi pecah perang. Pecah perang Laut China Selatan akan sangat menguntungkan China yang tak punya pertahanan di Laut China Selatan. Perang Laut China Selatan akan menyibukkan negara-negara Laut China Selatan sehingga sulit jadi pintu masuk AS menyerang Hong Kong melalui Filipina.

Adanya konflik Laut China Selatan yang dipicu klaim China membuat AS bergerak melobi Vietnam, Malaysia dan Filipina. Vietnam telah mengadakan kerjasama pertahanan dengan AS. Malaysia dan Filipina dilobi keras oleh AS agar tidak terpicu melakukan perang Laut China Selatan.

Jadi, China menghendaki Perang Laut China Selatan agar tidak bisa jadi pintu masuk AS menyerang Hong Kong, sementara AS mengingkan perdamaian.

Pertanyaannya, dimanakah posisi Indonesia dalam konflik Laut China Selatan?

Agak janggal memang, China tidak mengklaim Blok Natuna milik Indonesia yang berada di Laut China Selatan. Apakah karena China benar telah mengadakan kerjasama strategis dengan Jokowi sehingga tidak klaim Natuna? Ataukah China menunggu hasil Pilpres 2014 untuk melihat arah Indonesia, baru kemudian tentukan akan klaim Natuna atau tidak?

Jika benar China telah mengadakan kerjasama strategis dengan Jokowi, tentu saja China tidak perlu menambah musuh baru dengan klaim Natuna.

Posisi Indonesia secara Geopolitik sangat penting jika pecah Perang Laut China Selatan. Dengan China tidak klaim Natuna, maka Indonesia kemungkinan besar tidak ikut perang Laut China Selatan. Namun perang antara China, Vietnam, Malaysia dan Filipina, bisa saja masuk perairan Indonesia. Ketika aktivitas perang Laut China Selatan memasuki perairan Indonesia itulah Indonesia bisa membantu China.

Bagaimana cara Indonesia membantu China?

Pada acara Debat Capres, kita jelas melihat 4 kunci penting Jokowi yang menandakan sikap dan arah Jokowi terhadap China.

Pertama, Jokowi tidak atau enggan menjawab soal konflik Laut China Selatan. Melihat kepentingan China di Laut China Selatan adalah memecahkan perang, sikap Jokowi ini menunjukkan ia pro China. Padahal, Jokowi sebagai penganut politik Luar Negeri Bebas Aktif seharusnya mendorong Indonesia aktif menjaga Asia Tenggara dari potensi perang. Sikap Jokowi yang tidak ambil pusing soal Laut China Selatan menunjukkan Jokowi sejalan dengan China yang ingin memecahkan perang Laut China Selatan.

Kedua, Jokowi mengkritik keras Tank Leopard yang dibeli dari Jerman. Dalam kacamata membaca statement politik, tentu saja kritikan Jokowi mengindikasikan adanya penggantian pemasok senjata perang. Apakah Jokowi nanti akan mengganti pemasok persenjataan Indonesia ke China dan Rusia (Poros Asia Utara)?

Ketiga, solusi Jokowi atas kritik terhadap Tank Leopard adalah membentuk pertahanan Maritim. Kritik Jokowi terhadap Tank Leopard yang dikatakan merusak jalan disolusikan dengan fokus pertahanan Maritim. Sudahkah Indonesia memiliki kapal-kapal perang yang mampu menjaga perairan Maritim Indonesia? Jawabannya belum. Sejak jaman Hindia Belanda, Indonesia telah beralih dari negara Maritim menjadi negara agraris, serupa dengan Belanda yang juga negara agraris. Konsep pertahanan Maritim Jokowi berarti akan ada pembelian kapal perang besar-besaran. Di kawasan Asia, produsen kapal perang terkuat adalah Rusia. Rusia sedang membentuk poros dengan China (Poros Asia Utara) yang punya kepentingan besar menjaga Laut China Selatan. Dari sini kita bisa melihat adanya potensi bahwa Pertahanan Maritim Jokowi akan dipasok oleh Rusia. Dengan pasokan kapal-kapal perang dari Rusia, tentu saja Indonesia bisa dijadikan benteng China – Rusia di Laut China Selatan.

Keempat, program Tol Laut Jokowi yang pada intinya adalah pengadaan kapal angkut kargo laut besar-besaran. Seperti telah saya paparkan di atas, Tol Laut Jokowi berpotensi direalisasikan secara cepat dengan pembelian massal kapal angkut kargo laut dari China. Sebagaimana Busway yang dibeli dari China, ada potensi Jokowi juga akan membeli kapal-kapal kargo laut dari China.

Poros Asia Utara (China – Rusia) tak punya pertahanan di Laut China Selatan adalah fakta. Konflik Laut China Selatan yang dipicu klaim China terhadap seluruh perairan Laut China Selatan juga fakta. Bahwa China – Rusia sangat membutuhkan Indonesia sebagai satu-satunya aliansi di Laut China Selatan tak dapat dipungkiri.

Apakah Jokowi melihat peluang itu dan berencana mengubah poros Indonesia ke Poros Asia Utara (China – Rusia)? Ataukah Poros Asia Utara (China – Rusia) yang ambil andil besar dalam program-program Jokowi (Tol Laut dan Pertahanan Maritim)?

Berikut 5 fakta yang mengindikasikan Jokowi akan membawa Indonesia pada Poros Asia Utara (China – Rusia) :



  1. Faktanya, Tol Laut Jokowi hanya bisa diimplementasikan secara cepat jika ada pasokan kapal-kapal kargo laut secara massal dari China.
  2. Faktanya, pertahanan Maritim Jokowi hanya bisa diimplementasikan secara cepat jika ada pasokan kapal-kapal perang dari Rusia.
  3. Faktanya, Jokowi tak ambil sikap soal Laut China Selatan yang sama saja menyetujui rencana China memecah perang Laut China Selatan.
  4. Faktanya, kritik Jokowi atas Tank Leopard dari Jerman, mengindikasikan penggantian pemasok senjata perang darat.
  5. Faktanya, Jokowi telah membeli puluhan Busway untuk DKI yang berpeluang dilanjutkan untuk program Busway di seluruh ibukota Provinsi.

Dari 5 fakta di atas, kita bisa melihat adanya kecenderungan Jokowi akan membawa Indonesia pada kepentingan Poros Asia Utara (China – Rusia). Jokowi berpotensi menjadikan Indonesia sebagai Benteng Pertahanan Selatan yang tidak dimiliki Poros Asia Utara (China – Rusia).

Dan jangan lupa, ada 28 kontrak blok Migas yang habis pada 2015 – 2021 yang menjadi tanggung jawab pemerintahan 2014 – 2019 :

2015


  • Pertamina – Costa di Blok Gabang

2017



  • Total EP – Inpex di Blok Mahakam
  • Pertamina di Blok Offshore North West Java (ONWJ)
  • Inpex di Blok Attaka
  • Medco di Blok Lematang

2018



  • Pertamina – Petrochina di Blok Tuban
  • Pertamina – Talisman di Blok Ogan Komering
  • ExxonMobil di Blok North Sumatera Offshore (NSO) B
  • ExxonMobil di Blok NSO Extension
  • CNOOC di Blok Sumatera Tenggara
  • Total EP di Blok Tengah
  • VICO di Blok Sanga-Sanga
  • Chevron di Blok Pasir Barat (West Pasir) dan Attaka

2019



  • Kalrez Petroleum di Blok Bula
  • Citic di Blok Seram Non Bula
  • Pertamina – Golden Spike di Blok Pendopo dan Raja
  • Pertamina – Hess di Blok Jambi Merang

2020



  • Conoco Phillips di Blok South Jambi B
  • Kondur Petroleum di Blok Malacca Strait
  • Lapindo di Blok Brantas
  • Pertamina – Petrochina di Blok Salawati
  • Petrochina di Blok Kepala Burung Blok A
  • Energy Equity di Blok Sengkang
  • Chevron di Blok Makassar Strait Offshore A

2021



  • CPI di Blok Rokan
  • Kalila di Blok Bentu Segat
  • Petronas di Blok Muriah
  • Petroselat di Blok Selat Panjang

Lihat gambar pemetaan kepentingan negara-negara asing pada Blok Migas di Indonesia (Mei 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun