Meningkatnya angka kasus kekerasan seksual di Provinsi Kalimantan Timur sangat mengkhawatirkan. Tercatat dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) setidaknya dalam 5 tahun terakhir kasus kekerasan seksual mencapai 1.108, pada tahun 2023 meningkat sebanyak 163 kasus dari tahun sebelumnya.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur Noryani Sorayalita mengungkapkan bahwa dari total korban kekerasan sebanyak 196, dengan mayoritas korban adalah perempuan, terutama anak-anak sebanyak 127 dan dewasa sebanyak 69 orang.
Persentase dan jumlah korban kekerasan berdasarkan bentuk kekerasan korban terbanyak mengalami kekerasan seksual sebanyak 38,8 persen atau 83 orang, kekerasan fisik sebanyak 30.8 persen atau 66 orang dan kekerasan psikis sebanyak 15,4 persen atau 33 orang.
Tidak hanya di Provinsi Kalimantan Timur, meningkatnya kasus kekerasan seksual merata hingga ke seluruh wilayah. Dalam CATAHU Komnas Perempuan 2024 tercatat sebanyak 1.451 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik sepanjang 2023. Hal ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Catatan data ini tentu tidak hanya berhenti sampai disini, seperti fenomena gunung es kasus serupa banyak terjadi di tengah masyarakat. Terlebih kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak tentu menjadi catatan tersendiri. Mengingat anak-anak adalah cikal bakal generasi harus mendapatkan keamanan dalam kehidupan mereka. Bagaimana mungkin anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik jika lingkungan tempat tinggal mereka saja membahayakan mereka.
Terlebih lagi banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak justru terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka dan bahkan dari orang terdekat mereka sendiri.
Kritisi Akar masalah
Penyebab kekerasan seksual seringkali dikatakan karena ketimpangan relasi kuasa, yakni ketika pelaku merasa memiliki posisi dominan dari korbannya. Sehingga kekerasan seksual kemudian dilakukan oleh orangtua kepada anaknya, guru kepada siswanya, atasan kepada bawahannya dan lain-lain.
Padahal jika kita memahami dengan seksama dari berbagai peristiwa yang terjadi bahwa manusia sejatinya memiliki kebutuhan naluri seksual yang akan muncul ketika terjadinya rangsangan dari luar. Rangsangan itu kemudian mendorong munculnya keinginan untuk memenuhi naluri tersebut. Faktor-faktor yang dapat membangkitkan naluri seksual adalah apa yang di indra oleh manusia itu sendiri. Banyaknya tayangan dan perilaku yang mengekploitasi seksualitas seperti pornoaksi, film, lagu, dan bacaan. Semua lumrah didapati dilingkungan masyarakat. Maka seseorang yang bergejolak naluri seksual akan berusaha untuk memenuhi keinginannya kepada siapapun yang dianggap bisa memuaskannya. Baik kepada perempuan, anak, binatang bahkan benda mati sekalipun. Sehingga faktor relasi kuasa yang digadang-gadang sebagai penyebab kekerasan seksual hanyalah bentuk penyaluran dari dorongan pemenuhan seksual, bukan sebagai pemicu utama. Maka faktor penyebab rusaknya naluri seksual ini harusnya menjadi perhatian pemerintah. Segala bentuk perilaku dan tayangan pornoaksi dan pornografi harusnya dibersihkan dalam lingkungan masyarakat. Lantas mampukah negara menindak tegas terhadap faktor-faktor pemicu naluri seksual itu muncul?
Tentu saja jawabannya tidak. Selama negara tetap berpijak pada sistem sekuler yakni memberikan kebebasan berprilaku dalam kehidupan masyarakat, akan selalu muncul ruang-ruang ekspolitasi seksualitas dengan dalih kebebasan berekspresi. Nafas liberalisme akan selalu muncul dalam ruang-ruang publik dengan dalih hak asasi manusia. Sehingga tidak heran jika sistem sekuler yang melahirkan perilaku liberal ini telah merusak moral masyarakat salah satunya dalam hal ini adalah perilaku seksual yang berusaha melampiaskan nafsu birahinya kepada siapa yang dia kuasai. Tak ayal kasus kekersan seksual akan terus terjadi baik terhadap perempuan ataupun anak-anak yang notabene selalu berada dalam kuasa seseorang.
Negara Perlu Berbenah
Jika sistem negara sekuler telah memberikan bahaya dan hilangnya keamanan pada anak-anak. Bahkan di rumah yang harusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak sendiri sudah muncul penjahat seksual. Maka perlu mencari sistem alternatif, sistem negara yang mampu menjadi penjaga dengan mekanisme terbaik.
Islam telah memberikan mekanisme terbaik dalam menjaga kehormatan dan kemuliaan anak dan perempuan. Dalam Islam anak adalah mutiara berharga yang harus dijaga sebagai generasi penerus, sementara perempuan adalah kehormatan yang harus dilindungi. Maka Islam memberikan peran yang begitu besar kepada negara untuk mengatur kehidupan masyarakat agar keduanya terlindungi.
Islam memahami betul bahwasanya Allah menciptakan naluri seksual semata-mata untuk melestarikan keterunan manusia. Sehingga naluri ini hanya dipenuhi dalam ruang pernikahan. Dan Islam akan menjaga agar faktor-faktor eksternal yang dapat merusak naluri ini muncul, yakni rangsangan seksual.
Islam mengatur interkasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehingga muncul larangan khalwat dan ikhtilat. Islam juga mengatur pakaian perempuan dan laki-laki dalam kehidupan umum, dan tidak akan memberikan ruang bagi tayangan maupun perilaku yang dapat membangkitkan naluri seksual di tengah masyarakat. Semua itu di atur dalam nizham al-ijtima'iy (sistem pergaulan laki-laki dan perempuan).
Islam juga memberikan edukasi dalam keluarga dan masyarakat yang memiliki peran penting untuk menjaga perempuan dan generasi melalui pendidikan berbasis aqidah Islam. sehingga setiap muslim memahami visi misi hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Sehingga orangtua memahami anak sebagai amanah dari Allah yang harus diasuh dan didik sebaik-baik mungkin hingga lahir pribadi yang sholih. Sementara dalam lingkungan masyarakat akan terbangun suasana amar ma'ruf nahi munkar, sehingga muncul kontrol masyarakat terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang yang dapat membahayakan anak-anak dan perempuan.
Disamping itu, negara juga akan memberlakukan sanksi yang tegas terhadap pelaku yang dapat memberikan efek jera di tengah masyarakat. Negara akan memberikan sanksi berat sesuai syariat bagi para pelaku kekerasan seksual, yakni dua sanksi sekaligus. Sanksi karena pelaku telah melakukan pemaksaan yang melukai farji (kemaluan) korban, serta sanksi karena pelaku telah berzina.
Abdurahman al-Maliky dalam kitab Nizhamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa perlukaan terhadap farji termasuk perkara jinayah yang dikenakan sanksi berupa harta (diat). Akan tetapi, harus diperhatikan terlebih dahulu luka yang ditimbulkannya untuk menentukan entah sanksinya berupa setengah diat atau satu kali diat. Adapun satu kali diat adalah setara 100 ekor unta, sedangkan setengahnya adalah 50 ekor unta.
Sementara itu, sanksi karena melakukan zina adalah berupa had zina. Jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah cambuk 100 kali (QS. An-Nur [24] :2) dan diasingkan selama setahun.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah saw. menetapkan bagi orang yang berzina, tetapi belum menikah, [untuk] diasingkan selama setahun dan dikenai had kepadanya." Jika pelaku sudah menikah (muhsan), ia mendapat hukuman rajam sampai mati. Ada banyak sekali hadis yang menjelaskannya. Kedua sanksi ini harus dijalankan oleh pelaku kekerasan seksual. Ia harus membayar diat, dan setelahnya ia akan dikenakan had zina.
Berbagai mekanisme ini tertuang dalam syariat Islam. Tidak bisa dipungkiri dalam sejarah kehidupan manusia telah terbukti bahwa sistem Nagara Islam memberikan keamanan dan perlindungan bagi kehidupan anak-anak dan perempuan. Maka jika kita mau jujur dengan diri kita, jika memang kita peduli kepada generasi sudah seharusnya beralih kepada sistem alternatif ini yakni Sistem Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H