Mungkin fungsi biologis dan psikologis itulah yang dibahasakan ibu saya sebagai 'malaikat', terkait sendawa sebagai penanda penyakit yang keluar dan sebagai penanda terkabulnya doa. Sebab secara ilmiah memang rasa nyaman dan bahagia yang muncul dapat membuat gelombang otak kita lebih cepat menerima berbagai macam sugesti, dalam hal ini tentunya sugesti positif dari doa-doa yang kita dengarkan di sepanjang proses kerokan hingga akhirnya kondisi kita pun dapat membaik.
Sebagai masyarakat Indonesia yang akrab dengan mitos-mitos, penjelasan ilmiah memang akan selalu bergandengan dengan penjelasan non ilmiah. Namun di atas segalanya kerokan memang terbukti menjadi usaha penyembuhan yang mujarab dan bermanfaat baik secara fisik maupun psikis. Saya sebagai orang Indonesia sangat bangga dengan kekayaan kearifan lokal Nusantara, salah satunya tentang budaya kerokanisme ini. Kelak saya akan melanjutkan tradisi ini sebagaimana yang dilakukan oleh para leluhur, yang membuat saya tumbuh sehat dan percaya bahwa alam semesta memiliki kekuatan luar biasa.
Hingga kini ketika masuk angin atau sakit kepala melanda, saya masih mengedepankan nasehat nenek untuk tidak sedikit-sedikit minum obat dan menyembuhkan diri melalui kerokan. Namun, karena tingkat mobilitas saya dan suami yang cukup tinggi sebagai penulis dan pekerja lepas di bidang penelitian sosial, tentu tidak memungkinkan bagi kami untuk mengonsumsi ramuan tradisional seperti yang dilakukan para senior di keluarga atau membuat minyak rempah-rempah untuk blonyohan dan kerokan ketika berada di perjalanan. Untunglah ada BalsemLang yang praktis, hangat, dan tentu saja memiliki khasiat alami nan jitu sebagaimana ramuan kuno yang telah ada sejak jaman dahulu. Ke manapun kami bertugas atau bepergian, BalsemLang wajib ada di dalam ransel kami sebagai senjata utama ketika masuk angin mulai melanda.
Kembali kepada judul artikel ini, mengenai sendawa ketika kerokan dan kaitannya dengan doa ibu yang terkabul serta bagaimana masyarakat memilih untuk mengkaji perihal kerokan ini secara ilmiah maupun non ilmiah bagi saya semuanya sah-sah saja.
Menurut pendapat saya pribadi, dalam hal keilmuan masing-masing dari kita bebas untuk memilih pendekatan apapun dalam mengkaji sesuatu, sebab seluruh ilmu yang ada di alam semesta raya ini pada hakikatnya memiliki hubungan. Lagipula poin yang tak kalah penting adalah bagaimana pemaknaan kita selanjutnya, dan apa aplikasinya secara nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk soal budaya kerokan.
Untuk Ibu
Di atas segalanya, artikel ini saya tulis sebab saya merasa doa ibu ketika beliau mengerok saya benar-benar terkabul.Â
Apakah memang karena mitos yang ia pegang dan percayai? Ataukah semuanya terjadi secara ilmiah dalam proses panjang kerja tubuh, gelombang otak, dan alam bawah sadar manusia? Yang jelas kasih seorang ibu memang menghadirkan kekuatan meraih mimpi dan kebaikan-kebaikan pada hidup bagi anaknya.
Dan untuk ibu yang dulu selalu mengerok punggung saya sembari  nenuwun,