Akhir-akhir ini banyak berita tentang bencana alam terjadi tak hanya di Indonesia namun juga di Luar negeri. Bulan lalu, Pemerintah Amerika mengumumkan darurat bencana setelah banjir bandang disertai tanah longsor terjadi di Kentucky Timur yang menyebabkan kerusakan dan memakan korban. Selain memang faktor lokasi yang memang curam dan sempit sehingga rawan terjadi banjir, namun frekuensi hujan yang mencapai 250 mm selama 24 jam juga menjadi salah satu penyebabnya.
Masih dibulan yang sama, Hujan monsun dan banjir terjadi di Pakistan yang menewaskan lebih dari 300 jiwa dan merusak sekitar 9000 rumah. Dikutip dari Kompas, Selain karena memang perencanaan bencana alam yang buruk, Cuaca ekstrem menjadi faktor terjadi nya banjir di wilayah tersebut.
Bulan ini, Salah satu yang sedang banyak diberitakan yaitu berita tentang banjir bandang yang terjadi akibat hujan deras di Seoul, Korea Selatan. Dikutip dari Detik News, 7 orang dinyatakan meninggal dunia akibat peristiwa ini.
Menurut laporan CNN World, Hujan deras yang mencapai 141.5 mm per jam menyebabkan banjir bandang di Seoul dan merupakan intensitas hujan tertinggi yang pernah tercatat sejak tahun 1907. Ratusan rumah, toko dan kendaraan terendam banjir akibat peristiwa ini.
Tidak heran jika terjadi banjir, Curah hujan dengan intensitas lebih dari 100 mm yang biasanya terjadi dalam kurun waktu satu bulan atau lebih, kali ini dilaporkan terjadi dalam hitungan jam. Tentunya hal ini akan menyebabkan genangan air yang tinggi akibat terbatasnya kemampuan tanah dalam menyerap air hujan yang turun dalam sekala waktu tertentu.
Ilustrasinya, Seseorang yang normalnya minum air putih delapan gelas per hari, tiba-tiba dipaksa minum air putih puluhan gelas  dalam waktu satu jam, maka yang terjadi adalah orang tersebut hanya mampu meminum 8 gelas sehari atau 2-3 gelas dalam waktu 1  jam dan sisanya tentu terbuang.
Jadi, walaupun saluran air atau drainase nya bagus dan terdapat hutan, jika intensitas curah hujannya sangat tinggi tentu banjir tidak akan bisa di hindari ditambah memang lokasi merupakan kawasan rawan bencana. Cuaca ekstrim seperti ini tentunya tidak terlepas dari krisis iklim yang terjadi saat ini.
Perubahan iklim terjadi akibat dari pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca yang tinggi. Dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada, Dr. Emilya Nurjani S.Si. M.Si seorang peneliti dan pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa tingginya suhu udara akan mengakibatkan peningkatan evaporasi dan evapotranspirasi yang apabila lingkungan atmosfer mendukung maka awan-awan vertikal akan terbentuk yang berpotensi menghasilkan hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat.
Upaya menekan kenaikan suhu bumi perlu dilakukan untuk mencegah perubahan iklim yang berakibat buruk bagi kelangsungan hidup manusia dan bumi itu sendiri. Hal yang harus dilakukan adalah mengurangi produksi gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia.
Berdasarkan artikel yang ditulis WRI Indonesia tentang studi yang dilakukan IPCC, Kenaikan suhu 1,5 C diperkirakan akan terjadi dalam 2 dekade kedepan apabila tidak ada upaya mengurangi emisi penghasil gas rumah kaca. Bencana alam lebih besar pun kemungkinan bisa terjadi.
Pegiat lingkungan dan orang yang peduli terhadap kondisi bumi mulai banyak mengedukasi dan mengkampanyekan pentingnya gaya hidup yang ramah lingkungan. Berbagai perusahaan di luar negeri juga mulai menerapkan ekonomi hijau atau investasi hijau sebagai bentuk dukungan mengurangi emisi karbon.
Langkah nyata harus dilakukan untuk mencegah kenaikan suhu bumi yang akan menyebabkan bencana yang lebih besar lagi karena semakin tinggi suhu bumi, semakin besar kemungkinan cuaca ekstrem, kekeringan bahkan hilangnya es dan salju yang akan meningkatkan permukaan air laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H