Rindu yang Menggantung di Langit Pesantren
Aku tidak pernah menyangka pesantren bisa mengubah hidupku secepat ini. Hari demi hari aku semakin menemukan kenyamanan, bahkan rasa cinta pada lingkungan ini. Dari seorang gadis yang hanya tahu sedikit tentang agama, kini aku mulai mengerti keindahan dakwah. Setiap kali aku belajar, hatiku seperti disirami embun pagi. Ada sesuatu yang membuatku merasa tergantung pada ilmu agama, seperti akar yang haus akan air. Aku ingin menyampaikan ilmu ini kepada orang lain, ingin menjadi pelita bagi yang lain.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada awan gelap yang perlahan menggantung di hatiku. Aku semakin risau tentang keluargaku. Biasanya, mereka selalu datang menemuiku sekali sebulan. Namun kini, sudah lebih dari dua bulan mereka tidak pernah datang. Tidak ada kabar, tidak ada surat, tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka.
Uang jajanku sudah habis. Aku hanya bisa bersyukur karena Yuni, sahabatku, dengan baik hati meminjamkan sedikit uangnya untukku. Tetapi, rasa gelisah ini tak bisa hilang begitu saja. Aku merasa seperti kehilangan pijakan, seperti terapung di tengah lautan tanpa arah.
Akhirnya, dengan hati yang penuh kekhawatiran, aku memberanikan diri menemui Ustazah wafa, pembimbingku di pesantren. "Ustazah, bolehkah saya meminta tolong untuk menghubungi orang tua saya? Sudah lama mereka tidak mengunjungi saya."
Ustazah wafa menatapku dengan lembut. "Tentu, zakiya. Mari kita coba menghubungi mereka."
Namun, telepon demi telepon yang kami lakukan tidak pernah tersambung. Suara mesin otomatis yang mengatakan, "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi," membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku mencoba menyembunyikan air mataku di depan Ustazah, namun rasanya terlalu berat.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Suara detak jam dinding di kamarku terdengar begitu menyiksa, seakan menertawakan keheningan yang menusuk. Pikiranku kalut, berjuta pertanyaan menguasai diriku. Ada apa dengan mereka? Apakah mereka baik-baik saja? Mengapa tidak ada kabar?
Keesokan harinya, Ustazah wafa kembali memanggilku. "zakiya, mari kita coba hubungi orang tua kamu lagi," katanya lembut.
Aku hanya bisa mengangguk, meskipun harapan dalam hatiku mulai memudar. Sekali lagi, tidak ada yang bisa dihubungi. Kali ini aku tidak bisa lagi menahan air mataku. Mereka jatuh begitu saja, mengalir tanpa kendali. Aku merasa seperti berdiri di tepi jurang, dengan angin kencang yang siap menjatuhkanku kapan saja.
"Tidak apa-apa, zakiya. Kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama," kata Ustazah, mencoba menenangkanku.
Namun, aku hanya bisa mengangguk lemah. Dalam hati, aku berjanji untuk tetap tegar. Aku tidak ingin teman-temanku melihatku rapuh. Setelah Ustazah pergi, aku melangkah perlahan menuju lorong-lorong kamar. Aku ingin sendiri, ingin mencoba menenangkan pikiranku yang kacau.
Saat semua teman-temanku berangkat ke sekolah, aku masih duduk di sudut tempat tidur bertingkatku. Besi tempat tidur itu terasa dingin di kulitku, seakan-akan ikut mencerminkan kesunyian hatiku. Aku menundukkan kepala, mencoba meredakan sesak yang ada di dadaku.
Tiba-tiba suara lembut Ustazah wafa membuyarkan lamunanku. "zakiya, kenapa kamu tidak sekolah?" tanyanya penuh perhatian.
"Maaf, Ustazah," jawabku pelan. "Hari ini aku ingin menenangkan diri. Mohon izinkan aku untuk istirahat."
Ustazah tersenyum kecil. "Baiklah, kalau begitu. Ustazah akan berangkat sekolah dulu. zakiya istirahatlah, nanti kita cari solusi untuk masalah ini bersama-sama, ya?"
Aku mengangguk, meski hatiku tetap dipenuhi kabut kecemasan. Setelah Ustazah pergi, aku kembali tenggelam dalam pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku merasa semakin jauh dari keluargaku? Berbagai bayangan buruk mulai menghantui benakku.
Satu jam berlalu. Dua jam. Aku masih duduk di tempat yang sama. Perasaan tak menentu ini membuatku seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Aku hanya bisa berdoa, memohon pada Allah agar semua ini segera berakhir.
Hari itu, di tengah kesendirianku, aku menyadari satu hal. Aku tidak sendiri. Aku masih punya Allah, dan Dia tidak akan pernah meninggalkanku. Meski aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku percaya bahwa Allah akan menunjukkan jalan. Aku hanya perlu bersabar dan tetap berdoa.
Namun, dalam hati kecilku, aku masih menyimpan satu harapan: semoga keluargaku baik-baik saja, di mana pun mereka berada.
Bersambung...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI