Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Saat sang surya kehilangan cahaya part 2

28 Januari 2025   17:24 Diperbarui: 28 Januari 2025   17:24 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar foto: doc. pribadi

Rindu yang Menggantung di Langit Pesantren

Aku tidak pernah menyangka pesantren bisa mengubah hidupku secepat ini. Hari demi hari aku semakin menemukan kenyamanan, bahkan rasa cinta pada lingkungan ini. Dari seorang gadis yang hanya tahu sedikit tentang agama, kini aku mulai mengerti keindahan dakwah. Setiap kali aku belajar, hatiku seperti disirami embun pagi. Ada sesuatu yang membuatku merasa tergantung pada ilmu agama, seperti akar yang haus akan air. Aku ingin menyampaikan ilmu ini kepada orang lain, ingin menjadi pelita bagi yang lain.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada awan gelap yang perlahan menggantung di hatiku. Aku semakin risau tentang keluargaku. Biasanya, mereka selalu datang menemuiku sekali sebulan. Namun kini, sudah lebih dari dua bulan mereka tidak pernah datang. Tidak ada kabar, tidak ada surat, tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka.

Uang jajanku sudah habis. Aku hanya bisa bersyukur karena Yuni, sahabatku, dengan baik hati meminjamkan sedikit uangnya untukku. Tetapi, rasa gelisah ini tak bisa hilang begitu saja. Aku merasa seperti kehilangan pijakan, seperti terapung di tengah lautan tanpa arah.

Akhirnya, dengan hati yang penuh kekhawatiran, aku memberanikan diri menemui Ustazah wafa, pembimbingku di pesantren. "Ustazah, bolehkah saya meminta tolong untuk menghubungi orang tua saya? Sudah lama mereka tidak mengunjungi saya."

Ustazah wafa menatapku dengan lembut. "Tentu, zakiya. Mari kita coba menghubungi mereka."

Namun, telepon demi telepon yang kami lakukan tidak pernah tersambung. Suara mesin otomatis yang mengatakan, "Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi," membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku mencoba menyembunyikan air mataku di depan Ustazah, namun rasanya terlalu berat.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Suara detak jam dinding di kamarku terdengar begitu menyiksa, seakan menertawakan keheningan yang menusuk. Pikiranku kalut, berjuta pertanyaan menguasai diriku. Ada apa dengan mereka? Apakah mereka baik-baik saja? Mengapa tidak ada kabar?

Keesokan harinya, Ustazah wafa kembali memanggilku. "zakiya, mari kita coba hubungi orang tua kamu lagi," katanya lembut.

Aku hanya bisa mengangguk, meskipun harapan dalam hatiku mulai memudar. Sekali lagi, tidak ada yang bisa dihubungi. Kali ini aku tidak bisa lagi menahan air mataku. Mereka jatuh begitu saja, mengalir tanpa kendali. Aku merasa seperti berdiri di tepi jurang, dengan angin kencang yang siap menjatuhkanku kapan saja.

"Tidak apa-apa, zakiya. Kita akan cari jalan keluarnya bersama-sama," kata Ustazah, mencoba menenangkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun