Bayangkan, berada dalam puncak kesedihan seperti yang dialami Nabi Muhammad pada tahun-tahun penuh cobaan. Kehilangan Khadijah, pendamping hidup yang selalu setia, dan Abu Thalib, paman yang menjadi pelindung dakwahnya. Ditambah dengan penolakan keras dari kaumnya, bahkan hinaan dan lemparan batu di Ta'if. Itu semua menggambarkan betapa beratnya beban yang harus beliau pikul. Namun, di tengah duka itu, Allah menghadiahkan hiburan yang begitu luar biasa: Isra Mi'raj.
Perjalanan agung itu bukan sekadar hiburan. Itu adalah pengingat bahwa meski dunia terlihat gelap, ada cahaya yang menanti. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu ke Sidratul Muntaha, Nabi diperlihatkan kebesaran Allah dan dihibur dengan limpahan kasih sayang-Nya. Namun, saat kembali dari perjalanan itu, Nabi tidak membawa oleh-oleh biasa, melainkan sebuah kewajiban: shalat. Sebuah ibadah inti yang menjadi tiang agama, bukti hubungan hamba dengan Tuhannya, sekaligus tugas yang harus dijalankan oleh seluruh umat.
Kini, mari kita pandang Palestina. Bertahun-tahun lamanya Masjidil Aqsha menjadi saksi bisu duka dan penderitaan umat. Tahun-tahun yang penuh tekanan, ketidakadilan, dan penjajahan telah membawa bangsa ini ke titik kesedihan yang begitu mendalam. Namun, seperti kisah Isra Mi'raj, ada cahaya yang mulai terlihat. Awal tahun ini, pasukan Israel menarik diri dari Masjidil Aqsha dan sekitarnya. Dunia menyaksikan momen ini sebagai harapan baru.
Tetapi, seperti perjalanan Nabi , kita diingatkan bahwa ini bukan akhir cerita. Pembebasan Masjidil Aqsha dari penjajahan fisik hanyalah satu langkah kecil. Pulangnya Nabi dari Isra Mi'raj membawa kewajiban baru, begitu juga peristiwa ini. Kini kita dihadapkan pada tugas yang lebih besar: menjaga, merawat, dan membangun kembali martabat Masjidil Aqsha, bukan hanya secara fisik, tetapi juga spiritual.
Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah selama ini kita telah menunaikan kewajiban kita terhadap tempat suci ini? Apakah kita sudah menjadi bagian dari perjuangan untuk mempertahankan simbol-simbol keimanan kita? Ataukah kita justru lalai dan terjebak dalam kenyamanan yang membuat kita lupa?
Seperti shalat yang diperintahkan setelah Isra Mi'raj, peristiwa penarikan pasukan ini harus menjadi titik awal untuk memperbaiki diri. Palestina mungkin telah melewati fase tersulitnya, tetapi ini bukanlah akhir. Masih ada kewajiban besar yang harus dijalankan. Masih ada tanggung jawab umat untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar tegak, dan Masjidil Aqsha tetap menjadi simbol perdamaian, bukan sekadar sebuah tempat.
Maka, mari jadikan momen ini pengingat untuk mulai membenahi apa yang mungkin telah kita abaikan: shalat, doa, dan solidaritas. Karena seperti Isra Mi'raj yang membawa Nabi lebih dekat kepada Allah, peristiwa ini juga mengajak kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menjadi bagian dari perjuangan besar umat Islam. Perjalanan ini belum berakhir. Justru, kita baru saja memulai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI