Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplop pembawa luka 7

25 Januari 2025   11:02 Diperbarui: 25 Januari 2025   11:02 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

part 7

Luka dipersimpangan harapan

Tiga setengah tahun aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi, merajut mimpi yang kutata dengan segenap jiwa. Proposalku sudah selesai diseminarkan, dan aku mulai melangkah ke tahap yang paling menantang, yaitu  penelitian. Segalanya terasa begitu dekat dengan akhir yang kuimpikan. Namun, takdir punya caranya sendiri untuk mengubah jalan cerita.

Pagi itu, Ibu mengajakku bicara dari hati ke hati. Aku ingat tatapan matanya yang penuh cinta sekaligus beban. "Nak," suara Ibu terdengar pelan tapi jelas, "bisakah kamu mengurus surat cuti kuliahmu? Semua mata kuliahmu sudah selesai, bukan?" Aku menatapnya, merasa ada yang menghantam dadaku. "Kalau kamu wisuda tepat waktu," lanjut Ibu dengan suara bergetar, "biaya wisudamu akan bersamaan dengan sewa rumah kita dan persiapan Laras masuk sekolah."

Kakiku terasa lemas. Kata-katanya membelenggu hatiku, tapi aku tak mampu melawan. Aku hanya diam, mencoba memahami. Tanpa sepatah kata pun, aku melangkah keluar rumah, menuju kampus untuk mengurus semua yang diminta. Proses itu kulakukan seperti raga tanpa jiwa, tanpa tenaga. Tubuhku bergerak, tapi hatiku seperti hancur berkeping-keping, aku hancur.

Sepanjang hari itu, aku memilih menyendiri di masjid dekat kampus. Air mata yang kutahan akhirnya pecah. Tangisku membanjiri sajadah, membasahi hatiku yang sudah patah. Skripsiku yang sudah selesai seminar, yang sudah kupersiapkan dengan penuh perjuangan dan peluh, kurobek dengan tanganku sendiri. Kertas-kertas itu kuhancurkan, seolah dengan itu aku bisa membuang semua rasa sakit. Aku hanya bisa memohon belas kasih Allah, berharap Dia melihat lukaku yang tak terlihat oleh siapa pun.

Empat bulan berlalu. Hari wisuda tiba. Teman-temanku bergembira menyambut hari yang mereka impikan sejak awal kuliah. Tapi aku? Aku hanya diam. Ketika mereka bertanya kenapa aku tidak ikut wisuda, aku hanya tersenyum tipis, tanpa menjelaskan. Bagiku, tidak semua orang perlu tahu tentang kesedihan ini. Tidak semua orang harus bersimpati. Aku memilih menanggungnya sendiri.

Pagi itu, aku berjalan di tepi sawah dipinggir jalan,aku mencoba melepaskan beban yang menghimpit. Aku diundang menghadiri wisuda seorang teman dekat. Tapi hatiku berat. Bagaimana aku harus menghadapi mereka? Bagaimana jika aku tak mampu menyembunyikan kesedihanku? Rasanya seperti berjalan menuju jurang tak berdasar.

Namun Allah Maha Penyayang. Di tengah perjalanan menuju kampus, aku bertemu dengan salah seorang guruku di pesantren.

"Hai, Nafisa," sapanya lembut, membuatku tersentak dari lamunan. Dengan buru-buru, aku menyeka air mata yang masih membasahi pipiku.

"Iya, Ustazah," jawabku dengan senyuman yang kupaksakan.

"Mau ke mana jalan kaki?" tanyanya, wajahnya penuh perhatian.

"Oh, nggak, Zah. Ini saya mau ke kampus, tapi kebetulan ada yang mau dibeli dulu. Tokonya ada di sekitar sini," jawabku, mencoba mengalihkan topik.

"Oh, begitu. Nafisa, wisudanya kapan?"

Pertanyaan itu membuat hatiku terasa sakit kembali. "Belum tahu, Zah," jawabku pelan, hampir berbisik.

"Masih ada mata kuliah?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Tidak, Zah. Semua sudah selesai, hanya penelitian saya yang belum tuntas."

Ustazah mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Begini, Nafisa. Pesantren kita sedang membutuhkan pembina asrama, sekaligus guru untuk beberapa mata pelajaran. Kalau Nafisa mau membantu kami, temui kepala sekolah secepatnya. Kalau bisa, nanti sore langsung masuk asrama."

Kata-katanya seperti angin segar di tengah gersangnya jiwaku. Aku menahan air mata yang nyaris tumpah, berusaha menyembunyikan rasa haru yang membuncah. "InsyaAllah, Zah," jawabku sambil tersenyum, kali ini dengan keikhlasan yang murni.

Setelah ustazah berlalu, aku berbalik arah, pulang ke rumah dengan langkah yang lebih ringan. Kabar itu kusampaikan kepada Ibu, yang menyambutnya dengan pelukan dan air mata bahagia. Hari itu, harapanku yang sempat redup mulai menyala kembali. Meski masih cuti, aku memutuskan untuk mengumpulkan kembali bahan-bahan skripsiku, mencoba menuntaskan penelitianku di tempat yang kini menjadi rumah baruku.

Allah tidak pernah meninggalkanku. Di balik setiap luka, Dia menyisipkan obat. Di balik setiap kehilangan, Dia menghadirkan harapan. Meski perjalanan ini penuh liku, aku percaya, setiap langkah yang kutempuh akan membawaku lebih dekat kepada-Nya.

Bersambung....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun