"Mau ke mana jalan kaki?" tanyanya, wajahnya penuh perhatian.
"Oh, nggak, Zah. Ini saya mau ke kampus, tapi kebetulan ada yang mau dibeli dulu. Tokonya ada di sekitar sini," jawabku, mencoba mengalihkan topik.
"Oh, begitu. Nafisa, wisudanya kapan?"
Pertanyaan itu membuat hatiku terasa sakit kembali. "Belum tahu, Zah," jawabku pelan, hampir berbisik.
"Masih ada mata kuliah?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. "Tidak, Zah. Semua sudah selesai, hanya penelitian saya yang belum tuntas."
Ustazah mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Begini, Nafisa. Pesantren kita sedang membutuhkan pembina asrama, sekaligus guru untuk beberapa mata pelajaran. Kalau Nafisa mau membantu kami, temui kepala sekolah secepatnya. Kalau bisa, nanti sore langsung masuk asrama."
Kata-katanya seperti angin segar di tengah gersangnya jiwaku. Aku menahan air mata yang nyaris tumpah, berusaha menyembunyikan rasa haru yang membuncah. "InsyaAllah, Zah," jawabku sambil tersenyum, kali ini dengan keikhlasan yang murni.
Setelah ustazah berlalu, aku berbalik arah, pulang ke rumah dengan langkah yang lebih ringan. Kabar itu kusampaikan kepada Ibu, yang menyambutnya dengan pelukan dan air mata bahagia. Hari itu, harapanku yang sempat redup mulai menyala kembali. Meski masih cuti, aku memutuskan untuk mengumpulkan kembali bahan-bahan skripsiku, mencoba menuntaskan penelitianku di tempat yang kini menjadi rumah baruku.
Allah tidak pernah meninggalkanku. Di balik setiap luka, Dia menyisipkan obat. Di balik setiap kehilangan, Dia menghadirkan harapan. Meski perjalanan ini penuh liku, aku percaya, setiap langkah yang kutempuh akan membawaku lebih dekat kepada-Nya.
Bersambung....