part 7
Luka dipersimpangan harapan
Tiga setengah tahun aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi, merajut mimpi yang kutata dengan segenap jiwa. Proposalku sudah selesai diseminarkan, dan aku mulai melangkah ke tahap yang paling menantang, yaitu penelitian. Segalanya terasa begitu dekat dengan akhir yang kuimpikan. Namun, takdir punya caranya sendiri untuk mengubah jalan cerita.
Pagi itu, Ibu mengajakku bicara dari hati ke hati. Aku ingat tatapan matanya yang penuh cinta sekaligus beban. "Nak," suara Ibu terdengar pelan tapi jelas, "bisakah kamu mengurus surat cuti kuliahmu? Semua mata kuliahmu sudah selesai, bukan?" Aku menatapnya, merasa ada yang menghantam dadaku. "Kalau kamu wisuda tepat waktu," lanjut Ibu dengan suara bergetar, "biaya wisudamu akan bersamaan dengan sewa rumah kita dan persiapan Laras masuk sekolah."
Kakiku terasa lemas. Kata-katanya membelenggu hatiku, tapi aku tak mampu melawan. Aku hanya diam, mencoba memahami. Tanpa sepatah kata pun, aku melangkah keluar rumah, menuju kampus untuk mengurus semua yang diminta. Proses itu kulakukan seperti raga tanpa jiwa, tanpa tenaga. Tubuhku bergerak, tapi hatiku seperti hancur berkeping-keping, aku hancur.
Sepanjang hari itu, aku memilih menyendiri di masjid dekat kampus. Air mata yang kutahan akhirnya pecah. Tangisku membanjiri sajadah, membasahi hatiku yang sudah patah. Skripsiku yang sudah selesai seminar, yang sudah kupersiapkan dengan penuh perjuangan dan peluh, kurobek dengan tanganku sendiri. Kertas-kertas itu kuhancurkan, seolah dengan itu aku bisa membuang semua rasa sakit. Aku hanya bisa memohon belas kasih Allah, berharap Dia melihat lukaku yang tak terlihat oleh siapa pun.
Empat bulan berlalu. Hari wisuda tiba. Teman-temanku bergembira menyambut hari yang mereka impikan sejak awal kuliah. Tapi aku? Aku hanya diam. Ketika mereka bertanya kenapa aku tidak ikut wisuda, aku hanya tersenyum tipis, tanpa menjelaskan. Bagiku, tidak semua orang perlu tahu tentang kesedihan ini. Tidak semua orang harus bersimpati. Aku memilih menanggungnya sendiri.
Pagi itu, aku berjalan di tepi sawah dipinggir jalan,aku mencoba melepaskan beban yang menghimpit. Aku diundang menghadiri wisuda seorang teman dekat. Tapi hatiku berat. Bagaimana aku harus menghadapi mereka? Bagaimana jika aku tak mampu menyembunyikan kesedihanku? Rasanya seperti berjalan menuju jurang tak berdasar.
Namun Allah Maha Penyayang. Di tengah perjalanan menuju kampus, aku bertemu dengan salah seorang guruku di pesantren.
"Hai, Nafisa," sapanya lembut, membuatku tersentak dari lamunan. Dengan buru-buru, aku menyeka air mata yang masih membasahi pipiku.
"Iya, Ustazah," jawabku dengan senyuman yang kupaksakan.