Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplom pembawa luka 2

25 Januari 2025   04:22 Diperbarui: 25 Januari 2025   06:40 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi amplop membawa luka 2 (gambar: doc. pribadi)

Sepulang sekolah pukul 16.00, aku melihat ibu di dapur. Wajahnya letih, tapi ada sedikit senyuman di sana. Tangannya sibuk mengaduk tumis sayur di wajan. Bau masakan sederhana itu memenuhi ruangan, mengusir rasa sepi yang tadi menggantung.

"Nafisa, tolong temani Laras bermain, ya. Ibu harus menyelesaikan ini dulu," katanya lembut. Aku menggendong Laras yang mulai merengek, membawanya ke sudut ruangan sambil terus memandang ibu. Rasanya lega melihat ibu di rumah, meski wajahnya penuh peluh.

Ketika akhirnya kami makan bersama, ibu menyajikan nasi dengan tumis labu siam, wortel, dan sambalado khas Minang. Aku menahan air mata melihat makanan sederhana itu. "Bu, tadi ibu ke mana?" tanyaku pelan sambil menyuapkan nasi ke mulut.

Ibu tersenyum tipis, meski lelah jelas terlihat di wajahnya. "Tadi ibu membantu Buk Sastri membungkus dagangan. Alhamdulillah, mulai sekarang ibu kerja di sana. Buk Sastri baik, dia izinkan ibu membawa Laras. Walaupun hasilnya kecil, setidaknya kita bisa makan, Nak."

Hatiku pecah mendengar itu. Aku memeluk ibu erat, air mataku tumpah tanpa bisa ditahan. "Maaf ya, Bu. Aku belum bisa bantu ibu. Aku cuma bikin ibu tambah repot."

Ibu memelukku balik, usapan lembutnya di kepalaku membuatku merasa sedikit lebih kuat. "Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu belajar yang rajin. Kamu harus sukses. Kamu harus jadi sarjana, apapun yang terjadi."

Aku mengangguk kuat, menahan isak tangis. "Aku janji, Bu. Aku akan berusaha sekuat tenaga."

Dalam pelukan ibu, aku menemukan kembali kekuatan yang sempat hilang. Meski hidup kami keras, aku tahu aku harus melangkah. Demi ibu. Demi Laras. Demi janji yang telah kuucapkan dengan sepenuh hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun