Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplom pembawa luka 2

25 Januari 2025   04:22 Diperbarui: 25 Januari 2025   06:40 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi amplop membawa luka 2 (gambar: doc. pribadi)

Part 2: Luka dalam Lapar yang Tak Berujung

Pagi ini begitu sunyi. Bahkan suara napas terasa menggema di ruang dapur yang kosong. Aku duduk di sudut lantai, memandang piring-piring kosong yang berbaris tanpa isi. Bau samar kayu bakar di tungku tak lagi membawa kehangatan, melainkan hanya menyisakan hampa. Tak ada aroma makanan, tak ada suara sendok dan piring beradu. Perutku merintih, seolah memohon sesuatu.

Ibu berdiri di dekat meja kecil, memandangku dengan senyuman yang lebih mirip topeng. Matanya bengkak, merah karena terlalu banyak menangis dalam diam. "Maaf ya, Nak. Semoga nanti siang kita bisa makan," ucapnya dengan suara bergetar, mencoba terdengar kuat meski jelas hati ibu sedang retak. Aku hanya bisa mengangguk, menahan air mata agar tidak jatuh di hadapannya. Aku tahu, jika aku menangis, ibu pasti akan lebih terluka.

Aku melangkah menuju sekolah dengan kaki yang terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat. Di kelas, ustazah berdiri di depan, memandang kami satu per satu. "Siapa di sini yang belum punya buku pegangan?" tanyanya. Kata-kata itu seperti pisau yang menghunus dadaku. Dengan ragu, aku mengangkat tangan.

"Nafisa, kenapa sampai sekarang kau belum punya buku? Bagaimana kau mau belajar?" ustazah bertanya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya. Aku tak berani menjawab, hanya tertunduk, malu. "Kalau begini terus, lebih baik kau keluar dulu. Belajarlah kalau sudah punya buku!" katanya tegas.

Aku berjalan keluar kelas dengan kepala tertunduk. Setiap langkahku terasa seperti menambah luka di hati. Di luar, aku duduk di bangku tua yang berdebu, memeluk lututku sambil menahan tangis. Namun, tangis itu tetap pecah, pelan dan sunyi, seperti hujan gerimis yang membasahi tanah kering.

Bel istirahat berbunyi. Teman-temanku berlarian ke kantin, membawa tawa yang terdengar seperti ejekan di telingaku. Aku tetap duduk di bangkuku, menempelkan kepala ke meja. Perutku semakin perih, tapi aku tahu tak ada yang bisa kulakukan. Tidak ada uang, tidak ada teman, hanya ada sunyi yang menemani. Aku mendengar mereka bercanda, tertawa, membahas makanan yang mereka beli, dan itu membuat rinduku pada jajanan sekolah semakin menyiksa.

Jam demi jam berlalu. Di pelajaran terakhir, tubuhku terasa makin lemah. Wajahku memucat, sampai seorang guru bertanya, "Nafisa, kamu sakit?" Aku menggeleng kecil, memaksakan senyum. "Tidak, Pak ustaz. Saya baik-baik saja," jawabku lirih, lalu meminta izin ke kamar mandi.

Di kamar mandi, aku menatap bayanganku di cermin retak. Wajahku tampak lebih tua dari usiaku, dengan lingkaran hitam di bawah mata. Aku berjalan pelan ke tempat wudu. Di sana, aku menampung air mentah di tangan dan meminumnya. Rasanya getir, tapi cukup membuat tenggorokanku basah dan tubuhku terasa sedikit lebih segar.

Jam 13.15, aku pulang sejenak sebelum kembali ke sekolah untuk sesi sore. Dengan hati penuh harap, aku membuka pintu rumah. Namun, rumah itu tetap sepi. Ibu belum pulang. Tak ada siapa pun. Rasa rindu pada sosoknya membuat langkahku terasa semakin berat. Tapi aku tahu, aku tak punya waktu untuk larut dalam kesedihan. Aku harus kembali ke sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun