Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplop pembawa luka part 1

24 Januari 2025   22:55 Diperbarui: 25 Januari 2025   04:54 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar amplop pembawa luka (file: doc. pribadi)

part 1

Mata ibu selalu memerah setiap kali kami memandangnya. Namun, ibu seolah tak ingin terlihat lemah. Ia berpaling, menutupi luka di hatinya, berpura-pura kuat di hadapan kami. Sudah seminggu berlalu sejak peristiwa kepergian ayahku.

Ayah sempat berpamitan, katanya, akan bekerja di luar kota. "Aku akan sering pulang untuk menemui kalian," begitu janjinya sambil tersenyum. Tapi janji itu seperti asap yang lenyap ditiup angin. Tak ada kabar, tak ada pesan, seolah kami dilupakan.

Dua bulan berlalu. Uang saku ibu habis, sementara adikku, yang masih bayi, membutuhkan susu dan popok. Aku, anak SMP yang bahkan belum bisa memahami apa-apa, hanya bisa memeluk ibu tanpa banyak bertanya. Aku takut. Takut jika pertanyaanku membuat tangis ibu pecah. Kami bertahan dengan belas kasihan penjual sembako yang tak jauh dari rumah kami.

Kadang-kadang, aku melihat ibu duduk sendiri sambil menggendong adikku yang masih berusia lima bulan. Matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tak terlihat. Dari kejauhan, aku hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Aku tak boleh menangis," gumamku pelan, meski hatiku terasa sesak.

Suatu sore, suara salam terdengar dari depan rumah.
"Assalamu'alaikum... Ibu Zarra, ada di rumah?"

Ibu membuka pintu perlahan. "Wa'alaikumussalam, iya, saya sendiri. Ada apa ya, Pak?"
"Maaf, Bu. Saya teman suami Ibu. Beliau menitipkan surat ini untuk disampaikan kepada Ibu," ucap pria itu sambil menyerahkan amplop.
"Oh... terima kasih, Pak."

Pria itu pamit pergi, dan ibu hanya menatap amplop itu dengan wajah penuh harap. Belum sempat ibu membukanya, adikku menangis. Ibu buru-buru meletakkan surat itu di meja, lalu memomong adikku di ruang tamu. Aku mendekat, merasa antusias sekaligus gelisah. "Mungkin ini kabar baik dari Ayah," pikirku.

Namun, saat ibu akhirnya membaca surat itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Tangan ibu gemetaran. Tubuhnya lunglai seolah seluruh kekuatan hilang dalam sekejap. Air matanya mengalir deras, tapi tidak ada suara yang keluar.

"Kenapa, Bu? Ada apa?" tanyaku dengan cemas.

Ibu tidak menjawab. Ibuku hanya diam namun air matanya semakin deras membasahi pipinya. Ia memeluk adikku erat, seolah takut kehilangan sesuatu yang paling berharga. Aku bingung, takut, sekaligus penasaran. Tapi aku tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk mendesak ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun