Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah dan Spirit Ramadhan: harmoni dalam Kebijakan pendidikan

19 Januari 2025   11:44 Diperbarui: 19 Januari 2025   11:44 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kegiatan Tarawih Anak Sekolah (sumber: https://pwmu.co/66194/05/25/begini-alasan-anak-anak-tk-ini-memilih-shalat-tarawih-di-sdmm/)

Bulan Ramadhan 2025 kian mendekat, dan antusiasme masyarakat menyambutnya semakin terasa. Di tengah persiapan menjalankan ibadah puasa, perhatian publik kini tertuju pada kebijakan yang akan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan terkait jadwal libur sekolah selama bulan suci ini. Apakah siswa akan mendapatkan libur penuh selama Ramadhan, menjalani pengurangan jam belajar, atau tetap belajar dengan sistem yang disesuaikan?

Keputusan ini bukanlah perkara sederhana. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan pendidikan dan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual Ramadhan. Kebijakan yang diambil akan berdampak langsung pada jutaan siswa, guru, dan orang tua di seluruh Indonesia.

Namun, di balik kerangka kebijakan ini, ada pertanyaan yang lebih besar: bagaimana kita dapat menciptakan harmoni antara dunia pendidikan dan ibadah, sehingga Ramadhan menjadi momen untuk memperkuat karakter sekaligus menjaga semangat belajar?

Ramadhan adalah bulan suci yang menjadi puncak keimanan bagi umat Islam. Bulan yang dipenuhi dengan nuansa ibadah, spiritualitas, dan pengendalian diri. Namun, di sisi lain, Ramadhan juga membawa tantangan, terutama ketika kita berbicara tentang dunia pendidikan. Apakah sekolah mampu berjalan harmonis dengan tuntutan spiritualitas Ramadhan? Ataukah pendidikan harus beradaptasi dengan semangat bulan suci ini?

Tahun 2025, pemerintah sedang mempertimbangkan beberapa opsi untuk menyelaraskan kegiatan belajar mengajar dengan kebutuhan Ramadhan. Salah satu opsi yang menarik perhatian adalah pengurangan jam belajar di sekolah. Pilihan ini tampaknya menjadi cara tengah, menjaga agar pendidikan tetap berjalan sambil memberi ruang bagi siswa untuk menjalankan ibadah Ramadhan. Namun, di balik opsi ini, ada lapisan-lapisan yang perlu kita gali lebih dalam.

Harmoni atau Kompromi?

Pendidikan adalah fondasi utama bagi generasi penerus. Di sisi lain, Ramadhan adalah momen pembentukan karakter melalui nilai-nilai agama. Dua hal ini tidak boleh saling meniadakan, tetapi harus berjalan berdampingan, saling melengkapi.

Pengurangan jam belajar menjadi tawaran harmoni antara pendidikan dan ibadah. Namun, harmoni ini bukan sekadar soal waktu yang dikurangi. Ada dinamika lebih dalam yang melibatkan kesiapan fisik, mental, dan spiritual siswa, guru, serta orang tua.

Bayangkan seorang anak usia SD yang baru mulai belajar berpuasa. Tubuhnya sedang menyesuaikan diri dengan perubahan pola makan dan tidur. Di pagi hari, ia tetap harus datang ke sekolah, meski dengan waktu belajar yang lebih singkat. Ada kelelahan yang tak bisa disangkal. Tetapi di sisi lain, ada semangat baru---kesadaran bahwa Ramadhan bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang belajar mengelola waktu, tanggung jawab, dan disiplin.

Namun, bagaimana dengan siswa SMA yang sedang bersiap menghadapi ujian penting? Mereka berada dalam dilema. Jam belajar dikurangi, tetapi tekanan untuk tetap berprestasi tidak ikut berkurang. Harmoni itu mulai terlihat seperti kompromi. Dan kompromi, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber masalah.

Spirit Ramadhan dalam Pendidikan

Ramadhan adalah bulan yang mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan pengendalian diri. Spirit ini seharusnya menjadi inti dari setiap kebijakan pendidikan selama bulan suci. Mengurangi jam belajar saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan transformasi dalam cara kita mendidik.

Guru, misalnya, memiliki peran kunci dalam membawa spirit Ramadhan ke dalam kelas. Materi pelajaran dapat disampaikan dengan pendekatan yang lebih relevan, menyisipkan nilai-nilai spiritual tanpa mengurangi esensi akademis. Misalnya, dalam pelajaran matematika, siswa bisa diajak menghitung zakat atau menyusun anggaran buka puasa untuk keluarga yang kurang mampu. Dalam pelajaran sejarah, mereka bisa mempelajari kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat selama bulan Ramadhan.

Spirit Ramadhan juga harus tercermin dalam suasana sekolah. Alih-alih membebani siswa dengan tugas-tugas akademis, sekolah bisa menyelenggarakan kegiatan yang membangun kebersamaan, seperti buka puasa bersama, tadarus Al-Qur'an, atau aksi sosial. Kegiatan seperti ini tidak hanya mendekatkan siswa pada nilai-nilai agama, tetapi juga mempererat hubungan mereka dengan teman dan guru.

Kesiapan Anak dalam Menjalani Harmoni

Tidak semua anak memiliki kesiapan yang sama untuk menjalani harmoni antara sekolah dan Ramadhan. Faktor usia, kesehatan, dan dukungan lingkungan sangat memengaruhi.

Anak-anak usia SD cenderung lebih mudah kelelahan selama Ramadhan, terutama jika mereka masih dalam tahap belajar berpuasa. Jam belajar yang dikurangi membantu mereka menjaga energi. Namun, ini juga berarti mereka kehilangan waktu belajar formal yang seharusnya menjadi dasar bagi pembentukan kemampuan akademik mereka.

Anak-anak di tingkat SMP dan SMA menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Selain puasa, mereka harus menghadapi tuntutan akademik yang lebih berat. Apakah mereka mampu memanfaatkan waktu yang lebih singkat di sekolah dengan optimal? Apakah mereka memiliki keterampilan belajar mandiri yang cukup untuk menggantikan waktu belajar yang hilang?

Di sinilah peran orang tua menjadi sangat penting. Orang tua perlu menjadi pendamping yang aktif, membantu anak mengatur jadwal belajar dan ibadah. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki waktu atau pengetahuan yang cukup untuk menjalankan peran ini.

Dinamika Psikologis Anak Selama Ramadhan

Puasa mengajarkan pengendalian diri, tetapi bagi anak-anak, ini adalah tantangan besar. Perubahan pola makan dan tidur dapat memengaruhi emosi dan konsentrasi mereka. Anak-anak mungkin menjadi lebih cepat lelah, mudah marah, atau kurang fokus.

Dalam konteks sekolah, kondisi ini bisa menjadi tantangan bagi guru. Bagaimana cara menjaga semangat belajar siswa tanpa menambah beban mereka? Bagaimana membuat suasana kelas tetap kondusif meski siswa tidak dalam kondisi fisik terbaik?

Jawabannya ada pada pendekatan yang lebih fleksibel. Guru perlu memahami kondisi psikologis siswa selama Ramadhan dan menyesuaikan metode pengajaran. Misalnya, kegiatan belajar mengajar dapat dimulai dengan refleksi singkat tentang nilai-nilai Ramadhan atau diskusi ringan yang melibatkan partisipasi siswa.

Kebijakan Pendidikan yang Adaptif

Opsi pengurangan jam belajar selama Ramadhan adalah langkah yang baik, tetapi harus diiringi dengan kebijakan pendidikan yang lebih adaptif.

  1. Penyesuaian Kurikulum:
    Materi pelajaran harus dirancang agar lebih ringkas dan fokus pada inti pembelajaran. Jangan sampai siswa merasa terbebani dengan tugas-tugas tambahan yang tidak relevan.

  2. Peningkatan Keterlibatan Orang Tua:
    Sekolah perlu berkolaborasi dengan orang tua untuk memastikan anak-anak tetap mendapatkan bimbingan belajar di rumah. Ini bisa dilakukan melalui program edukasi orang tua atau pembagian materi belajar tambahan.

  3. Kegiatan Non-Akademik yang Mendukung:
    Sekolah bisa mengisi waktu dengan kegiatan yang memperkuat karakter siswa, seperti kajian keislaman, program berbagi, atau perlombaan yang relevan dengan nilai-nilai Ramadhan.

Menciptakan Harmoni dalam Tantangan

Ramadhan adalah waktu untuk merenung dan memperbaiki diri. Kebijakan pendidikan selama bulan suci ini juga harus menjadi refleksi dari nilai-nilai tersebut.

Pengurangan jam belajar hanyalah satu bagian dari solusi. Harmoni yang sejati hanya bisa tercapai jika semua pihak---siswa, guru, orang tua, dan pemerintah---bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung.

Akhirnya, pendidikan selama Ramadhan bukan hanya soal mengejar nilai akademik, tetapi juga soal membentuk generasi yang tangguh, sabar, dan berakhlak mulia. Generasi yang mampu menjadikan ilmu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sekadar alat untuk mengejar dunia.

Dan bukankah itulah tujuan utama dari pendidikan yang sejati? Harmoni antara ilmu dan iman. Antara dunia dan akhirat. Antara sekolah dan spirit Ramadhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun