Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Yusuf Daily - Aku Hanya Ingin Dia Mengerti (Pov. Mama)

22 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 22 Desember 2024   09:02 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yusuf Daily - Aku Hanya Ingin Dia Mengerti (Pov. Mama) Mama Menangis (Sumber: Dok. Pribadi)

Hari-hari terasa semakin berat. Rasanya segala yang Yusuf lakukan selalu memancing emosiku, meskipun aku tahu, jauh di lubuk hati, dia hanya ingin membantu. Tapi entah kenapa, jengkel itu datang begitu saja, seperti gelombang yang tak bisa kuhentikan. Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa aku ibu yang buruk? Apa aku terlalu keras pada anakku sendiri?

Kemarin, saat aku melihat lantai yang basah kuyup karena dia mencoba mengepel, amarahku langsung meluap. "Yusuf! Kamu ngepel air seember sampai habis ke lantai? Lihat, basah semua, nanti ada yang kepleset!" Aku tahu nada suaraku terlalu tinggi. Aku bisa melihat wajahnya merosot, seperti balon yang kehilangan udara. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku ingin dia mengerti bahwa apa yang dia lakukan itu salah. Kalau aku tidak mengoreksinya sekarang, bagaimana dia bisa belajar?

Dan belum lagi soal Zahra. Aku tahu Yusuf bermaksud baik, ingin membantu adiknya mengerjakan PR. Tapi caranya salah. Aku menangkap dia memberikan jawaban langsung. "Yusuf! Kamu nggak boleh kasih contekan ke Zahra. Nanti dia nggak belajar!" Kukatakan itu dengan nada yang sama—nada yang selalu membuatnya diam. Lagi-lagi, aku hanya ingin dia tahu cara membantu orang lain dengan benar. Tapi kenapa rasanya aku terus-menerus menyakitinya?

Aku mencintai Yusuf. Aku benar-benar mencintainya. Tapi kenapa yang keluar dari mulutku selalu marah?

Pagi ini, aku mencoba memulai dengan lebih tenang. Nasi goreng sudah selesai di atas kompor, dan aku pikir, mungkin hari ini aku bisa memperbaiki semuanya. Tapi, saat aku melangkah ke ruang makan, aku melihat Yusuf sedang menyusun meja makan.

"Ma, lihat! Yusuf bantuin Mama nyiapin meja!" katanya dengan wajah cerah dan penuh semangat.

Namun, mataku langsung tertuju pada gelas-gelas yang diletakkannya di ujung meja, sangat dekat dengan tepi. Rasanya seperti ada tombol otomatis yang terpencet dalam diriku. "Yusuf! Kamu taruh gelasnya kenapa di ujung meja begitu? Nanti jatuh pecah! Duh, anak ini kok nggak hati-hati banget!"

Aku tahu aku salah begitu kata-kata itu keluar. Aku melihat wajah Yusuf berubah. Senyumnya hilang. Wajah kecil itu hanya diam, pasrah, sambil menunduk dan kembali duduk di kursinya.

Kenapa aku seperti ini? Kenapa aku tidak bisa berhenti memarahi dia? Padahal aku tahu dia hanya ingin membuatku senang. Tapi kenapa yang selalu keluar dari mulutku hanyalah omelan?

Aku kembali ke dapur, mencoba melanjutkan masak, tapi tanganku gemetar. Perasaan bersalah menyelimuti dadaku. Aku tahu Yusuf terluka lagi. Dan kali ini, aku yakin luka itu lebih dalam dari sebelumnya.

Semalam, Ayah Yusuf pernah bilang, "Yusuf itu anak yang baik, Ma. Dia cuma butuh sedikit pujian. Kadang kita lupa kalau anak juga punya perasaan." Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, seolah menjadi cermin yang memantulkan semua kesalahan yang selama ini kulakukan.

Aku mencintai Yusuf. Aku hanya ingin dia tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab, yang tahu cara melakukan sesuatu dengan benar. Aku takut, kalau aku terlalu lunak, dia tidak akan belajar. Tapi kenapa caraku selalu melukai hatinya? Kenapa aku tidak bisa menunjukkan cinta yang kupunya tanpa membuatnya merasa kecil?

Aku melirik dari pintu dapur, melihat Yusuf duduk diam di kursinya. Dia memegang sendok, tapi tidak makan. Bahunya terlihat begitu kecil dan rapuh. Hatiku terasa seperti dihantam palu. Ingin sekali aku mendekatinya, memeluknya, dan berkata, "Maaf ya, Nak. Mama bangga sama kamu." Tapi entah kenapa, kata-kata itu selalu tersangkut di tenggorokanku.

Aku mencoba menyibukkan diri, kembali ke dapur, tapi air mataku mulai mengalir. Aku tidak tahu kapan tangisku mulai, tapi aku tidak bisa menghentikannya. Apakah aku ibu yang buruk? Apakah aku sedang merusak hati anakku sendiri?

Malam ini, sebelum tidur, aku duduk di samping tempat tidurnya. Yusuf sudah tertidur, wajahnya terlihat damai, meskipun aku tahu mungkin hatinya tidak. Aku membelai rambutnya perlahan, dan di dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri.

"Yusuf, Mama sayang sama kamu. Mama minta maaf. Besok Mama akan mencoba lebih baik." Tapi aku juga tahu, besok mungkin aku akan kalah lagi oleh emosiku sendiri. Dan mungkin besok aku akan menyakitinya lagi, meskipun aku tidak pernah berniat seperti itu.

Aku hanya ingin Yusuf tahu, semua ini kulakukan karena aku mencintainya. Tapi aku harus belajar cara mencintai yang benar. Dan itu adalah pelajaran tersulit yang pernah aku hadapi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun