Mohon tunggu...
Ratna Ning
Ratna Ning Mohon Tunggu... Administrasi - Ratna Ning, Ibu Rumah Tangga yang masih menulis

Ratnaning, seorang Ibu rumah tangga yang senang/hoby menulis. Beberapa tulisannya pernah tersebar di media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gembyung dan Tutunggulan, Seni Tradisi Buhun yang Tetap Dimumule

29 Februari 2020   07:24 Diperbarui: 29 Februari 2020   07:27 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gembyung dan Tutunggulan adalah kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Barat.  Kedua seni tradisi yang mulai melesap hilang itu adalah seni buhun yang dalam perjalanannya mengandung nilai nilai tradisi dan mencatat perjalanan sejarah perjuangan. Baik itu perjuangan para pahlawan melawan penjajah dan perjuangan para ulama dalam menyebarkan agama. Di kedua seni itu ada nilai histori tentang patritisme dan religi.

Gembyung merupakan jenis musik ensambel yang di dominasi oleh alat musik yang disebut waditra. Seni Gembyung menggunakan waditra terompet sebagai ciri khas alat musik yang mengiringi tabuhan tabuhannya. 

Ditambah dengan  4 buah kempling (kempling siji, kempling loro, kempling telu dan kempling papat), Bangker dan Kendang.  Meskipun demikian, di lapangan ditemukan beberapa kesenian Gembyung yang tidak menggunakan waditra tarompet. Bahkan ditambah dengan beberapa alat musik tradisi yang melengkapi tabuhannya.

Secara harfiyah Gembyung adalah siloka dari kata Gem yaitu ageman dan byung yang artinya "kabiruyungan. Bisa diterjemahkan adalah ajaran yang sudah pasti harus dilaksanakan atau diikuti. Seni gembyung adalah seni tradisional yang menjungjung tinggi nilai tradisi/buhun, dan bukan sekedar tontonan tapi penuh dengan tuntunan.

Kesenian ini awal mulanya kelahirannya yaitu pada jaman akhir kejayaan hindu dan masa masa perkembangan Islam. Hal yang menyatakan bahwa seni gembyung adalah kesenian yang lahir pada zaman kejayaan Hindu adalah dengan siloka siloka dan tradisi pembakaran kemenyan sebelum atau sepanjang kesenian ini ditabuh. 

Tembang-tembang yang dilagukan oleh pesinden bukan sekedar nembang tapi syairnya berisi pesan-pesan moral dan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Sebagai ciri khas lain dalam ibingan seni gemyung  ini adalah para pengibing berbaris dan ngibing santai dalam antrean dengan kedua tangan yang dilebarkan seperti mau terbang.  

Dan ciri khas ibingan ini pula, Seni Gembyung  dinamakan Seni terbangan (Terebang ; terbang). Istilah seni terebang ini terdapat di Cirebon. Konon, setelah Islam masuk dan berkembang, Seni gembyung kemudian digunakan para wali sebagai sarana dawah atau syiar Islam. Dihadirkan dalam acara-acara maulid nabi atau acara keagamaan lainnya.

Setelah berkembang, Gembyung tidak hanya eksis dilingkungan pesantren.  kesenian ini pun banyak dipentaskan di kalangan masyarakat untuk perayaan khitanan, perkawinan, bongkar bumi, mapag sri, dan lain-lain. 

Kesenian ini kemudian banyak di kombinasikan dengan kesenian lain. Seperti di beberapa daerah di  wilayah Cirebon dan Subang  kesenian Gembyung telah dipengaruhi oleh seni tarling dan jaipongan. Hal ini tampak dari lagu-lagu Tarling dan Jaipongan yang sering dibawakan pada pertunjukan Gembyung.

Tutunggulan, merupakan kesenian buhun tradisional dari Jawa Barat yang keberadaan serta nasibnya hampir sama dengan Gembyung. Seni buhun Tutunggulan adalah kesenian yang berawal dari tradisi yang berkembang di daerah agraris khususnya di jawa Barat. Konon berawal dari kebiasaan nenek moyang yang dilakukan turun temurun. 

Tutunggulan berasal dari kata Nutu (numbuk)  yaitu aktivitas masyarakat tempo dulu jika seusai panen padi.  Pada jaman dahulu Padi di tanam di huma huma (sawah kering) lalu dipanen dengan tangkainya kemudian di ikat. Padi yang diikat ini  lalu ditumbuk memakai alu dalam sebuah lesung (Ceruk panjang dan dilobangi memanjang, terbuat dari kayu) untuk diolah menjadi beras. 

Biasanya mereka melakukan kegiatan ini tidak seorang, tetapi dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama.  Saat menumbuk padi itulah  benturan alu saling berganti mengenai bagian lisung dan menghasilkan suara khas. Walaupun kurang teratur, tetapi membentuk harmonisasi. Dalam perkembangannya, lambat laun tutunggulan ini berkembang menjadi salah satu kesenian khas masyarakat sunda pada zamannya.

Konon, menurut penuturan salah seorang tokoh kesenian tutungggulan di Subang, (Bapak Amung Suraga) Seni Tutunggulan mulai ada dan berkembang pada awal turunnya agama Hindu, kemudian berganti agama Budha pada era kerajaan Medang Kamulang dengan rajanya Pangeran Aji Saka. Kemudian berlanjut pada fase berkembangnya agama Islam di Jawa.

"Tutunggulan dipakai untuk memanggil masyarakat untuk berkumpul. Para Wali/Sunan menggunakan media seni tutunggulan untuk media dakwah dan proses mengembangkan agama Islam. Dipanggilnya seluruh masyarakat untuk menonton. Mereka yang datang diperbolehkan menonton pertunjukan dengan tiketnya yaitu masuk agama Islam!" begitu ungkap Amung Suraga, salah seorang tokoh yang melestarikan seni tutunggulan dari Desa margasari kecamatan Dawuan.

Tutunggulan sebagai Seni  tradisional biasanya  memiliki pakem/ ciri yaitu Raga, Rasa dan Wirahma. Raga yaitu badan yang bergerak, menabuh, memukul benda atau alat untuk dijadikan musi. Rasa, yaitu kenikmatan yang dihasilkan dan wirahma adalah kebersamaan hingga menghasilkan suatu nada atau irama.

Dalam seni Tutunggulan, lagu yang dinyanyikan pun sudah memiliki pakem sebagai lagu wajib. Yaitu pada lagu bubuka adalah lagu Kubrung dengan langgam beluk. Lagu kedua lagu Sepak Kuda dengan laras pelog dan lagu ketiganya adalah lagu Rujak Huni dengan langgam Mitra. Ketiga lagu itu merupakan lagu khas seni tutunggulan yang baku atau menurut vakemnya.

Gembyung dan Tutunggulan, dua seni tradisi yang seiring perkembangan zaman menjadi seni buhun yang sudah sangat langka dan hampir punah keberadaannya. Beberapa faktor seperti susahnya menularkan ajaran karena bunyi bunyian tabuhannya terasa sulit untuk diajarkan kepada anak anak muda. 

Begitupun dengan lagu lagu/ tembang tembangnya dengan cengkok dan syair yang khas, hal lainnya tentu saja adalah alat musik utama (waditra terompet untuk Gembyung dan Antan serta lesung untuk Tutunggulan) yang semakin susah didapatkan/ditemui. 

(Untuk terompet bahan baku bambu kuning sudah mulai susah dicari. Tutunggulan menggunakan alu dan lesung dari kayu tertentu untuk mendapat kualitas suara yang gaungnya bagus, juga susah didapat)

Kesulitan tentang alat musik utama untuk bisa melestarikan seni buhun ini pernah diungkapkan seorang tokoh budaya Subang, Modi Madiana dalam suatu obrolan khusus dengan penulis. Menurut beliau, tidak berkembangnya seni Gembyung dan Tutunggulan ini, meski ada beberapa seniman yang terus menghidupkannya, tapi nasibnyapun hanya jalan di tempat bahkan terkesan makin memudar, karena terkendala oleh pakem. 

Jika saja terompet itu bisa dimodipikasi oleh suara dari alat musik lain tapi mampu menimbulkan suara yang sama. Atau dibuat kreatifitas dan menggali ide untuk bisa mencari waditra terompet dengan alat musik lain yang mudah dicari dan dimainkan oleh kalangan muda untuk penyesuaianya pada zaman sekarang ini.

Pada akhirnya, kesulitan kesulitan tersebut yang menjadikan ketidaktertarikan/kurang minatnya generasi muda untuk menjadi pelaku seni yang mampu menjaga dan melestarikan serta mengembangkan seni tradisi ini.

Meskipun demikian, Gembyung dan Tutunggulan masih dijumpai diadakan di beberapa acara khusus dan dilestarikan beberapa daerah di jawa Barat seperti Subang, Sumedang, Cirebon, Cianjur dan beberapa daerah lain di jawa Barat. Beberapa organisasi, komunitas bahkan kelompok masyarakat yang peduli pada seni budaya, instansi pemerintah yang terkait pun mulai mengadakan acara acara untuk merumat/melestarikan seni buhun itu. 

Festival festival seni tradisi diadakan, diantaranya Seni Tutunggulan. Tutunggulan dan gembyung yang hampir tersingkir dan dilupakan, seperti kembali dibangkitkan dari kubur. Gaungnya mulai terdengar. Dimainkan di acara acara besar yang diadakan baik oleh pemerintah daerah maupun hajatan hajatan dan pesta budaya. Bahkan ada beberapa komunitas yang intens mengajarkan seni Tutunggulan dan Gembyung pada anak anak muda. Lalu dipentaskan dalam pesta pesta budaya.

Tentu saja, para pecinta seni budaya tradisional itu berharap seni buhun ini terus berkembang dan ada pembinaan supaya ada regenerasi. Agar seni tradisional tidak tergerus di tengah peradaban modern. Karena kekayaan lokal menjadi unsur yang sangat berpengaruh pada kekayaan Nasional. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun