Mohon tunggu...
Ratna Ning
Ratna Ning Mohon Tunggu... Administrasi - Ratna Ning, Ibu Rumah Tangga yang masih menulis

Ratnaning, seorang Ibu rumah tangga yang senang/hoby menulis. Beberapa tulisannya pernah tersebar di media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: yang Datang Menjemput

5 Februari 2015   03:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:48 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_394969" align="aligncenter" width="483" caption="Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/P. Barisman)"][/caption]

Sudah dua minggu ini ia datang. Wajahnya tampan bercahaya. Tak banyak bicara. Hanya mengangguk dan tersenyum saja. Sering juga kulihat air mukanya datar tak ada emosi. Serupa air lubuk yang tenang. Penuh misteri pula.

Saat ia datang pertama kali, ada rasa takut yang menyelinap. Tapi ajakannya dan anggukan kepalanya seperti menenangkanku. Akhirnya, setelah beberapa hari ini ia selalu muncul, aku sudah terbiasa lagi melihat kedatangannya. Aku tak salah tingkah lagi jika ia datang dan berdiri, hanya menatapku saja. Memperhatikan gerak-gerikku sehari-hari. Bahkan makin ke sini, aku sudah menganggap dia serupa pengawas saja yang mengawasi setiap hal yang kulakukan.

Seperti pagi ini, ia datang ketika aku akan pergi ke rumah anakku yang bungsu. Bukan untuk sowan, tapi untuk bekerja menyiangi rumput di rumah dan tanah yang baru saja dibelinya. Kemarin anakku datang, memberikan sedikit uang dan menyuruhku membereskan rumah baru yang akan dipindahinya. Aku hanya mengangguk saja. Meski penat sungguh setelah seharian membuat dagangan untuk dijual dan dititipkan ke warung-warung. Hasilnya lumayan untuk menyambung biaya hidupku seorang.

Setelah hampir dua puluh tahun bercerai dari suami yang kawin lagi dengan perempuan lain, aku sudah terbiasa prihatin. Keempat anakku kuurus dan kubesarkan dari hasil bertani, berkebun, berdagang keliling bahkan jadi kuli buruh tani di sawah orang lain. Kini mereka, keempat anakku itu, telah dewasa dan berumah tangga semua. Aku berhasil mengantarkan anak-anakku meraih jenjang hidup dan pendidikan yang layak, dari hasil jerih payahku seorang saja.

Bukan tidak ada yang berniat baik padaku untuk mengajak berumah tangga lagi. Tapi kegagalan dengan bapak keempat anakku itu tlah membekaskan trauma yang sangat dalam. Ahh, biar saja aku hidup seorang diri, asal anak-anakku tidak terlantar, pikirku waktu itu.

Nyatanya aku berhasil. Kini di usia tuaku, aku bahagia melihat keempat anak-anakku sudah mendapat penghidupan yang layak. Ada yang bekerja di instansi dan ada yang menjadi pengusaha meskipun kecil-kecilan. Semua telah beranjak meninggalkan rumah kecilku yang kini sunyi. Meninggalkan aku yang ringkih seorang diri, di masa tua yang terkadang masih sama penatnya seperti dulu. Tapi untuk itu, kucoba tak banyak mengeluh. Kunikmati saja seporsi nasibku. Sebatang pohon tua yang meranggas dan tak lagi berbuah. Dan di sana, tunas dari benih pohon tua itu tlah tumbuh subur, kuat berakar serta hijau rindang.

***

Adapun ia yang datang akhir-akhir ini, kadang pergi lagi tlah mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang membuatku meski mengejar setiap hal yang terlintas di ingatanku. Seperti pagi ini ketika ia datang, aku beranjak pergi membeli bahan-bahan untuk dibuatkan makanan dagangan. Setelah cukup terkumpul, aku bergerak lagi menyambangi saudaraku. Berkumpul, ngobrol tentang kehidupan. Ia hanya memperhatikanku dari kejauhan.

“Bagilah sawah sebagian untuk digarap anak cikalmu Kang. Akang dan Ceuceu sudah ringkih pula. Jangan terlalu memporsir tenaga untuk menggarap sawah. Teteh dan Aa suaminya sudah cukup mampu untuk kau limpahkan amanah!” kataku pada Kakak tertua.

“Garaplah sawah Teh. Belajar sama suamimu. Hasilnya bisa dijual untuk ditabung. Teteh sudah saatnya membangun rumah sendiri. Ambil beban orang tua, senangkan hati mereka di masa tua. Makanya, kesehatannya jangan diabaikan!” petatah-petitihku beralih pada Teh  Neneng, anak akang yang paling tua.

Seharian aku di rumah Akang. Makan bersama dengan semua keluarga dan anak-anaknya. Hal biasa yang sering kami lakukan dan rasanya nikmat sekali makan kali ini. Beberapa ekor ikan cue, sayur asam, sambal dan lalapan mentah khas kami terasa benar nikmatnya. Begitulah hingga sampai hampir maghrib aku sowan ke rumah Akang. Teringat pada seorang saudaraku yang bahlul akhir-akhir ini, mataku berkaca-kaca.

Melihat mataku berkaca-kaca, Ia menatap lembut, hanya mengangguk. Senja itu ia berlalu setelah aku usai shalat maghrib.

***

Aku tengah membuat gorengan di dapur, bahan makanan untuk dagangan. Seperti biasa, seorang diri. Ia datang menyelinap, kembali memperhatikan gerak-gerikku dengan diam-diamnya. Meski terkadang gugup, tapi karena sudah beberapa hari ini ia intens datang, aku nafikan saja kehadirannya. Toh ia pun tak banyak bicara dan merintangi apa yang kulakukan. Hanya mengawasi saja.

Detak-detik jarum jam itu seperti telinganya. Gerak jarum detik dan menit itu seperti matanya. Perputaran dan perpindahan dari angka ke angka adalah waktu yang makin menyempit. Dalam diam aku sadar itu. Meski mengingatnya dadaku tetap saja berdegup kencang. Kusembunyikan air mata yang luruh diam-diam. Tapi aku tahu, ia melihatnya.

Siang itu kukirimkan gorengan yang sudah dikemas ke warung-warung. Sebagian ada yang membayar dan sebagian lagi diutangkan. Sepulangnya dari warung, aku mampir di beberapa saudara dan tetangga. Ngobrol, makan, ngopi sambil bersenda gurau. Hampir sore pulang ke rumah aku merasakan kepalaku pusing dan seluruh badanku panas. Tulang sendiku terasa sakit semua. Ia ternyata masih ada di sana. Berdiri diam-diam. Kedatangannya akhir-akhir ini semakin intens dan lama. Pun tanpa banyak bicara. Satu-satunya kalimat yang selalu keluar dari mulutnya adalah “Sudah saatnya….Sudah saatnya….”

Sore itu rasa sakit semakin menjadi. Tanpa mempedulikan kehadirannya Aku cepat-cepat pergi lagi. Tujuanku adalah rumah praktik bidan di depan. Minta diperiksa dan disuntik.

“Mak kecapean saja. Banyak istirahat ya Mak!” Bu Bidan memberikan nasehat sambil menggelengkan kepala ketika aku minta disuntik. “Suhu tubuh Mak tinggi, Saya tak berani memberikan suntikan Mak. Obat ini saja diminum sekarang ya. Ini penurun panas dan pereda rasa sakit-sakit di badan. Kalau panas Mak tak turun juga, Mak mesti rawat inap ke rumah sakit. Nanti saya kasih rujukan!” sambung sang Bidan lagi. Aku hanya mengangguk.

Pulang hampir maghrib. Panasku makin menjadi. Pikiranku kosong. Ada seribu nelangsa yang tak bisa kuungkapkan. Dan untuk itu mataku hanya meluruhkan tangis saja. Selepas shalat maghrib aku makan, lantas meminum obat. Tapi sakit tak jua reda. Malah semakin menjadi dan tak karuan rasanya. Kulihat ia yang selalu berdiri di sudut ruangan mengangguk lagi. Aku membuang muka, perih.

Hampir isya seorang anakku datang. Meraba kepalaku, tubuhku.

“Mak panas sekali. Kita ke rumah sakit saja Mak!” Ia hendak beranjak. Kuraih tangannya.

“Nggak perlu Nak! Emak hanya ingin kalian kumpul di sini. Adik-adikmu, tolong panggilkan!” suaraku bergetar.

Anak tertuaku itu, perempuan, hanya memandangku sesaat, penuh ketakmengertian. Kualihkan pandangan ke sudut ruangan. Ia masih berdiri di sana. Sekuat hati kutahankan tangis agar tak terlihat anakku.

“Bandi sibuk Ma. Masih berdagang. Sandi baru pulang kerja luar. Nandi sebentar lagi ke sini. Mak, mending kita ke rumah sakit saja sekarang!” anak tertuaku memberi laporan. Tangannya bergerak ke tubuhku. Menyusurkan pijitannya. Mataku terpejam. Baru kali ini ia meraba tubuhku, mendaratkan pijitannya. Dan rasanya nikmat sekali.

“Mak nggak mau. Lagi pula Mak sudah minum obat, sebentar juga sembuh Min. Mak hanya ingin berkumpul dengan kalian!” Aku tetap mendegil.

Perpindahan waktu seakan berjalan lambat. Detak-detik suara jarum jam membuat sakitku bertambah. Tubuhku berguling ke kiri dan kanan. Anakku terlihat panik.

“Mak, tenang Mak. Banyak-banyaklah baca istighfar.”

Kulafadzkan istighfar dengan mulut terasa berbelit. Kulihat ke sudut ruangan. Ia terlihat mendekat, mengulurkan tangannya. Aku menggeleng. Tidak! Jangan dulu! Aku belum bertemu anak-anakku! Kata-kata itu hanya menggema di hati. Tapi rupanya ia bisa mengerti apa yang kukatakan.

“Sudah saatnya… Sudah saatnya sekarang. Tak bisa menunggu. Ini adalah waktumu. Apa pun itu yang engkau maukan, sudah habis masamu. Kamu harus pulang!” bisiknya.

Ia makin mendekat. Tangannya yang halus serupa cahaya pun semakin mendekat. Aku terpejam. Pasrah. Berusaha tak melakukan perlawanan. Kemudian pelan... pelan... perlahan... aku serasa melayang.

Kulihat anak tertuaku menggemingkan aku yang sudah berupa jasad. Ia menangis. Kemudian berlari keluar. Memanggil orang. Aku menatapnya tanpa ritme. Hampa.

***

Biodata :

Ratna Ning, lahir di Subang pada tanggal 19 September. Mulai menulis pada tahun 1994 dan pada tahun itu pula tulisan pertama dimuat di media massa remaja “Kawanku” dengan judul “Semanis Senyum Mona. Dari tahun 1994 – 2005 tetap aktif menulis dan tulisannya tersebar di media-media popular remaja, media daerah dan media instansi seperti : kawanku, Ceria Remaja, tabloid Jelita, Fantasi teen, Puteri, Muslimah, Annida, Mangle, Bhineka Karya Winaya (Media Instansi Dinas Pendidikan), Bekal Pembina dan Media Polisi. Tahun 2005 – 2013 sempat vakum menulis. Lalu tahun 2013 mulai aktif dengan membuat buku antologi bersama teman-teman Facebook. Beberapa antologi Indonesia dan satu antologi Sunda “gerentes”.

Alamat Blog Ratnaning : ratnaning597wordpress.com

Twitter                                      : ratnaning6

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun