Mohon tunggu...
Ratna Ning
Ratna Ning Mohon Tunggu... Administrasi - Ratna Ning, Ibu Rumah Tangga yang masih menulis

Ratnaning, seorang Ibu rumah tangga yang senang/hoby menulis. Beberapa tulisannya pernah tersebar di media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Kunang-Kunang Tanpa Cahaya

7 Februari 2015   16:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:38 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunang-Kunang Tanpa Cahaya

Di sebuah sudut Jiran, ketika malam. Di keramaian jantung kota, dalam kelap-kelip cahaya lampu yang menerangi pusat perbelanjaan dan jajanan, shoping dan pusat refreshing, beberapa perempuan turun dari sebuah mobil, berbaju minim dan seksi. Seorang lelaki berbody atletis membuntutinya, masuk ke sebuah pub. Di Pub-Pub yang lain, perempuan seksi dan genit pun bertebaran. Mereka serupa kunang-kunang yang terbang tanpa cahaya. Cukup cahaya remang malam dan lembaran ringgit yang ia kirimkan untuk biaya hidup di kampungnya yang menjadi penerang.

“Heeiii Amoyyy, ambilkan saye satu cup nasi please!” seorang perempuan yang kukira melayu china, datang menghampiriku yang tengah duduk di pilar depan restaurant tempatku bekerja.

Aku mengangguk seraya sigap bergerak menuju ke dalam. Menakarkan seporsi nasi putih untuknya. Ia sudah terbiasa memesan nasi putih itu setiap sore. Setiap ia datang ke Pub di sebelah restaurant kawasan Cheras ini. Tubuhnya yang montok hanya dibalut gaun seupil yang memperlihatkan hampir seluruh paha dan sebagian dadanya. Wajahnya yang ayu bersemu oriental sangat medok ditempeli make up tebal. Rambut hitam lurusnya selalu dibiarkan tergerai.

“Awak sudah lama ke kerja kat sini ha?” Ia bertanya serupa basa-basi sambil mengambil seporsi nasi yang aku sodorkan.

“Baru dua bulan Kak!” jawabku sembari tersenyum.

“Haaa…dua bulan? Heiii awak ada hati ke kerja kat tu China? Dia orang banyak jahat Ha? Sudah bukan rahsia. Awak datang dari ejen?” Kemudian Ia berbisik.

Aku mengangguk. Mataku mencuri-curi sesaat.

“Iya Kak. Tauke banyak jahat. Aku sudah tak kerasan pula. Akak nak bawa aku kerje ke?” bisikku lagi. Kulihat matanya terbelalak. Kemudian dengan cepat ia menggeleng. Seperti panik.

“Tidak-tidak. Saye tak boleh bawa awak. Awak jangan rancang awak nak kabor kat sini. Awak kerjelah elok-elok. Kena ingat family awak kat kampong ye” Ia memegang bahuku.

***

“Awak dah lame kerja kat sini?” perempuan itu berbicara bahasa Malaysia tapi dengan logat medok yang tak bisa dihilangkan. Ia berasal dari Jawa Timur. Berangkat ke Negeri Jiran dengan biaya sendiri dan bekerja tetap di Restaurant China yang buka hingga pagi. Terkadang ia bekerja dari jam tiga sore hingga jam sebelas malam. Terkadang kerja pagi hari hingga sore.

“Nggaklah Kak, baru tiga bulan!” Kupanggil dia kakak karena sepertinya umurnya di atasku. Hanya karena pakaian dan dandanannya yang medok apik yang membuat ia terlihat fresh. Sedangkan aku? Bedakan saja tak boleh.

“Awak kerja dari ejen ya? Penat ya kerja sama ejen? Mesti kerja rumah pula. Kerja kedai pula. Semua mesti kena buat..”

“Iya, udah gitu jaga anak pula!” wajahku mengkerut.

“Haa? Jaga budak pula? Banyak penat. Awak rehat jam berapa?”

“Jam dua pagi, kadang jam tiga!”

“Ahh, tapi sama saja. Kerje dimana-mana penatlah. Sayapun kadang pergi tidur jam tiga pagi. Ini kedai tutupnya malam. Sudah gitu, suka main-main dulu. Sedapnya jadi pekerja bebas tu. Permit perkhidmatan sudah jamin saya nak buat apa takkan berani polis tangkap saya. Semalam saya judi sampe pagi!” si Mbak yang beraksen medok tapi keukeuh berbahasa Malaysia itu berbisik di akhir pembicaraannya.

Aku menggelengkan kepala. Takjub sekaligus miris. Ia datang bermodalkan uang sendiri, tidak sedikit. Ada tiga orang anak di kampungnya yang intens ia kirimi biaya hidup. Salut. Tapi disini ia tinggal bareng dengan pacar Myanmarnya. Samenliven, hange out seenak hati. Seakan Negara ini adalah tanah airnya. Sedangkan aku? Untuk berbicara dengan orang-orang sekitar, masih plarak-plirik nyuri lengah majikan. Percis kayak maling jemuran.

***

Medical check itu hampir kujalani seharian. Usai test kesehatan, Miss agensy, seorang China, mengajakku ke rumah yang disatukan dengan kantornya, dengan mulut yang ngedumel dalam bahasa yang tak dipahami sebagian.

“Bangsa you banyak susah. Ada sorang yang dipulangkan dengan case kasih itu racun pada kungkung. You know? Sekarangnya tuh budak ada dekat saya punya rumah! Dia belum kena hantam saye!” perempuan bermata sipit setengah baya itu menggerundel panjang pendek.

Betul saja, ada seorang gadis, masih terlihat belia sekali, tengah merungkut di bilik kantor. Wajahnya bersemu takut. Nampak lemas pula.

“Kamu berasal darimana? Sudah lama kerja disini?” Si gadis mengangkat wajah, menyebutkan daerah asalnya. Aku mengangguk.

“Baru tige bulan Kak kerje kat sini. Saye dah nak balek saje!” jawabnya dengan dialek sok melayu. Aku nyengir sumir.

“Katanya kamu meracuni orangtua yang kamu asuh, iya?”

“Tak de..saye tak de buat itu macam. Mam tuduh saye…” jawabnya masih tetap berlagak.

Aku mulai enek melihat wajah melasnya.

“Umurmu berapa tahun?”

“Ada duapuluh satu Kak. Mam cakap nak hantar saye dekat Saudi karena saye dah pakai duit buat datang dekat sini. Saya tak nak! Saya nak balik sahaje!”

“Kamu nggak suka kerja disini? Susah ya?”

“Iya, banyak susah. Hari-hari Mam banyak bising…”

“Kamu..baru tiga bulan kan kerja disini?” Aku mengkernyitkan kening.

“Iya Kak!”

“Tiga bulan tak mungkinlah sudah lupa bahasa Indonesia. Kerja susah ngomong sok melayu. Tinggal gaya saja kamu! Saya orang Indonesia, ngomonglah pake bahasa Indonesia! Jangan belagak! Suksespun nggak, gaya saja dibanyakin. Keblinger. Kamu sekolah sampe SMA khan?” Kataku dengan tatap menghunjam.

Ditikam omongan seperti itu si gadis langsung terdiam. Kuhela nafas panjang. Puas bercampur prihatin. Duh Gusti..seperti inikah mental dan sikap anak bangsaku?

Malam ini aku duduk di depan restaurant yang mulai sepi. Lalu lalang orang dari berbagai suku di Malaysia dan dari berbagai Negara yang sengaja didatangkan sebagai pekerja membuat suasana selalu meriah. Meski tetap saja euphorianya terasa hampa

Aku merasakan keterasingan ditengah hiruk pikuknya seliweran orang. Kesepian dan ketakberdayaan. Mataku tak bebas melihat, mulutku tak bebas menyapa bahkan langkah kakiku, gerak dan segalanya serba dibatasi. Aku haya dibolehkan duduk diam-diam jika pekerjaan sudah selesai dan tak ada lagi pembeli. Itupun jika terlalu lama duduk, tauke dengan suara melengkingnya selalu berteriak sembari memperlihatkan wajahnya yang mirip Chukky di jendela kaca.

“Semmoooo?” kalau sudah diteriakki begitu aku cepat-cepat berdiri dan masuk ke dalam restaurant. Kerja yang terlalu keras tak mengenal waktu, ketatnya perlakuan dan kerasnya majikan membuat ketakbetahan. Keinginan bebas demikian membuncah.

“Nduk…ya wis, Ibu ta kerjo dulu yo nduk? Apik-apik sampeyan neng omah. Sing pinter sekolahno, sing pinter ngaji yon nduk?....” suara penelepon yang medok kemayu itu berasal dari belakangku. Di depan pintu pub di sebelahku, dekat pot bunga besar.

Aku menoleh sekilat. Mataku terbelalak. Ternyata itu adalah si perempuan seksi yang begitu fasih ngomong Melayu yang aku kira memang orang Melayu-China.

“Mbak..Mbak dari Jawa ya? Aiihh kenapa nggak ngomong mbak? Kirain orang sini asli. Jawanya mana mbak?” tanyaku sok akrab. Diluar dugaan, ia hanya melirik sesaat serupa tak senang.

“Jogja Amoy….Saya dah lamelah dekat sini!” jawabnya pendek. Lalu tanpa ba bu lagi ngeloyor ke dalam pub.

Sepeninggalnya ada kebengongan yang teramat sangat. Omongannya dalam telefon tadi? Amboyy..rupanya ia bersembunyi dari identitas aslinya disini. Kedengarannya keluarganya cukup religius. Mungkin mereka mengira si perempuan, anaknya atau ibunya, bekerja baik-baik demi berjihad untuk keluarga. Padahal….Ia hanyalah GRO (ji ar o) atau perempuan pekerja malam dari pub ke pub.

Mataku terasa perih. Tiba-tiba saja di luar sana, dari sebuah lapang yang jika siang hanya menjadi tempat parkir, namun jika menjelma malam dipenuhi oleh kursi-kursi dan meja-meja milik kedai rupa-rupa kuliner. Dari ayam bakar sampe tomyam, dalam kemeriahannya kulihat seribu kunang-kunang berseliweran di udara. Kunang-kunang tanpa cahaya, yang terbang mengepakkan sayapnya di kegelapan malam ranah Jiran. Mereguk sari manisnya janji surgawi yang menuai banyak problema. Kunang-kunang yang terlalu asyik dalam kegelapan, hingga melupakan cahayanya untuk menuntun ia merindui pulang.

***



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun