Mohon tunggu...
Ratna M. Noer
Ratna M. Noer Mohon Tunggu... -

Saya seorang ibu rumah tangga yang bekerja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kalau bisa lama ngapain dibikin cepat

23 Januari 2012   01:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:33 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13272833191395348001

[caption id="attachment_157863" align="aligncenter" width="300" caption="(diambil dari www.google.com)"][/caption] Yah itu mungkin semboyan yang dianut oleh semua jajaran staf di salah satu kantor imigrasi wilayah Jawa Barat (aku tak ingin menyebut spesifik, takut nanti disomasi). Untung masa berlaku paspor hijau 5 tahun, seandainya hanya 2 tahun seperti paspor biru (paspor dinas PNS) bisa-bisa hari kerja PNS yang hanya efektif ± 250 hari makin berkurang karena setidaknya 3 hari harus dikorbankan untuk mengurus paspor. Haha lebay dan sarkastis ya kedegarannya, tapi memang itu kenyataannya, boleh tanyakan kepada "customer" yang pernah TERPAKSA harus mengurus paspornya di kantor itu.

Lebay yang pertama, membuat paspor baru, memperpanjang masa berlaku, dan menambah nama pada paspor (untuk kepentingan umroh dan haji, nama di paspor harus 3 suku kata) semua dipukul rata sama prosesnya, yang berakibat sama lama antrinya. Aku tak tahu bagaimana kondisinya di kantor imigrasi lain apakah juga seperti itu sistemnya. Yang jelas untuk sampai mengantongi sebuah buku kecil hijau itu butuh perjuangan yang bukan main.

Tahap pertama, mengumpulkan berkas dalam amplop yang berisi fotokopi KTP, KK, akte kelahiran, dan ijazah terakhir. Menurut logikaku (IMHO = in my humble opinion... singkatan yang sempat mengernyitkan alisku)  sepertinya data yang tercantum dalam semua dokumen itu sudah cukup sebagai dasar informasi untuk sebuah kamtor imigrasi mengeluarkan paspor untuk WNI. Karena lagi-lagi IMHO, paspor, sejatinya adalah identitas kita di luar Indonesia, sebagai pengganti KTP. Tetapi akibat ada beberapa kondisi dari si pemohon paspor maka persyaratan dokumen pun bervariasi dan bertambah.

Perbedaan itu adalah: pemohon yang bekerja harus menambah dokumen berupa  surat rekomendasi dari tempat kerja, sedangkan yang tidak bekerja seperti ibu rumah tangga atau mahasiswa dan pelajar tidak perlu. Untuk yang pensiunan ada tambahan surat pensiun. Untuk pengajuan penambahan nama menjadi 3 suku kata ditambah surat nikah, kadang ditambah dengan ijazah karena harus melihat nasab (nama ayah yang tertera di ijazah atau surat nikah si pemohon). Untuk anak di bawah umur 17 tahun (yang belum memiliki KTP) persyaratannya menjadi makin banyak, yaitu fotokopi KTP orang tua, surat nikah orang tua, fotokopi paspor orang tua dan surat keterangan bermaterai yang menyatakan bahwa benar ananda adalah anak pasangan suami istri yang menjadi orang tua si pemohon dan bermaksud mengajukan pembuatan paspor.

Jika sedari awal pihak kantor imigrasi menuliskan persyaratan tersebut, dan ditempel di dinding, itu menjadi perkara mudah. Apa yang susah dari membuat fotokopi dari dokumen asli. Tapi informasi yang sepotong-sepotong membuat proses pemasukan berkas jadi bertele-tele…ini menjadi lebay yang kedua. Flash back nya begini: 3 minggu yang lalu anak sulungku yang sedang libur semesteran mengurus perpanjangan masa berlaku paspornya, sekalian dengan paspor adiknya. Hari pertama (hari jumat) berkas gagal masuk karena tidak mendapat nomor antrian, ini sudah kuwanti-wanti agar anakku datang pukul 07.30 meskipun pelayanan baru dimulai jam 08.00. Aku ingat tahun lalu menjelang aku berangkat haji aku mengurus pasporkudan suami, saat antri menunggu pintu gerbang kantor dibuka, map-map berisi berkas pemohon sudah bertumpuk di balik pagar besi kantor. Salah satu bapak yang kelihatannya calo penjual jasa pembuatan paspor mengatakan bahwa kantor imigrasi tersebut tergolong baru, jadi karyawan dan berbagai fasilitasnya pun masih terbatas, sehingga dalam sehari hanya bisa melayani 75 pemohon. "Ya kalo udah sampe nomer 75, gak dilayani lagi Bu, walaupun udah antri". Maka waktu anakku pulang membawa kembali berkasnya aku sudah tak heran lagi. Tetapi selain kehabisan nomer, ternyata berkas si adik yang masih berumur 12 tahun ada yang kurang yaitu surat pernyataan tertulis bermaterai Rp 6000 dari orang tua. Setelah kulengkapi dengan fotokopi KTP ku dan suami, berkas pun dibawa anakku 2 hari kemudian. Apa yang terjadi lagi ? Ternyata anakku harus kembali membawa pulang berkas si adik.

"Berkas adek kurang fotokopi surat nikah mama sama papa". ‎​Astaghfirullah…kenapa nggak sekalian kemarin ya ? Kok satu satu mintanya."

Akhirnya karena gemas dan takut ada yang kurang lagi terpaksalah aku izin kerja untuk mengurus sendiri, padahal maksudku kalau berkas kedua anakku bisa bareng masuknya, aku cukup izin sekali saja mendampingi si adik saat foto dan wawancara. Maka dengan mengucap basmalah, aku berharap  di kunjungan ke-3 di kantor imigrasi ini, berkas anakku bisa masuk.  Jam setengah 8 aku sudah duduk manis antri. Alhamdulillaah di meja petugas baru ada satu map ditumpukan berkas, berarti aku urutan ke-2. Mudah-mudahan urusannya bisa cepat sehingga aku masih bisa ke kampus. Menjelang jam 8 kulihat dari jauh tumpukan berkas menjadi dua. Kudengar dari percakapan sesama pemohon ternyata satu tumpukan adalah berkas pemohon baru (hari ini), dan yang satu adalah berkas yang kemarin kekurangan persyaratan seperti berkas anakku atau berkas yang tidak dapat nomor tetapi sudah lolos pemeriksaan pertama.

Saat dipanggil di urutan ke-2 dengan semangat aku mendatangi petugas.

“Oo kemarin cuma kurang fotokopi surat nikah ya Bu ?” Lalu sambil membuka paspor asli anakku yang sudah habis masa berlakunya si Mbak berkata agar aku memfotokopi paspor tersebut dan mengatakan belum bisa memberi nomer antrian sebelum aku selesai memfotokopi. Itu berarti aku harus pergi ke loket fotokopi, sehingga nomer antrianku makin besar. Dalam hati aku menggerutu kenapa jugaaaa kemarin nggak dikasih tau harus mengumpulkan fotokopi paspor lama.

Di tempat fotokopi, hanya ada satu petugas, yang melayani fotokopi merangkap melayani pembelian map berisi materai dan formulir permohonan paspor…jadinya mau fotokopi 1 lembar saja lamaaaa banget.

Setelah dapat nomor antri, no 11, duduklah aku menunggu dipanggil ke loket 1 untuk pemeriksaan berkas (lagi). Heran kenapa mesti ada 2 lapis pemeriksaan sih. Kuperhatikan petugas di loket 1 hanya ada satu orang, dan untuk setiap pemohon yang diperiksa, butuh waktu sekitar 10-15 menit !! Jadi aku harus menunggu hampir 1 jam sampai dipanggil. Saat tiba pemeriksaan si petugas meminta semua dokumen asli untuk dicocokkan dengan salinannya. Wah, tahun lalu waktu aku membuat paspor, dokumen asli hanya diminta diperlihatkan saat wawancara, bukan pada pemasukan berkas awal. Saat itu aku hanya membawa Akte kelahiran si adek dan KK asli, sedangkan buku nikah dan KTP suamiku tidak aku bawa. Petugas mengatakan tidak bisa menerima berkasku jika tidak lengkap dokumen aslinya. Astaghfirullah…masa iya aku harus kembali lagi besok ? Akhirnya kukatakan pada petugas, aku akan pulang sebentar dan mengambilnya dengan memohon supaya tidak harus antri lagi. Dia mengiyakan, lalu dengan entengnya dia mengatakan : “oiya sekalian paspor asli bapak dan ibu ya”. Hah untung dia sempat ingat sekarang, kalau dia baru bilang saat aku sudah kembali dari mengambil buku nikah, seperti apa gondoknya aku ?”

Untunglah rumahku cukup dekat dari kantor imigrasi yang sudah membuatku mual itu. Jadi aku bisa pulang mengambil buku nikah, pasporku dan paspor suamiku. Sesampainya kembali di sana, aku masih harus menunggu 20 menit sampai aku dipanggil. Setelah mendapat tanda terima berkas, barulah lega. Hhh…masih 2 kali lagi aku harus menyambangi kantor itu lagi untuk wawancara anakku dan mengambil paspor yang sudah jadi.

Tahun lalu karena waktu pengurusan perpanjang paspor mepet dengan keberangkatnn haji, aku terpaksa memakai jasa “calo” supaya paspor jadi dalam waktu seminggu tanpa antri. Tetapi calo ini resmi merupakan orang dalam berseragam, yaitu karyawan imigrasi di kantor itu. Jadi aku dibawa masuk ke ruang arsip, dan di sanalah aku bertemu si bapak yang akan membantu menguruskan pasporku.

“Pak bisa nggak paspor saya jadi seminggu  ?”

“Wah seminggu kelamaan Bu, sama saya mah cukup 5 hari saja”.

Yah begitulah, saat itu aku lebih memilih membayar Rp 500 ribu tetapi tidak pusing bolak-balik, aku tak mau konsentrasiku mempersiapkan keberangkatan haji yang hanya tinggal 2 bulan lagi terganggu. Tetapi sekarang, karena tidak terburu-buru aku memilih jalur lambat meskipun capeeek luar biasa.

Dengan kenyataan yang ada di kantor itu, aku jadi berburuk sangka, apakah sengaja dibuat kondisi supaya proses berjalan lama dan melelahkan supaya orang akhirnya harus memakai "jalur cepat" dengan tarif premium.

Aku juga jadi bertanya-tanya, kenapa pihak kantor imigrasi tidak secara terang-terangan saja menetapkan tarif pengurusan, jika mengurus sendiri dikenakan tarif biasa yaitu Rp 300 ribu, jika memakai jasa supaya bisa jadi 5 hari Rp 500 ribu. Atau mau yang sehari jadi, menurut temanku di kantor imigrasi Bogor dikenakan biaya Rp 1 juta. Bukankah jadi sama-sama nyaman….aku ingat pernah membaca stiker di sebuah angkot: “ANDA BUTUH WAKTU, KAMI BUTUH UANG”. Mestinya kantor imigrasi itu menempelkan stiker seperti itu di depan gerbangnya. (^_^)V

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun