Terlihat sebuah dahi yang berkerut di wajah majikanku yang menungguku di depan pintu, dengan kedua tangannya yang bersila didadanya. Perasaanku sudah tidak enak dan memang nyatanya memang benar tentang apa yang aku rasakan.
Aku melihat mulutnya yang komat-kamit tidak karuan dengan cipratan air liur yang keluar dari mulutnya karena tidak henti-hentinya memarahiku, karena aku salah menaruh bekal untuk kedua anaknya. Salsa dan marsya namanya. Yang satu telur mata sapi yang satunya telur dadar.
Seperti biasa aku memasang earphone yang tidak kasat mata ditelingaku, berpura-pura tidak mendengar dan langsung bergegas menyiapkan makan siang untuk nyonya dan tuan, dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhku yang kurus ini.
Aku masih kelas 2 SMA, sekolahku tidak jauh dari rumah majikanku, sebut saja pak adi dan nyonya karin. Aku bekerja untuk mereka sejak kelas satu SMP dan tinggal bersama mereka. Awalnya saudaraku yang menawarkan bantuan keibuku, agar aku ikut nyonya karin asalkan bersedia tinggal serumah dengannya menjadi pembantu dengan semua fasilitas yang disediakan, tapi nyatanya tidak. Aku hanya mendapatkan makanan sisa dan biaya sekolah yang selalu menumpuk karena tidak dibayar dengan dalih nanti-nanti.Â
Ibuku yang tidak ingin melihat anaknya putus sekolah langsung menyetujui tawaran itu, sedangkan aku saat itu tidak setuju karena harus jauh dari ibuku, tapi apa yang ibu bilang saat itu.
"Ibu mau jadi TKW saja." Ucapnya dengan yakin
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, hanya bisa patuh.
Kehidupan yang aku jalani sebagai siswa yang berprofesi sebagai pembantu yang tinggal dengan majikan dan ke empat anaknya. Sungguh berat.
Tapi setidaknya aku harus mendapatkan ijasah SMA supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan segera meninggalkan tempat ini.
Setiap malam aku lebih sering menangis dipojokan kamar pembantu yang lumayan sempit, yang cukup untuk menampung kasur kecil dan satu lemari plastik warna-warni.
Aku belajar tanpa meja belajar, lantailah yang menjadi meja belajar dan kursiku. Sungguh aku merasakan betapa dinginnya saat musim hujan tiba.
Saat pagi tiba adalah hari paling sibuk buatku, menyiapkan sarapan tuan dan nyonya, beserta bekal kedua anaknya, sedangkan untuk dua anak yang lain sudah menginjak SMP jadi tidak perlu bekal lagi. Aku menyiapkan makan untuk orang lain tapi selalu lupa untuk menyiapkan makan untuk diri sendiri.Â
Majikan yang sering memarahiku setiap hari meski itu adalah hal yang sepele. Amarahnya adalah makananku setiap hari dan hinaannya adalah minumanku setiap hari. Neraka dunia yang nyata aku alami.
Karakter majikanku berbeda sekali, ketika di luar rumah sungguh ramah dan terkenal dermawan dengan ucapannya yang selalu lemah lembut. Mungkin topengnya sudah dia pasang kembali saat keluar dari rumahnya.
Bertahun-tahun aku lalaui, sampai tiba dimana aku dilema dengan detik-detik kelulusanku saat itu, ada satu anak dari majikanku yang baik sekali denganku, menganggapku sebagai teman baiknya.
Kalina namanya, aku berat meninggalkannya karena perlakuannya berbeda dari yang lain.
Mbak kamu jangan pergi dari sini ya, nanti kalau kamu pergi aku sama siapa? Ucapnya setiap waktu karena tahu aku kurang 3 bulan lagi lulus sekolah.
Sebenarnya yang paling berat adalah ucapan majikanku, melarangku untuk bekerja dimanapun setelah lulus dan tetap bekerja sebagai pembantu dirumahnya, jangan sampai kamu lupa bahwa sekolahmu aku yang membiayai.
Sepertinya aku benar-benar tidak bisa pergi dari rumah itu.
Tapi nyatanya surat yang aku tulis seminggu sebelum aku pergi untuk meninggalkan rumah itu telah sampai ke majikanku, dengan segala permintaan maafku karena pergi tanpa pamit. Karena jika aku pergi dengan cara berpamitan tidak mungkin berhasil, aku akan di tahan untuk tidak pergi meninggalkan rumah itu.
Aku pergi pukul sepuluh malam saat seisi rumah sedang keluar kota, dirumah hanya ada aku dan pak satpam yang menjaga post depan rumah. Mau tidak mau aku harus mengelabuhi pak satpam, aku meminta pak satpam untuk membelikan kopi bubuk untuk bapak karena majikan sebentar lagi akan pulang, dan stock kopi habis tak tersisa.
Akhirnya pak satpam pergi dengan naik motor untuk membeli kopi, itulah peluang untuk kabur, akhirnya aku berhasil kabur dengan perasaan dag dig dug saat hendak menunggu bus malam saat itu, takut ketahuan, takut pak satpam tiba-tiba datang lebih cepat, dan masih banyak lagi ketakutan yang aku rasakan.
Dan akhirnya aku bisa tersenyum di bus saat itu, aku bebas, aku merdeka dari perbudakan, aku merdeka dari majikanku yang tidak menganggapku manusia yang sama sepertinya.
Aku menulis surat yang aku tinggal di post untuk pak satpam. Permintaan maafku karena sudah membohonginya. Meskipun aku tahu itu akan mengecewakannya.
Setelah itu aku tidak pernah tahu seperti apa kehidupan di rumah itu. Yang terpenting aku sudah merdeka. Aku tahu aku egois tapi aku menginginkan kebebasanku.
BIODATA NARASI
Ratnafir adalah nama pena dari penulis bernama lengkap Ratna Firmania Rochman. Lahir di nguling-pasuruan pada tanggal 12 oktober 1990. Tentang hobinya yang suka menulis baik itu novel, puisi, dan diary kehidupan. Penulis yang random ini terkadang bisa melankolis dan kadang histeris.(bercanda)
salam kenal jangan lupa follow @ratnafirmania.r
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H