Mohon tunggu...
Ratna Dianasari
Ratna Dianasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UMM

seorang mahasiswi yang mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Revolusi Kain Bercorak Ramah Lingkungan

16 Desember 2022   01:25 Diperbarui: 16 Desember 2022   01:26 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Malang--Semakin usang semakin kita mengerti perkembangan industri telah meningkat. Karya seni Bangsa Indonesia yang telah turun temurun mengalami revolusi, batik contohnya.

Lembar Bergambar

Batik, sebuah kain bergambar yang digarap dengan menorehkan malam diatasnya. Bukan sembarang gambaran, batik punya ciri khas. Bahkan, dibeberapa daerah keunikan itu menjadi identitas.

Dalam prosesnya, warna menjadi komponen penting. Namun, sayangnya pencorakan itu menggunakan warna tekstil dan malam yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Padahal industri kain bercorak di Indonesia saat ini terbentang dari skala besar, skala menengah, skala kecil, hingga skala rumah tangga (home industry). Dilirik dari hal ini, kemungkinan tersebarnya limbah tekstil dan malam semakin longgar. Bukan hanya pada bulatan industri, tetapi juga di kawasan padat penduduk.

Dari Kimia ke Bahan Alami

Berbincang mengenai kain bercorak, Ecoprint ialah salah satu metode pencetakan motif kain dengan atribut alami. Proses bersuanya antara kain dengan daun, bunga, batang, atau bagian tumbuhan lainnya yang mengandung pigmen warna menghasilkan motif yang unik dan memukau. Rangkaiannya cukup panjang dan menguras tenaga, tetapi tidak lebih rumit dari membatik dan alternatif untuk kain bermotif minim limbah kimia.

"Awalnya saya belajar membatik, tapi merasa kurang pas jadi beralih ke ecoprint," Meilina, salah satu UMKM yang memproduksi ecoprint di Malang. Ketika ditanya alasan terkuatnya beralih ke ecoprint adalah kecintaannya terhadap lingkungan.

"Kalau sudah berceceran di tanah, tanah bisa rusak," ujarnya. Saat itu, dirinya menjelaskan dilemanya antara kegemaran dan kecintaannya terhadap lingkungan. Hingga akhirnya memutuskan untuk beralih ke ecoprint dan menjalankan UMKMnya.

Meilina bercerita bahwa dirinya tidak sepenuhnya meninggalkan batik tulis. Ia masih ingin menggunakan karya seni warisan bangsa itu. "Terkadang saya juga masih membatik, tapi hanya untuk konsumsi pribadi," tuturnya. Kalimat itu ia lontarkan setelah penjelasannya mengenai masa peralihan dari batik tulis ke ecoprint.

Pewarna Kain Corak yang Bersahabat

Mengenai tanaman, yang bisa digunakan hanyalah tanaman yang mengandung getah tanin tinggi dan masih segar. Getah tanin yang pernah dipakainya untuk memproduksi ecoprint ialah dari tanaman jambu, tanaman air mata pengantin, daun cemara, dan masih banyak lagi. "Dipetik seperlunya saja dan yang terpenting tidak menebang pohonnya," tegasnya. Bagi dirinya, dasar ilmu untuk memetik tanaman tidak kalah penting, tidak bisa dientengkan.

Kain yang digunakan untuk memproduksi ecoprint memiliki kriteria. Kain tanpa kandungan polyester (kandungan plastik dalam kain), karena plastik sifatnya licin sehingga warna tanaman tidak termakan dengan sempurna terhadap bentangan kain polos itu. Diantaranya kain katun, kain sutra, kain rayon, kain linen dan sebagainya.

Yang membuat Meilina semakin yakin untuk menjalankan UMKM ecoprint-nya adalah limbah yang tidak mengancam keasrian lingkungan. "Kalau tanaman layu, lalu berceceran ke tanah bisa dijadikan pupuk," ucapnya. Berdasarkan sudut pandangnya, ecoprint sama sekali tidak merusak tanah maupun sungai dalam proses pembuatannya.

Proses Hingga Sampai ke Tangan Konsumen

Rangkaian panjang yang dilalui untuk sampai ke tangan konsumen dimulai dari mencuci bentangan kain. Bukan dengan air bening biasa, kain polos itu dicuci menggunakan zat tertentu. Setelahnya, beralih ke mordan. Mordan sendiri melewati 2 tahap menggunakan bahan aman seperti tawas, cuka, baking soda. Kemudian kain itu melalui penjemuran hingga setengah kering. Kain dihamparkan ke lantai, ditaburkan tanaman untuk menotifan.

"Kalau orang bilang sih cuma ditempel-tempel saja," guraunya. Disisi lain ia menjelaskan tantangan terberat adalah bagaimana menuangkan gagasan untuk membenahi motif tanamannya. Meilina mengibaratkan proses ini sama seperti proses pemolaan (pembuatan sketsa) pada batik tulis. "Capeknya pas cari inspirasi itu, gimana caranya supaya motifnya tetap terlihat dan menarik. Jadi tidak asal tempel" tuturnya.

Setelah itu digulung dengan plastik agar warna tidak bertumpukan satu sama lain, lalu dikukus selama satu setengah jam dengan api sedang sampai suhu tertentu. Tahapan terakhir sebelum masuk ke tangan penjahit adalah dijemur hingga warnanya benar benar keluar. "Biasanya untuk kain yang benar-benar siap diserahkan ke penjahit atau dijual membutuhkan waktu satu minggu penjemuran," imbuhnya.

Hingga saat ini UMKM Meilina telah berkembang cukup pesat. Dapat diamati dari keikutsertaannya menghadiri beberapa bazar, baik di Malang maupun di luar Malang. Dapat menjadi sebuah pilihan bagi pecinta kain bermotif minim limbah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun