Dengan anggapan itu, Soeharto kemudian naik kekuasaan. Mengungkap Kebenaran, setelah 52 tahun berlalu, belum ada jawaban dari pertanyaan pertanyaan itu. Namun, masih ada harapan bahwa kegelapan itu terungkap. Konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia masih terus mencari dokumen asli Supersemar.
Salah satu instrumen yang bisa digunakan untuk membantu adalah UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara namun tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, disinggung juga Daftar Pencarian Arsip (DPA). Sejarawan Asvi Warman Adam berharap ANRI mendorong keluarnya PP atas UU Kearsipan.
 Apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah asli Supersemar. Kewenangan itu  bisa jadi termasuk menggeledah pihak-pihak yang berkemungkinan menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut. Bila itu yang terjadi, maka ada harapan terjadi pelurusan sejarah.
Bila dulu sejarah selalu disesuaikan oleh kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari banyak orang. "Sejarah ditulis oleh para pemenang" tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak. Walau Soeharto tidak lagi berkuasa, dan tidak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia. Setidaknya, sejarah kita dengan gamblang bisa diceritakan. Pengungkapan Supersemar juga menjadi peringatan bagi para penguasa negara agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingan pribadinya. Karena mereka bisa menulis sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapus kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H