Hari ini saya baru saja sampai di rumah sepupu saya di Cinere setelah perjalanan yang sangat melelahkan dari Bandara Soekarno-Hatta yang saya tempuh dalam waktu sekitar 2,5 jam! Kebetulan sebelumnya saya bertemu dengan partner di Medan, dalam pertemuan dengan maksud untuk membuka cabang usaha kecil-kecilan yang saya kelola, disana.
Waktu yang saya tempuh dari Kuala Namu ke Soekarno-Hatta bisa dibilang tepat waktu sesuai yang dijadwalkan, sekitar 2 jam 10 menit. Namun dari Soekarno-Hatta ke Cinere saya menghabiskan waktu lebih dari 2,5 jam. Sangat menyedihkan, dimana jarak tempuh yang saya perkirakan bisa dicapai dalam waktu 1 jam menjadi sangat lama karena macet. Terutama mulai dari Senayan - Panglima Polim - Fatmawati, karena sedang dilaksanakan proyek pembangunan MRT di ruas-ruas jalan tersebut.
Sepanjang jalan saya berfikir, bahwa pembangunan MRT yang akan menghubungkan Lebak Bulus sampai Bundaran HI merupakan inisiatif yang sangat tepat, seingat saya inisiatif tersebut sudah muncul puluhan tahun silam. Hingga baru pada masa DKI-1 dipegang oleh Jokowi ini, kickstart pembangunan dimulai lagi. Dari berita-berita yang pernah saya baca, proses pembangunan MRT ini akan memakan waktu sampai sekitar 3 tahun, sehingga diperkirakan akan benar-benar selesai pada tahun 2017. Dan konsekuensi yang harus diterima adalah, ruas jalan Fatmawati yang biasa saya lewati untuk berangkat ke tempat kerja di daerah Dharmawangsa menjadi macet sangat parah, hingga ke ruas-ruas jalan selanjutnya yang terlewati jalur MRT nantinya. Waktu yang saya perlukan untuk mencapai tempat kerja bisa menjadi 2 kali lebih lama. Gak kebayang yang tempat kerjanya lebih jauh dari tempat saya.
Tetapi itulah konsekuensi yang harus diterima, suka tidak suka, mau tidak mau ya seperti itulah realitanya. Saya yakin bahwa pembangunan MRT ini nantinya akan membawa dampak yang sangat besar dalam pengurangan kemacetan di Jakarta. Saya ikut mendukung karena akhirnya dimulai juga pembangunan yang sudah digagas sejak lama ini, dimana dana yang diperkirakan akan dihabiskan adalah sebesar 15 triliun rupiah.
Ngomong-ngomong soal MRT saya jadi ingat sama Jokowi yang melanjutkan pelaksanaan pembangunan MRT ini. Sering saya baca bahwa nanti sistem transportasi di Jakarta akan terintegrasi dengan moda transportasi yang lain. Saya sempat respect dengan beberapa plan yang saya dengar akan dilakukan oleh Jokowi, hingga kita tahu belakangan bahwa beliau dicalonkan menjadi Presiden oleh PDI-P yang merupakan partai politik yang mencalonkan dirinya menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga akhirnya terpilih.
Jokowi selalu bilang bahwa mau fokus ngurusin Jakarta saja dan tidak mau memikirkan soal pencapresan, "saya mendapat tugas sebagai Gubernur Jakarta, jadi harus MENYELESAIKAN masalah-masalah Jakarta", "copras-capres, enggak mikir", kemudian "soal capres silahkan tanyakan ke Bu Mega" dan sebagainya. Tapi tanpa disadari statemen-statemen Jokowi tersebut merupakan statemen yang mendua arti. Disatu pihak dia ingin dicitrakan sebagai orang yang konsisten dengan janji yang diucapkan untuk membereskan Jakarta, namun disisi yang lain bermakna kurang lebih "Bu Mega, gw mau nih jadi presiden, please gw dijadiin capres dong..".
Pertama kali, fokus Jokowi memang untuk menyelesaikan masalah Jakarta. Kemudian dia mulai galau dan bimbang sehingga jawabannya adalah "copras-capres nggak mikir". Selanjutnya dia pun tergiur untuk menjadi presiden hingga bayangan kekuasaan yang akan dia dapatkan pun membuat dia mengharap Megawati mau mencalonkan dirinya hingga keluar statemen "silahkan tanyakan ke Bu Mega".
Lebih ekstrim lagi, mungkin sejak pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, Jokowi memang sudah bermain sandiwara. Seperti tulisan saya sebelumnya bahwa jika SBY suka sekali dengan drama tidak bermutu yang bisa kita sebut Sinetron, Jokowi ini lucu sekali dengan aktingnya yang mirip seperti Ludruk.
Ketidak konsistenan Jokowi terlihat dari urutan jawaban dan fakta yang terjadi. Dia bilang ingin menyelesaikan masalah Jakarta, tapi ternyata 'ngiler' juga untuk di-capres-in. Jokowi sudah bohong.
Jokowi pernah keceplosan (ngomong) bahwa dia tidak pasti akan menang 1 putaran. Dia terlalu percaya diri sehingga PDI-P mentargetkan 30 persen suara dalam Pileg, namun 20 persen pun tak sampai (menurut data Quick Count). Jokowi sudah sombong.
Dalam bahasa populer sering disebut, bahwa fase kelanjutan dari Bohong adalah Sombong. Kelanjutan dari Sombong adalah Nyolong. Pola-pola yang berasal dari local wisdom kontemporer, saya lihat memang terbukti seperti itu.