Mohon tunggu...
Ceni Cendekia
Ceni Cendekia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Muda dan berkarya. Cinta Indonesia. Follow Twitter @ratnaceni yaa..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gara-gara Gerindra, Pemilih Terancam Anti Klimaks

17 Mei 2014   23:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sampai dengan minggu lalu, keseluruhan rangkaian Pemilu 2014 adalah sebuah prestasi karena hasilnya tidak mudah diprediksi. Menurut para ahli di dalam dan luar negeri, salah satu indikasi bahwa demokratisasi di sebuah negara sudah maju adalah tidak mudah bagi kelompok tertentu untuk mangatur hasil sebuah pemilihan umum.

Untuk prestasi tersebut para tokoh politik nasional, khususnya pimpinan partai politik, boleh dan perlu diapresiasi. Kenapa? Karena politik yang bermanfaat adalah gabungan dari idealisme, ilmu (science) dan seni (art). Dengan "ilmu" (science) para pimpinan partai politik bisa mengidentifikasi dan mengukur aspirasi pemilih melalui berbagai survei dan teori.

Melalui "seni" (art) para pimpinan partai politik saling mengungguli antara satu dengan yang lain. Banyak kompromi dan pragmatisme dalam seni politik ini, tapi tetap tidak menurunkan kualitas demokrasi selama dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan pemilih.

Sedangkan idealisme membungkus keduanya dalam satu platform yang terarah, berkarakter, dan mementingkan kepentingan masyarakat. Idealisme masing-masing tokoh atau koalisi antara beberapa tokoh/partai bahkan  menjadi arah perjalanan bangsa dan negara ini.

Ketika salah satu dikesampingkan, dapat dirasakan menurunnya kualitas masing-masing partai dan tokoh dalam hal kepemimpinannya dan kelayakannya untuk terus didukung. Contoh saja, ketika science dikesampingkan, yang terjadi adalah diskoneksitas atau "tidak nyambung"-nya prilaku politik dengan aspirasi pemilih. Bisa saja sebuah parpol atau tokoh membuat langkah-langkah atau pernyataan yang seru dan menarik perhatian pemilih.

Tapi ketika "tidak nyambung" atau bahkan kontradiktif dengan aspirasi pemilih, hasilnya pasti kontraproduktif. Contohnya adalah pernyataan cawagub Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI Jakarta lalu ketika menghina Basuki Purnama (Ahok) dengan pernyataan yang "rasis". Langsung saja pasangan Foke-Nara ditinggalkan pemilih karena sudah jelas pemilih di jakarta adalah masyarakat modern yang tidak setuju dengan SARA.

Ketika "art" tidak dikuasai, yang terjadi adalah politik yang tidak menarik, karena mudah ditebak sehingga tidak menyegarkan pemilih. Contohnya adalah ketika Jokowi bolak balik hanya mengandalkan "blusukan" tapi tidak melakukan langkah-langkah atau mengeluarkan pernyataan yang substansial, media massa dan pemilih mulai bosan karena Jokowi mulai ketahuan dangkal. Di saat yang sama, pemilih juga sudah lelah dengan "pencitraan".

Sedangkan ketika idealisme dikesampingkan, dan pemilih mulai merasakan bahwa langkah-langkah politik adalah untuk kepentingan si pelaku politik dan kelompoknya, maka baik "science" maupun "art" menjadi tidak ada artinya. Bahkan sudah tidak relevan karena kepentingan pemilih sudah tidak lagi menjadi bagian dari pertimbangan politik si partai atau tokoh politik yang sedang menjadi perhatian.

Contoh konkritnya adalah langkah dan prilaku politik SBY dalam setahun terakhir. Apapun yang dikatakan atau dilakukan SBY ditanggapi dengan dingin bahkan sinis oleh masyarakat. Bahkan Konvensi Partai Demokrat pun sudah dianggap "non event" dan tidak relevan oleh pemilih. Sebabnya karena pemilih tidak merasakan niatan yang tulus dan idealis dibalik pernyataan dan prilaku SBY.

Masyarakat merasa tahu bahwa metode konvensi yang notabene sangat baik dan modern, dan yang seharusnya sangat menarik untuk diikuti itu semata-mata hanya untuk mengembalikan citra partai demokrat dan SBY serta kelompoknya saja.

Akibatnya, tokoh-tokoh muda seperti Gita Wirjawan, Anies Baswedan dan Dino Pati Djalil yang punya citra sangat baguspun jadi ikut tercela. Bukan hanya itu, Marzuki Alie, salah satu unggulan Konvensi  yang sekaligus juga Ketua DPR-RI, ikut dihukum oleh rakyat dengan tidak mendapatkan kursi dalam pemilihan legislatif di dapilnya.

Sayangnya, prestasi para pimpinan dan tokoh politik mulai luntur justru di aspek idealisme ini. Contohnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang demi pragmatisme kekuasaan melanggar janjinya kepada Rhoma Irama.

Bukan soal pencalonan Rhoma tapi lebih kepada soal "misi sosial politik" yang seyogyanya diusung bersama yaitu untuk mencegah Jokowi jangan sampai terpilih karena pencitraan belaka dan meninggalkan tanggung jawabnya di Jakarta. Di ujung, Rhoma justru ditinggalkan setelah berhasil mengangkat PKB menjadi partai terbesar kelima dalam pemilihan legislatif yang lalu. Rhoma patut diapresiasi karena tetap pada idealismenya dan mengumumkan pencabutan dukungannya kepada PKB.

Sebaliknya PPP dan Nasdem menjadi contoh yang baik. Keduanya memutuskan dengan tegas dan memberikan dukungan tanpa syarat masing-masing kepada Prabowo dan Jokowi. PPP yang sempat digoyang karena keputusan itu, tetap pada akhirnya konsisten membela keputusannya mendukung Prabowo dan koalisi Gerindra. Ironisnya adalah justru Prabowo sendiri mulai luntur idealismenya bila memilih Hatta Radjasa sebagai pasangan cawapresnya hanya demi mendapatkan dukungan Partai Amanat Nasional (PAN).

Padahal pemilih sangat menikmati manuver Megawati, ARB dan Prabowo  yang saling membangun komunikasi. Apalagi ketika ARB dan Prabowo sama-sama menyatakan siap menjadi capres maupun cawapres asal untuk bangsa. Itu adalah keputusan dan sikap politik mulia yang akan menjadi sejarah dan teladan untuk masa depan.

Harapan pemilih adalah ketiga tokoh bisa memutuskan diatas idealisme yang konsisten dipromosikan selama ini, dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan. Bila sampai keputusan Prabowo memilih Hatta tersebut memang sudah final, maka mubazirlah popularitasnya yang semakin meningkat selama ini, dan mubazir pula dukungan pihak lain terhadap Prabowo dan Gerindra. Jangan sampai Megawati dan ARB terpancing langkah Prabowo yang "anti idealisme" tersebut, dan kemudian juga memutuskan yang salah dengan berkoalisi dengan Partai Demokrat.

Satu dua hari ke depan adalah ujian terakhir bagi para pimpinan partai politik untuk mempertahankan prestasi yang sudah baik sejauh ini. Keputusan Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie (ARB), Prabowo, juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hanura akan membuktikan apakah mereka sekedar politisi yang sekedar memikirkan menang dan kalah,  ataukah mereka negarawan yang siap membuat keputusan terhormat untuk perbaikan bangsa.

Rapimnas Partai Golkar menjadi sangat strategis untuk diikuti. Karena ARB dan Golkar yang walaupun lebih banyak perolehan kursinya dibandingkan Gerindra sudah menyatakan siap menjadi capres atau cawapres asalkan untuk bangsa. Sikap ini seyogyanya menjadi "dukungan termahal" yang wajib dimanfaatkan oleh Megawati dan Prabowo. Golkar menjadi penentu koalisi mana yang akan didukung rakyat. Asalkan Golkar tidak tergoda berkoalisi dengan Partai Demokrat, koalisi mana di antara PDIP dan Gerindra yang didukung ARB dan Golkar, adalah koalisi yang wajib didukung rakyat karena idealismenya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun