Mohon tunggu...
Ratna Eka Putri
Ratna Eka Putri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

undergraduate microbiology student

Selanjutnya

Tutup

Nature

Biomining : Ekstraksi Bahan Tambang Menggunakan Bakteri

2 Januari 2014   15:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 6922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegiatan pertambangan adalah usaha untuk memeroleh bahan mineral berharga dan penting bagi manusia yang berasal dari permukaan ataupun bagian dalam bumi yang dapat melalui proses ekstraksi lebih lanjut. Kegiatan pertambangan umumnya identik dengan kerusakan lingkungan yang dihasilkannya baik itu berupa degradasi sumber air dan tanah, polusi udara hingga pencemaran yang terjadi akibat kebocoran tailing. Namun, tahukah Anda bahwa Hal itu saya rasa tidak berlaku untuk tambang Batu hijau ? Ya, Batu Hijau adalah salah satu lahan tambang terbesar yang memiliki program pengelolaan lingkungan paling baik di Indonesia bahkan dapat dikatakan di tingkat dunia.

Batu Hijau adalah kawasan pertambangan yang dimiliki oleh PT Newmont Nusa Tenggara atau PTNNT. Pantaslah jika kawasan Batu Hijau memiliki sistem tata lingkungan yang baik karena salah satu misi PTNNT adalah menjadi perusahaan tambang yang terdepan dalam bidang perlindungan lingkungan. PT Newmont Nusa Tenggara memiliki keyakinan bahwa sistem pengelolaan yang disertai tata kerja lingkungan yang baik akan mampu mewujudkan perusahaan yang efektif dan sukses sesuai dengan visi PTNNT itu sendiri.

PTNNT telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan(SML) ISO 14001 yang merupakan komitmen terhadap setiap operasi dan fasilitas tambang Newmont di wilayah Asia Pasifik. SML ini merupakan bagian dari kegiatan operasi yang terdiri dari pengelolaan hidrokarbon, bahan kimia, batuan sisa hingga pengelolaan limbah dan air dan masih banyak lagi yang kesemuanya dianggap mampu membuat PTNNT mewujudkan komitmennya.

Namun, dari berbagai strategi pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan PTNNT , saya merasakan ada satu hal yang kurang karena semua metode yang dilakukan masih menitikberatkan pada teknik secara fisika dan kimia. Padahal di masa sekarang, kegiatan pertambangan yang berbasis pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan sudah dapat dilakukan dengan pendekatan biologis untuk mewujudkan penerapan dari Green Technology atau Teknologi Hijau.

Melalui artikel ini saya hendak memberikan gambaran mengenai salah satu pendekatan secara biologis yang dapat meningkatkan teknologi pertambangan untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan yakni dengan menggunakan mikroorganisme berupa bakteri yang dapat memecah material batuan dan mengekstraksi mineral dari bijihnya maupun tailing sisa peleburan batuan tambang sehingga dapat diperoleh peningkatan keuntungan dan manfaat hasil yang lebih besar dibanding teknologi pertambangan konvensional. Teknologi ini disebut Biomining.

Definisi Biomining secara utuh adalah proses ekstraksi mineral berharga dari bijihnya ataupun dari sisa tailing pertambangan dengan menggunakan bantuan mikroorganisme khususnya bakteri. Biomining ini merupakan teknologi yang efektif sekaligus ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk menambang logam maupun material berharga.

Biomining ini merupakan penerapan dari proses bioleaching dan/atau biooksidasi. Keduanya memberikan pengertian berupa konversi mineral/logam yang berasal dari bijih mineralnya (ores) menjadi bentuk yang lebih larut dalam air (bioleaching) ataupun dalam wujud residu berupa padatan (biooksidasi) yang diaplikasikan dalam skala operasi yang lebih besar oleh industri pertambangan.

Dalam kegiatan industri pertambangan, Biomining ini dapat digunakan untuk memeroleh berbagai logam mineral seperti seng (Zn), kobalt (Co), tembaga (Cu), Emas (Au) dan masih banyak lagi. Namun dalam artikel ini saya akan lebih fokus membahas tentang penerapan Biomining untuk memeroleh logam tembaga (Cu) dan emas (Au) yang menggunakan bijih kualitas rendah (Low grade ores) maupun tailing sisa untuk mendapatkan persen hasil logam yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan teknik tambang konvensional

Biomining pada Tembaga

Teknologi Biomining untuk memeroleh tembaga menggunakan prinsip dari proses bioleaching yang mengubah bijih tembaga yang umumnya berbentuk tembaga sulfida tak larut menjadi bentuk tembaga sulfat yang lebih larut dalam air. Proses ini bertujuan untuk menciptakan kondisi asam dari senyawa sulfur yang tereduksi sehingga dapat menghasilkan logam terlarut tembaga yang diinginkan untuk diproses lebih lanjut dalam proses smelting. Mikroba yang digunakan adalah bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans yang secara alami hidup dan terdapat di dalam bijih mineral hasil tambang dan melalui biomining populasi bakteri tersebut ditingkatkan dan digunakan dalam reaksi berbasis microbial leaching.

.

Proses reaksi utama pada bioleaching pada tembaga dimulai ketika terjadi oksidasi spontan dari sulfida oleh ion Fe(III) yang dihasilkan dari proses oksidasi ion Fe(II) oleh bakteri A. ferrooxidans. Fe(II) yang dioksidasi oleh bakteri ini terkandung secara alami dalam bijih tembaga. Reaksi oksidasi spontan CuS dengan ion Fe(III) berlangsung dalam kondsi anaerob (tidak ada O2) sehingga dihasilkan ion Cu(II) serta ion Fe(II) pada akhir reaksinya. Efisiensi dari proses leaching ini dapat dilakukan dengan menggunakan tempat pembuangan seperti kolam besar yang dalam untuk menciptakan kondisi anoksigenik.

Proses berikutnya adalah tahapan yang disebut "Metal Recovery" dari Ion Cu(II) yang terbentuk dari reaksi awal. Potongan besi (scrap steel ion) atau (Fe0) ditambahkan ke dalam kolam pengendapan untuk memeroleh kembali tembaga dari cairan leaching melalui proses reaksi kimia sebagaimana yang ditunjukkan dalam gambar 1 sehingga dihasilkan mineral tembaga yang lebih murni (Cu0). Selain itu reaksi ini menghasilkan larutan kaya ion Fe(II) yang selanjutnya akan dipompa kembali menuju kolam oksidasi yang tidak terlalu dalam untuk selanjutnya dioksidasi kembali menjadi ion Fe(III) oleh bakteri pengoksidasi besi. Larutan asam yang mengandung ion Fe (III) ini lalu dipompa kembali kebagian atas pengumpulan untuk selanjutnya ion Fe(III) ini digunakan mengoksidasi kembali CuS untuk menghasilkan logam tembaga yang lebih larut dalam air.

Kolam leaching yang digunakan dalam proses bimining tembaga ini juga diatur sedemikian rupa mengalami kenaikan temperatur pada tiap prosesnya yang juga memengaruhi jenis populasi mikroba yang berperan untuk mengoksidasi besi (ion Fe(II)). Dimulai dari A. ferrooxidans yang aktif mengoksidasi dan hidup pada kisaran suhu 30 oC, kemudian pada suhu yang lebih tinggi digantikan oleh Leptospirilum ferrooxidans dan Sulfobacillus, lalu pada suhu 60-80 oC proses oksidasi besi dilakukan oleh Arkea (Organisme yang hidup dalam lingkungan ekstrim dan berbeda dengan bakteri) seperti Sulfolobus.

Biomining pada Emas

Selain tembaga, salah satu mineral berharga yang menjadi komoditi utama dalam industri pertambangan adalah emas seperti yang dilakukan oleh PTNNT yang merupakan perusahaan tambang yang fokus terhadap penambangan emas dan tembaga. Emas dalam bahasa latin atau dalam bentuk mineralnya disebut Au dapat diperoleh kembali dari bijihnya dengan cara melarutkannya dengan larutan sianida. Di dalam bijih atau yang biasa disebut refraktori, partikel-partikel emas biasanya tertutupi oleh sulfida tak larut. Kemudian melalui proses yang didasarkan pada prinsip biooksidasi, bakteri akan mengoksidasi sulfida yang menutupi mikropartikel emas dalam bijih maupun konsentratnya.

Pada tahap pertama, bakteri berperan dalam mempercepat proses pemecahan mineral arsenopirit (FeAsS) pada bijih yang mengandung deposit emas. Bakteri pengoksidasi ini adalah bakteri A. ferrooxidans yang akan mengoksidasi sulfur dan ion logam arsen (As) ke tingkat oksidasi yang lebih tinggi melalui proses reduksi oksigen oleh H2 dan ion Fe (III). Proses ini terjadi di membran sel bakteri A. ferrooxidans tersebut.

Pada tahap kedua, bakteri kemudian mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ (dengan mereduksi O2). Lalu logam emas akan dioksidasi ke tingkat yang lebih tinggi dari yang semula memiliki bilangan oksidasi 3 (Au3+) menjadi 5 (Au5+) dan terlepas menjadi mineral bebas Au dengan menggunakan elektron yang diperoleh dari hasil reduksi kembali Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga siklus akan berlanjut dan Fe2+ ini dioksidasi kembali.

Emas atau Au yang sudah terlepas ini berikutnya akan dikomplekskan dengan larutan sianida (CN-) dengan menggnakan metode tradisional untuk memeroleh emas murni. Namun tidak seperti proses leaching pada tembaga yang menggunakan kolam atau dump yang besar, proses leaching pada emas ini dilakukan dalam tangki bioeaktor kecil. Proses perolehan kembali mineral emas (Recovery) dengan menggunakan Biomining ini akan meningkatkan hasil emas yang diperoleh hingga mencapai lebih dari 95%. Selain itu efek toksik dari residu As dan CN- yang dihasilkan dalam proses penambangan akan dihilangkan di dalam bioreaktor leaching emas

Arsen atau As akan dihilangkan dalam bentuk endapan bersama besi sedangkan CN- dihilangkan melalui oksidasi bakteri yang pada proses akhirnya akan menghasilkan CO2 dan urea melalui proses perolehan kembali mineral Au lebih lanjut. Bioreaktor mikroba skala kecil seperti yang digunakan dalam Biomining emas ini telah cukup populer di beberapa negara seperti di Ghana, Afrika (gambar 2) karena merupakan teknologi penambangan emas yang lebih ramah lingkungan.

1388649604175661198
1388649604175661198

Penggunaan teknologi Biomining ini menjadi sangat beralasan dan dapat menjadi sebuah alternatif karena saat ini bijih mineral berharga yang berkualitas tinggi sudah berkurang secara drastis akibat tingginya permintaan dunia terhadap logam dan mineral, khususnya tembaga dan emas. Hal ini menyebabkan hanya tersisa bijih kualitas rendah yang untuk mengolahnya diperlukan energi tinggi dan bahan baku yang memakan biaya tinggi jika menggunakan teknik tambang konvensional. Selain itu terdapat biaya lingkungan tambahan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan tambang akibat tingginya polusi udara berupa emisi gas SO2 yang berbahaya akibat kegiatan pertambangan. Ditambah pula dengan semakin ketatnya standar lingkungan yang mengatur tentang tata kelola limbah berbahaya hasil kegiatan pertambangan akan menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tambang terhadap perlindungan lingkungan semakin tinggi.

Kelebihan Biomining dibanding teknik penambangan konvensional maupun tradisional yang biasa digunakan yang paling utama adalah mampu menghasilkan mineral dari bijih mineral kualitas rendah maupun sisa tailing penambangan sekalipun dengan hasil yang lebih banyak secara signifikan. Biomining yang diterapkan untuk memeroleh mineral tembaga dan emas juga memberikan manfaat berupa cara pengoperasian yang mudah, hanya membutuhkan sedikit bahan baku (low capital), minim biaya operasi, memerlukan waktu konstruksi infrastruktur pertambangan yang lebih singkat,menghasilkan tailing yang jauh lebih tidak aktif secara kimiawi sehingga tidak berbahaya terhadap lingkungan, mengurangsi emisi gas berbahaya yang dapat menyebabkan polusi dan hujan asam, serta biaya yang jauh lebih murah dalam perawatan karena hanya berupa biaya pemberian nutrisi yang berguna untuk pertumbuhan mikroba di dalam tangki bioreaktor ataupun dump/kolam leaching dibanding dengan biaya yang dikeluarkan dari proses pirometalurgi secara konvensional.

Secara ekonomis, industri tambang yang menerapkan teknologi Biomining ini akan mendapatkan keuntungan berupa efisiensi biaya produksi karena hanya membutuhkan infrastruktur yang lebih sedikit serta membutuhkan sedikit tenaga kerja dengan sedikit keluaran biaya lingkungan atau environmental cost karena hanya menghasilkan emisi gas B3 yang lebih rendah dan tailing yang lebih bersih.

Pada akhirnya, tidak dapat diragukan lagi bahwa Biomining merupakan salah satu terobosan Green Technology yang mampu menghasilkan dan mengekstraksi logam atau mineral berharga dengan meminimalkan efek buruk yang dihasilkan terhadap lingkungan. Semakin menipisnya kandungan bijih mineral kualitas tinggi pada bumi, memberikan konsekuensi bahwa cara paling ekonomis untuk tetap memeroleh mineral berharga yang penting adalah dengan menggunakan bijih kualitas rendah yang jumlahnya masih cukup melimpah ataupun tailing sisa pertambangan. Proses fisika-kimia atau yang biasa disebut pirometaurgi dan teknologi tambang konvensional haruslah diakui tidak lagi efektif akibat biaya yang mahal, energi yang diperlukan dan polusi yang dihasilkan sedangkan Biomining adalah jawaban yang tepat untuk meningkatkan hasil tambang seperti emas maupun tembaga hingga mencapai nilai dua kali lipat dari hasil pertambangan biasa dan sudah dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan industri pertambangan yang memerhatikan pengelolaan lingkungan di dalam sistemnya seperti PTNNT. Jadi, apakah PTNNT seharusnya juga sudah mulai memikirkan dan mau menerapkan Biomining dalam kegiatan pertambangannya ? Menurut saya jawabannya adalah Ya.

Sumber :

Appanna, V., Lemire, J., Hnatiuk, R. 2013. Biomining A Green Technology to Mine Valuable Metals. Canada : Departement of Chemistry Laurentian University of Sudbury.

Devasia, P. dan Natarajan, K. A. 2004. Bacterial Leaching : Biotechnology in the Mining Industry. New Delhi : Resonance Press.

Madigan, M.T., Martinko, J.M., Stahl, D.A., Clark, D.P. 2012. Brock Microbiology of Microorganism. San Fransisco : Pearson Benjamin cummings. Hal : 710

Siddiqui, M.H., Kumar, A., Kesari, K. K., Arif, J.M. 2009. Biomining - A Useful Approach Toward Metal Extraction. American-Eurasian Journal of Agronomy, 2(2) : 84-88.

Willey, J.M., Sherwood, L.M., Woolverton, C.J. 2008. Prescott, Harley and Klein's Microbiology 7th Edition. New York : McGraw-Hill Companies. Hal : 1101

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun