Risiko melekat di semua jenis pekerjaan dan aktifitas, tanpa memandang siapa ataupun apa posisi seseorang. Mulai dari pilot, pemain basket, perenang, akuntan, manajer, dokter sampai polisi pun pasti memiliki risiko dalam pekerjaannya masing-masing. Begitu pula TNI, yang juga pasti memiliki resiko-resiko dalam pekerjaannya. Setiap resiko yang ada tersebut biasanya sudah disadari oleh para pemilik risiko, terutama jika resiko tersebut memiliki dampak yang ekstrem. Terlebih lagi TNI, yang mana pekerjaannya dapat dikatakan berat, yaitu untuk membela negara Indonesia, sehingga tugas-tugas yang dimiliki prajurit TNI juga memiliki risiko yang besar.
Pada tragedi yang baru-baru ini terjadi, prajurit Hiu Kencana yang sedang melaksanakan tugas negara yaitu pelatihan penembakan senjata strategis di perairan utama Bali, kapal selam KRI Nanggala-402 yang digunakan dalam bertugas tersebut dinyatakan tenggelam atau subsunk pada Sabtu, tanggal 24 April 2021 dan terdeteksi berada di kedalaman 838 meter, dimana sebelumnya statusnya dinyatakan hilang atau submiss pada Rabu, 21 April 2021. Seluruh personel atau awak kapal yang berada di kapal selam KRI Nanggala 402, diantanya yaitu 49 anak buah kapal (ABK) dan 4 personel non-ABK, dinyatakan gugur.
Dalam melaksanakan tugas di perairan menggunakan kapal selam, salah satu kejadian risiko yang dihadapi oleh para anak buah kapal yaitu tenggelamnya kapal selam. Risiko itu seharusnya sudah disadari oleh TNI ataupun para anak buah kapal, karena memiliki dampak yang luar biasa yaitu adanya korban jiwa.
Kapal selam tenggelam itu sendiri bisa disebabkan oleh banyak hal, contohnya kurang dirawatnya mesin-mesin kapal selam, anak buah kapal yang kurang terampil ataupun lalai dalam bekerja, kondisi perairan yang kurang baik (contohnya hujan badai sehingga gelombang air tinggi), dll. Meskipun belum diketahui pasti penyebab kapal selam KRI Nanggala 402 ini tenggelam disebabkan oleh apa, karena investigasi baru bisa dilakukan jika badan kapal sudah diangkat, akan tetapi Kepala Staff TNI Angkatan Laut, Laksamana Yudo Margono, meyakini kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam karena faktor alam, dan bukan karena human error/ kesalahan manusia ataupun black out/ mati listrik.
Kepala Staff TNI Angkatan Laut meyakini tragedi ini bukan diakibatkan oleh human error, seperti kelalaian para ABK, karena semua prosedur yang ada sudah dilaksanakan sesuai dengan yang semestinya, salah satunya yaitu prosedur pelaporan penyelaman. Ini juga bukan diakibatkan karena black out atau mati listrik karena seluruh lampu masih menyala saat menyelam.
Meskipun probabilitas kejadian resiko kapal selam tenggelam ini terjadi dalam keadaan yang luar biasa saja, atau dapat dikatakan kurang dari 10% kemungkinan terjadinya, namun kejadian resiko ini memiliki dampak yang signifikan karena menimbulkan adanya korban jiwa. Seperti pada tragedi KRI Nanggala 402 ini yang menimbulkan 53 nyawa hilang.
Karena diyakini oleh Kepala Staff TNI Angkatan Laut tragedi ini diakibatkan karena faktor alam, seharusnya sebelum melakukan penyelaman, harus dipastikan kembali apakah kondisi alamnya sedang baik atau tidak, aman atau tidak untuk dilakukan penyelaman. Apalagi saat ini teknologi sudah canggih, BMKG sudah memiliki alat-alat dan sistem untuk mendeteksi kondisi alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan dalam memperoleh informasi mengenai kondisi alam sebelum tugas penyelaman tersebut dilakukan. Walaupun pada dasarnya alat dan sistem tersebut tidak 100% akurat, akan tetapi tetap bisa digunakan untuk memitigasi risiko kapal selam tenggelam akibat faktor alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H