Mohon tunggu...
Rati Kumari
Rati Kumari Mohon Tunggu... An Author A Writerpreneur

Author, Writerpreneur, Proofreader, Cultural Ambassador of The Alpha E-Magazine, Love arts, singing, and learning any language.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bianca di Piazza Navona

7 Februari 2025   15:17 Diperbarui: 8 Februari 2025   08:30 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bianca & Angelo Ferranti/Dokpri

Bianca bertahan, badai bertiup, benang-benang takdir berpadu di Piazza Navona.

UDARA masih lembap selepas hujan menerpa Roma. Jalan-jalan berbatu di Piazza Navona berkilauan tertimpa cahaya lampu jalan, menciptakan pantulan emas di atas permukaan basah. Aroma hujan bercampur wangi kopi dan roti panggang samar-samar menguar dari kafe-kafe di sepanjang alun-alun.

Di antara pejalan kaki yang masih tersisa, terdapat sosok pria tinggi bermantel hitam berjalan cepat. Kerah mantelnya terangkat, melindungi leher dari angin malam. Angelo Ferranti, seorang pengacara kriminal, melangkah panjang dan mantap. Garis-garis tegas mengisi paras oval bukan hanya karena usia pria itu sudah memasuki awal empat puluhan, tetapi juga karena pengalaman hidup. Dengan itu, dia terbiasa menghadapi berbagai ekspresi manusia mulai dari kebohongan, kepanikan, hingga keputusasaan.

Baca juga: Tersandera Keadaan

Angelo baru saja keluar dari Caffe Bernini, tempat favorit guna menghabiskan malam setelah seharian berkutat dengan berkas-berkas hukum di kantornya.

Namun, di malam itu justru terjadi sesuatu yang tidak biasa. Dari gang sempit di dekat gereja Sant'Agnese in Agone, seorang gadis muncul dengan napas memburu. Rambut panjang cokelat bergelombangnya kusut. Makhluk berpipi merah itu seperti sangat ketakutan. Ketika matanya menangkap Angelo, dia berhenti mendadak, seolah-olah menemukan satu-satunya pelampung di tengah badai.

"Aiutami ... tolong aku ...!" katanya dengan suara gemetar.

Belum sempat Angelo bertanya, suara teriakan keras menggema di udara.

Baca juga: Berlari dengan Hati

"FermatelaPencuri! Dia merampok toko perhiasanku!"

Seorang pria tua memakai jas biru muda menunjuk gadis itu. Beberapa orang mengikuti di belakangnya. Ekspresi mereka penuh amarah. Terlihat sesuatu berkilauan menyita perhatian. Sebuah kalung emas dengan liontin zamrud dalam genggaman sang gadis. Orang-orang lantas mendekat, berkerumun.

"Ladro! Kau pikir bisa lari begitu saja?" bentak pria berbadan besar, maju dan meraih lengan gadis itu dengan kasar.

Gadis itu meronta. Napasnya tersengal. Wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah, tetapi kepanikan terlihat begitu nyata.

Angelo merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Aspetta!" seru Angelo, melangkah maju dengan sikap yang mendominasi.

Matanya tajam menyapu kerumunan, membuat beberapa orang ragu untuk melanjutkan tindakan mereka.

"Kalian tidak bisa menghakimi seseorang di jalan seperti ini," katanya dengan suara dingin dan tegas.

Pria tua pemilik toko, yang mulai jelas sebagai seorang pedagang perhiasan, menatapnya penuh emosi.

"Aku melihat sendiri! Dia masuk ke tokoku, mengambil kalung itu, lalu lari!" katanya.

Angelo beralih menatap sang gadis.

"Apa benar begitu?" tanyanya pelan, tetapi tajam.

Masih dengan raut penuh ketakutan, gadis itu menggeleng kuat.

"Aku tidak mencuri! Seseorang melemparkan benda ini kepadaku di gang dan pergi begitu saja! Aku tidak tahu apa-apa!"

Angelo menghela napas panjang. Situasinya buruk. Jika gadis itu jatuh ke tangan massa, dia mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan untuk membela dirinya.

"Kalau begitu, kita bawa ini ke polisi," kata Angelo.

Namun, sebagian besar orang sudah memiliki vonis mereka sendiri.

"Buang-buang waktu! Polisi akan memercayai pemilik toko, bukan seorang gadis liar!" seru seseorang di kerumunan.

Angelo membalas sambil melihat sekeliling dan tahu bahwa dia harus bertindak cepat.

"Hukum harus ditegakkan, bukan diputuskan oleh emosi massa!" katanya. "Baiklah, aku yang akan bertanggung jawab dan membawanya ke kantor polisi sendiri."

Orang-orang berbisik di antara mereka, tetapi tidak ada yang berani menentang langsung pria setegas Angelo Ferranti.

Di kantor polisi distrik Roma, gadis berusia 26 tahun itu duduk diam menatap meja di hadapan. Wajahnya masih tegang, tetapi sorot mata sedikit lebih tenang.

Di hadapan Angelo dan si gadis, Inspektur Lorenzo Moretti, seorang pria berusia lima puluhan dengan janggut tipis, menyandarkan tubuhnya di kursi. Tatapannya penuh skeptisisme.

"Jadi, kau percaya Bianca ini tidak bersalah?" tanyanya sambil menatap Angelo dan menyebut nama si gadis.

"Aku percaya dia berhak atas investigasi yang adil," jawab Angelo mantap.

Moretti mendengus. 

"Kalung itu ditemukan di tangannya. Pemilik toko bersaksi melihat dia melarikan diri. Bukti yang cukup kuat, Signor Ferranti."

Angelo bersedekap. 

"Hanya karena sesuatu tampak jelas, bukan berarti itu kebenaran."

Inspektur Moretti memutar-mutar pena di jarinya. 

"Baik. Kami akan menyelidiki. Jika dia bohong ... kau tahu akibatnya."

Angelo menoleh ke Bianca.

"Jujurlah padaku. Kau kenal seseorang yang mungkin menjebakmu?"

Gadis imigran itu mengangguk ragu-ragu.

"Ada seorang pria yang mendekatiku di alun-alun sore tadi. Dia bertanya apakah aku perlu pekerjaan. Aku menolak, lalu dia pergi. Aku tidak melihatnya lagi sampai seseorang melemparkan kalung itu padaku di gang."

"Ciri-cirinya?" desak Angelo.

"Rambut hitam pendek, ada bekas luka di pelipisnya."

Moretti langsung menegang.

"Luka di pelipis? Itu bisa jadi Riccardo Bellini. Pencopet kelas kakap. Jika benar dia pelakunya, gadis ini memang dijebak."

Tiga hari kemudian, polisi menangkap Riccardo Bellini di pinggiran Roma. Setelah interogasi panjang, pria itu akhirnya mengaku telah merencanakan segalanya. Dia menjebak Bianca guna melarikan diri lebih dulu.

Namun, sesuatu yang lebih buruk terjadi. Meskipun Bellini mengakui kejahatannya, pemilik toko tetap bersikeras menuntut Bianca.

"Aku tidak peduli siapa yang merencanakan! Faktanya, aku kehilangan perhiasanku dan dia tetap bagian dari kejahatan itu!" katanya keras kepala.

Angelo mencoba bernegosiasi, tetapi pengusaha tua itu tetap kaku.

Proses hukum pun berjalan. Sayangnya, meskipun bukti menunjukkan bahwa Bianca dijebak, pengadilan tetap menjatuhkan hukuman percobaan kepadanya karena 'terlibat dalam kepemilikan barang curian.'

Di hari vonis dibacakan, Bianca menunduk, matanya kosong. Angelo menatap hakim dengan ekspresi kecewa, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hukum memang berjalan, tetapi apakah keadilan ditegakkan?

Di luar ruang sidang, Bianca berkata, "Jadi, begini akhir ceritanya?" suaranya pelan.

Pengacara itu sedikit terpaku, lalu menghela napas panjang.

"Di Italia, ada pepatah begini. Non giusto, ma la vita. Ini tidak adil, tetapi begitulah hidup, Bianca!"

Bianca tersenyum pahit.

"Sepertinya aku memilih negara yang salah untuk mencari peruntungan."

Angelo Ferranti hanya menatap langit kelabu. Kadang-kadang, membela yang benar bukan berarti memenangkan pertempuran. Kadang-kadang, dunia tetap berjalan dengan ketidakadilannya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun