Gorontalo. Nama itu sebenarnya cukup asing bagiku. Terlahir di Kota Hujan, Bogor, kemudian dibesarkan di Bandung, tidak banyak nama daerah sebelah timur Indonesia yang akrab di telingaku. Paling-paling Makasar, karena beberapa temanku ada yang berasal dari sana. atau, Pare-pare, karena Pak Habibie lahir di sana. Tapi kemudian adik laki-lakiku berjodoh dengan seorang gadis Gorontalo, sehingga terbanglah kami sekeluarga menuju tanah "asing" ini.
Perjalanan menuju Gorontalo kami tempuh dengan pesawat terbang. Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta, kami sempat transit terlebih dahulu di Makasar sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Gorontalo. Dari Bandara Jalaludin Gorontalo, kami dijemput oleh kakak dari calon adik iparku.Â
Dari bandara ini, masih satu jam menuju hotel tempat kami akan bermalam, begitu katanya. Kami pikir, jarak dari bandara ke hotel dekat saja, mungkin hanya sekitar 20 - 30 km. Nyatanya, karena jalanan sangat lengang, "sejauh satu jam" di sana bisa berarti 60 - 80 km. Kami pun sedikit terperangah dengan jauhnya jarak yang bisa kami tempuh hanya dalam waktu satu jam itu. Maklum, kami lama tinggal di Bandung, yang tiap akhir minggu lalu lintasnya sangat padat.
Ternyata, masih banyak "kejutan" menanti kami. Mulai dari adat istiadatnya yang luhur, kewajiban makan jika ditawari (konon, jika tidak dimakan akan mendapat celaka dalam perjalanan pulang), juga kenyataan bahwa mereka pernah memproklamasikan kemerdekaannya di tahun 1942.Â
Ya, Anda tidak salah membaca. Tahun 1942, bukan 1945. Hal itu terjadi karena para pejuang Gorontalo memanfaatkan jeda waktu antara setelah Belanda kalah pada perang dengan sebelum Jepang berhasil mencapai wilayah itu.Â
Kami bahkan diajak melihat sebuah Kantor Pos yang dijaga karena bernilai sejarah, yaitu Kantor Pos di mana Gorontalo pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya. Sayang, kemerdekaan ini pendek saja usianya, sebab Nani Wartabone yang menjadi tokoh sentral para pejuang Gorontalo (sekaligus sang proklamator) saat itu segera ditangkap oleh Jepang.
Jauh dari Batavia tidak menjadikan Gorontalo kudet dan ketinggalan berita. Buktinya, mereka bisa cepat sekali mendapat kabar kekalahan Belanda dan memanfaatkan momentum itu untuk memproklamasikan kemerdekaan. Pertanyaannya, kok bisa? Inilah yang sore itu saya tanyakan kepada keluarga besar baru kami di Gorontalo sana.Â
Ternyata, para pejuang Indonesia, baik yang di bagian barat maupun timur, dapat saling berkomunikasi dengan cepat karena memanfaatkan radio SW (short wave). Seperti namanya, radio ini menggunakan panjang gelombang radio yang pendek.Â
Kelebihannya, dapat ditransmisikan ke tempat-tempat yang jauh, bahkan ke luar negeri sekalipun. Namun, memang suara yang terdengar tidak sejernih radio FM yang menggunakan panjang gelombang yang lebih panjang dan hanya dapat menjangkau jarak yang pendek saja.
Lantas, amankah para pemuda itu ketika melakukan komunikasi antar pulau via radio? Oh, tentu tidak. Konon, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan ini suka "bergerilya" dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya. Akan ada seseorang yang bertugas untuk melihat kondisi lapangan, apakah lokasi mereka saat itu masih aman dari jangkauan penjajah.Â
Kemudian, ada yang bertugas mengoperasikan peralatan dan saling berkirim pesan dengan pejuang dari daerah lain. Nah, supaya pesan itu bisa ditangkap dan ditransmisikan dengan baik, tentu harus ada yang memanjat pohon yang tinggi dan memasang "antena".Â