Konflik yang berlangsung antara aparat keamanan Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah lama menjadi masalah kompleks bagi negara ini. Ketika TNI dan Polri dihadapkan pada keputusan mengenai cara menangani OPM, mereka sering kali terjebak dalam dilema serius: haruskah mereka menggunakan kekuatan yang mungkin melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau memilih strategi yang berpotensi menambah ketidakstabilan di masyarakat?
OPM merupakan kelompok separatis yang berjuang untuk memisahkan Papua dari Indonesia dan membentuk negara merdeka. TNI menyebut mereka sebagai Kelompok Separatis Teroris (KST), sementara Polri menggunakan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Namun, sebutan ini kini telah berganti menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Aktivitas mereka sering melibatkan kekerasan yang menyebabkan korban dan terus mengancam keamanan serta ketertiban di wilayah tersebut. Konflik ini menciptakan ketidakstabilan yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat Papua serta menguji kemampuan aparat keamanan dalam merespons ancaman tersebut.
Menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat mencakup berbagai tindakan seperti pembunuhan massal, pembunuhan tanpa proses hukum, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi sistematis, seperti diatur dalam Pasal 104 ayat (1). Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mendefinisikan pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindakan TNI akan dianggap sebagai pelanggaran HAM berat jika melibatkan serangan terhadap masyarakat sipil atau bertujuan menghancurkan kelompok tertentu sesuai kriteria genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan jika dilakukan di luar ketentuan hukum humaniter dalam konflik bersenjata.
Apabila aparat keamanan memilih untuk tidak mengambil tindakan tegas, ketidakamanan di masyarakat Papua dapat semakin meningkat. OPM yang terus beroperasi dapat memperburuk situasi dengan menambah ketegangan dan ketidakstabilan. Ini berpotensi mengganggu akses masyarakat terhadap layanan penting serta merusak struktur sosial dan ekonomi di Papua.
Dalam menghadapi dilema ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pendekatan yang melibatkan dialog terbuka dan negosiasi dengan pihak-pihak terkait dapat membantu mengurangi ketegangan tanpa melanggar HAM. Program-program pembangunan dan rekonsiliasi juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi akar permasalahan serta memberikan solusi jangka panjang yang lebih inklusif bagi masyarakat Papua.
Menangani konflik dengan OPM di Papua memerlukan keseimbangan yang cermat antara menghormati hak asasi manusia dan memastikan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan yang mempertimbangkan kedua aspek ini akan lebih efektif dalam mencapai penyelesaian yang adil dan berkelanjutan, serta dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan harmonis di Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H