Saat ini, Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan. Pemerintahan oligarki yang berkedok demokrasi semakin menyeruak ke permukaan. Berharap tak kasat mata, kepentingan-kepentingan "titipan" justru ditunjukkan oleh tuan-tuan di Senayan.
Hal ini semakin terang ketika kalangan berdasi ingin merevisi sejumlah undang-undang penting yang jelas berpihak pada rakyat. Lembaga anti-rasuah ingin dicampuri dengan merevisi Undang-undang KPK.
Begitu pula dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, RUU Pertanahan, RUU Perkoperasian, dan berbagai isu lain yang sedang berusaha diberi "mantera" agar selalu berpihak kepada kepentingan elite-elite politik, ketimbang ketimpangan rakyat Indonesia.
Kalangan yang memiliki kepentingan dibalik gedung tinggi bertingkat Senayan. Katanya negara demokrasi, mengapa risih dengan kehadiran suara-suara protes dari rakyat?
Rakyat harus bergerak. Rakyat harus tergerak. Dua hari bersejarah pada 23 dan 24 September 2019 menjadi saksi pergolakan yang telah terjadi di bumi pertiwi ini. Para mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menuntut tanggungjawab wakil-wakil rakyat terhadap upaya pelemahan KPK dan sejumlah RUU bermasalah, sebagai rakyat para demonstrasi menuntut suaranya wajib didengarkan, hak asasinya wajib ditegakkan.
Penolakan besar-besaran ini ditunjukkan dengan aksi massa, ribuan orang di sejumlah daerah seperti Pekan Baru, Lampung, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang, Jember, Makasar, didominasi oleh mahasiswa yang memaksa masuk dan menduduki kantor-kantor DPRD dan kantor kepala daerah yang dianggap tidak menyuarakan kepentingan rakyat.
Dan jelas saja, pusatnya terjadi di Ibu Kota, Jakarta, di mana puluhan ribu elemen masyarakat dan mahasiswa bersatu turun ke jalan dan memaksa masuk ke dalam gedung DPR-RI. Bak pesta rakyat, demokrasi justru dikebiri.
Hal ini semakin mengikis kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya ketika polisi yang seharusnya menjadi alat negara, kini memiliki dwifungsi, atau bahkan seutuhnya mutlak, menjadi alat pemerintahan. Sedikitnya pemakaman tiga mahasiswa pendemo yang menjadi korban dan juga puluhan mahasiswa yang mengalami kekerasan dari pihak kepolisian menjadi saksi bahwa reformasi telah dikorupsi.
Tak hanya mahasiswa, sejumlah jurnalis yang turut mengambil dokumentasi ketika aparat kepolisian sedang melakukan tindakan kekerasan kepada para pendemo juga diintimidasi. Bahkan sempat dihardik dan diancam keras jika tidak segera menghapus rekaman video yang telah diambilnya.
Arogansi polisi menghadapi massa semakin tak berdasar, tak manusiawi. Alih-alih hanya bermodal senjata benda tumpul, aparat kepolisian justru dibekali senapan yang berhasil melucuti anak pelurunya ke badan para demonstran, hingga tewas. Sungguh bertolak belakang dengan nilai-nilai Demokrasi Pancasila.
Padahal sudah jelas, penanganan aksi diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) telah diatur pelaksanaan waktu dan tempat mengenai unjuk rasa.