Budaya saling menyalahkan, sekarang ini semakin meluas dan menjadi virus yang sangat berbahaya bagi setiap bangsa. Perasaan bangga dengan golongan dan kelompok masing-masing. Bahkan sudah banyak kelompok-kelompok yang secara terbuka beradu argumentasi di dunia maya. Di YouTube bisa kita temukan banyak sekali rekaman video yang berisi hujatan, pelemahan, perendahan, penyalahan bahkan penistaan antara satu dengan yang lain baik dari kalangan agamawan, kelompok ormas, penceramah, aktivis politik, dan masih banyak oknum kelompok lainnya.Â
Ini merupakan ancaman serius bagi keutuhan NKRI. Perseteruan ini berakibat fatal pada kerukunan yang ingin sama-sama kita wujudkan. Mereka saling membanggakan apa yang menjadi keyakinannya, yang memiliki pengikut merasa bangga akan kekuasaan dan kepemimpinannya, yang menjadi pengikutnya pun begitu mengagung-agungkan pemimpinnya atau yang mereka anggap paling benar dengan rela berbuat anarkis dan menjatuhkan pihak-pihak yang berseberangan dengan mereka. Akibatnya, perselisihan dan perpecahan tak terkendalikan.
Menyatukan Perbedaan
Lalu, apakah untuk menyatukan kita harus melepaskan perbedaan? Bagaimana dengan perbedaan agama yang selalu menjadi suatu polemik yang tidak ada habisnya, Apakah untuk bisa bersatu dalam kebangsaan, kita anggap semua agama sama dan itu baik? Padahal seperti kita tahu bahwa perbedaan adalah fitrah dari kehidupan, dan kesatuan itu lahir dari perbedaan. Kita tidak bisa menyamakan segala sesuatunya. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur'an dalam Q.S. Ar-rum (22)
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."
Ayat tersebut ditafsirkan bahwa di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah penciptaan langit tanpa penyangga dan bumi yang terhampar, demikian pula perbedaan bahasamu yang diucapkan dengan mulut yang terdiri atas unsur yang sama: bibir, gigi, dan lidah; dan perbedaan warna kulitmu meski kamu berasal dari sumber yang satu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda eksistensi dan keesaan-Nya bagi orang-orang yang mengetahui atau berilmu.
Dalam satu konsep bahwa kita tidak bisa menyeragamkan perbedaan. Tentang konsepsi bahwa semua agama sama dan manusia menuju Tuhan yang sama sehingga tercipta isu toleransi. Cara berpikir seperti itu sesungguhnya menjadi suatu paham yang baru dengan berdalih toleransi untuk menyamakan semua agama atau semua keyakinan.Â
Sebagaimana dikutip dari konversasi antara Ustadz Adi Hidayat dengan Klik Andi dalam salah satu program Adi Hidayat di Youtube bahwa cara berpikir yang seperti itu merupakan penyimpangan, dalam Al-QUr'an terdapat ayat yakni untukmu agamamu dan untukku agamaku. Idealnya, ketika muslim meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar, maka yakini sepenuhnya apa yang dianut, beribadah sesuai tata aturan Islam, bersikap dan bertutur sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Demikian juga untuk penganut agama lain. Tidak usah memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan tertentu.
Tafsir/Takwil yang Sesat dan Menyesatkan
Namun kenyataannya yang terjadi bangsa ini terus dipropaganda oleh paham radikalisme yang semakin meruak. Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Mereka suka melakukan tindakan-tindakan teror, yang berarti menakut-nakuti atau menyebabkan ketakutan (Juergensmeyer, 2000). Karakter Dasar (fitrah) gerakan radikal berusaha melakukan propaganda melalui isu-isu keagamaan dengan tidak segan-segan merekayasa ajaran Islam untuk menyukseskan target yang diinginkan (Muchith, 2022).Â
Kebiasaan untuk mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat dan tak sepaham dengan pemikiran serta tindakkannya. Ini dikembangkan antar kelompok agama. Secara teologis mereka memiliki keyakinan bahwa setiap muslim harus mengikuti cara dan gaya hidup mereka. Ini hanyalah perulangan sejarah sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1864 dimana seorang pope atau kiyai dalam Islam, mengeluarkan pernyataan supaya mengutuk setiap orang yang mengharuskan penafsiran pada kitab suci yang berlainan dengan penafsiran gereja tertentu. Mereka mengutuk orang-orang yang ingin secara bebas menafsirkan isi kitab sucinya. Mereka cenderung tekstualis dan anti interpretasi, kecuali kalau interpretasi itu sesuai dengan pemahamanya (Shalaby, 1992).
Isu yang cukup efektif agar bisa memasukkan ide gerakan radikal sampai saat ini melalui organisasi atau kegiatan keagamaan dengan mencari tafsir atau takwil teks agama yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya meskipun tafsir atau takwilnya sesat dan menyesatkan. Contohnya dalam agama Islam ada ajaran amar ma'ruf nahi mungkar. Konsep amar ma'ruf nahi munkar juga bisa mendatangkan pemahaman keliru sehingga mengidentikkannya dengan kekerasan. Salah satu hadist yang terkenal mengenai nahi munkar adalah: Man ra-a minkum munkaran falyughaiyirhu biyadih, faman lam yastathi' fabilisanih, faman lam yastathi' fabiqalbih, wahua adh'aful iman.Â
Artinya: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tangan, kalau ia tidak sanggup (berbuat demikian), maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup (pula), maka hendaklah ia melakukan dengan hatinya (mendo'akan), yang demikian adalah selemah-lemah iman." (H.R. Ahad bin Hanbal, Muslim dan Ashab as-Sunan. Sekiranya hadist ini dipahami secara tekstual, maka cara nahi mungkar yang utama adalah dengan cara kekerasan, yaitu dengan tangan. Tetapi tidak semua hadist, termasuk ayat, dapat dipahami secara tekstual. Adakalanya yang tertulis mesti dipahami secara kontekstual. Mencegah dengan tangan tersebut bukanlah dimaknai dengan kekerasan, tetapi dengan kekuasaan.
Gerakan radikal seperti itu berujung terorisme. Terorisme adalah musuh besar kita semua baik dalam negeri maupun luar negeri, semuanya mengecam dan mengutuk aksi terorisme. Sebagai aksi dari pencegahan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yaitu salah satu lembaga negara yang melaksanakan tugas di bidang penanggulangan terorisme, telah merilis lima kriteria penceramah yang dianggap radikal pada 5 Maret 2022.Â
Pertama, anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri, yaitu mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun agama. Ketiga, menanamkan sikap anti-pemerintah yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan menyebar berita bohong (hoaks). Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan dan perubahan serta intoleran terhadap perbedaan ataupun keagamaan. Kelima, memiliki pandangan anti-budaya atau anti-kearifan lokal keagamaan (Lukman, 2022)
Hal tersebut dimaksudkan sebagai bahan renungan bagi seluruh bangsa Indonesia. Bagi penceramah supaya berhati-hati dalam menyampaikan kebenaran, bagi masyarakat umum agar bisa memilih siapa penceramah yang tepat untuk diundang dalam kegiatan keilmuan ataupun keagamaan. Lantas hal tersebut menjadi pembahasan yang menuai pro dan kontra. Berbagai respons masyarakat terhadap kriteria penceramah radikal bisa menunjukkan gambaran apakah mereka mempunyai potensi radikal atau tidak.Â
Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid, menyampaikan bahwa para penceramah itu selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan yang sah. Jika mereka melakukan protes atau keberatan terhadap ciri sebagai salah satu ciri penceramah radikal, sangat mungkin mereka bagian dari penceramah radikal atau setidaknya pendukung gerakan radikal, begitu juga sebaliknya.
Peran Agama dan Negara
Kekerasan atas nama agama seperti yang terjadi di Timur Tengah yang dilakukan oleh ideologi radikal yang kemudian meluas pengaruhnya keseluruh dunia, hal ini menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI. Radikalisme bukanlah ajaran Islam dan tidak diajarkan oleh Nabi, karena itu kita harus menolak segala bentuk radikalisme, karena Islam itu merangkul bukan memukul, membina dengan hati bukan menghina dan mencaci maki. Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Idiologi radikal sangat betentangan dengan semangat ukhuwwah islamiyah dan idiologi Pancasila yang memiliki ciri khas masyarakatnya yang beragam, toleran dan inklusif.Â
Agama dapat menjadi perekat perdamaian tetapi agama juga dapat menimbulkan ketegangan dan kekerasan sosial. Konflik dan kekerasan antar umat beragama karena perbedaan keyakinan, pendirian tempat ibadah, perebutan tempat ibadah dan penggunaan simbol agama untuk kepentingan tertentu bisa menimbulkan reaksi dari kelompok lain. Kekerasan sosial yang ada sekarang ini menunjukkan dangkalnya pemahaman para pelaku kekerasan terhadap ajaran agama Islam.Â
Disini peran agama sebagai alat untuk mempererat perasudaraan justru berfungsi sebaliknya. Agama sebagai alat untuk memecah belah ummat. Baik itu dilakukan secara sadar ataupun tidak. Hal tersebut harus segera disadari oleh para pelaku agama baik di desa maupun kota. Selain itu, peran negara sangat penting dan sangat menentukan. Negara sebagai pemegang kekuasaan untuk bisa melindungi seluruh masyarakatnya dari bahaya perpecahan atau disintegrasi. Sehingga persatuan dan kesatuan yang diperjuangkan oleh para leluhur serta pahlawan bangsa bisa dijaga dan tetap bisa dipertahankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H