Akibatnya adalah di saat suasana hati sedang tidak karuan, lalu "diisengi" teman dengan tujuan guyon saja bisa jadi fatal dampaknya. Artinya di hari yang sama, di jam yang sama dengan rekan kerja lainnya, suasana hati kita belum tentu sama.
Oleh karena itu saat ini saya berusaha mencari tahu latar belakang pendidikan teman-teman saya atau pengalaman kerja sebelumnya dalam bentuk semacam sesi curhat.
Usia teman-teman satu tim saya kali ini, misalnya, cukup jauh. Ini akan menjadi prioritas saya pertama kali untuk beradaptasi dengan mereka. Tahapan berikutnya adalah saya mendekati teman dengan pengalaman kerja panjang namun bukan di bidang yang sedang dikerjakan saat ini.
Kedekatan personal yang saya lakukan adalah berbagi cerita suka duka bekerja, tentang bagaimana kita melewati dan menjadi lebih bijak melihat berbagai kondisi yang menekan psikis.
Perlahan, tim tersebut mulai berjalan seperti roda mesin, perlahan hingga akhirnya menemukan posisi nyaman.
Dalam hal ini meski saya ditunjuk sebagai koordinator, namun saya berusaha bersikap sebagai mentor. Kenyamanan bekerja ini akhirnya membuat teman-teman saya jadi semangat bekerja, tidak pernah telat mengumpulkan materi, hingga akhirnya ada pernyataan bahwa mereka semangat ingin ke kantor karena kangen dengan teman-teman setimnya.
Dampak ini cukup baik, karena performa tim ini akhirnya diakui sebagai salah satu tim terbaik. Saya melihat bahwa menjadi rekan kerja yang baik adalah dimulai dari diri kita sendiri.
Mengevaluasi pengalaman kerja di masa lalu, menerapkan pola mentor yang pas entah dari berbagai sosok yang menginspirasi juga membangun kesadaran untuk saling memahami.
Saya cukup puas dengan kondisi tim saya saat ini dan semakin optimis bahwa dalam enam bulan ke depan, kita menjadi tim terbaik, solid dan mampu melewati berbagai krisis tim yang lazimnya memang seringkali terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H