Pertengahan Bulan Januari kemarin saya mengunjungi kawasan sentra Industri Kecil Menengah di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan.Â
Sentra IKM (Industri Kecil Menengah) ini didirikan sebagai wadah baru bagi masyarakat desa setempat untuk memasarkan produk unggulan dari sektor pertanian dan perkebunan.Â
Dari galeri di salah satu bangunan nampaknya sudah mulai memajang produk-produk unggulan tersebut, misal produk kopi, minuman dan camilan ringan.
Sekilas saya melihatnya seperti sebuah lompatan inovasi pemberdayaan masyarakat desa yang sangat gemilang. Namun seperti kebanyakan proyek-proyek pemda, saya khawatir program seperti ini hanya bertahan dalam waktu singkat karena konsep keberlanjutannya cenderung belum dibuat secara matang.Â
Artinya Blue Print pengembangan IKM disini sangat diperlukan agar stakeholder dan masyarakat punya gambaran dan target yang jelas dari setiap mega proyek yang ada di atas tanah mereka.
Sebagian dari kita mungkin sudah pernah berkunjung ke Umbul Ponggok, salah satu permandian alam yang sangat terkenal di Kabupaten Klaten.Â
Keberhasilan pemerintah desa dan masyarakat dalam membangun sistem multiplier effect dari wisata Umbul Ponggok ternyata mampu mengurangi angka kemiskinan di Desa ini hingga 6%.Â
Angka 6% ini ternyata adalah hanya lansia, bukan kelompok masyarakat produktif dna pengangguran yang tidak memiliki akses ke lapangan pekerjaan.
Yang menarik adalah karena terjadi surplus dana desa yang bersumber dari wisata Umbul Ponggok, pemerintah mampu mengelola zakat sendiri dengan menyantuni para penerima zakat setiap bulannya.
Selain Umbul Ponggok, banyak juga desa-desa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang cukup berhasil mengembangkan konsep desa wisata. Menariknya desa wisata disini tidak melulu tentang pengembangan pariwisata alam, sektor kuliner pun mampu membangkitkan ekonomi masyarakat desa.
Sebut saja cerita sukses itu diawali di Warung Kopi Klotok.Â
Warung Kopi Klotok ini berada di Kabupaten Sleman tepatnya di Binangun, Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Lokasinya memang cukup dekat lembah Merapi dan karena berada di Utara Kabupaten Sleman dengan topografi yang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya, membuat suasana di wilayah utara cenderung sejuk dan udaranya lebih segar.
Dari info teman-teman saya sebelumnya, pengunjung di warung Kopi Klotok ini sangat ramai sehingga disarankan agar datang agak pagi agar tidak ikut dalam antrian panjang yang sering mengular.Â
Ternyata benar, meski menurut saya saat itu sudah tiba cukup pagi, pukul 08.00 namun halaman parkir di Warung Kopi Klotok ini sudah penuh dengan plat nomor kendaraan dari berbagai daerah.Â
Saya pun akhirnya mengalami antrian panjang mengular itu ketika memutuskan untuk menambah porsi nasi.
Yang menarik dari Warung Kopi Klotok adalah, menu yang disajikan bukan makanan-makanan layaknya yang ada di restoran bergengsi dengan harga selangit.Â
Makanan yang dijual di Kopi Klotok berupa menu rumahan seperti ikan pindang, sego megono, sayur lodeh dan menu tradisional lainnya. Makanan ini disajikan langsung dari dapur yang mengepul menggunakan tungku dan kompor gas.
Jadi begitu pengunjung masuk di pintu utama bagian depan, aroma khas makanan tradisional dengan puluhan tandan pisang yang digantung menjadi ambience awal yang sangat khas.Â
Khas di sini karena ambience yang diciptakan adalah sesuatu yang sudah sangat jarang kita temukan di warung manapun di pusat kota. Jadi kalau boleh saya menyebutnya, ini adalah warung makan bertradisi dengan cita rasa ngangeni.
Juga dari teman saya, akhirnya saya diceritakan bahwa yang mengelola makanan di warung makan di Kopi Klotok adalah warga setempat, bahkan hingga tukang parkir dan keamanan juga dikelola masyarakat setempat. Konsep-konsep kebersamaan seperti ini selalu membuat saya terkagum-kagum.
Alasannya saya tidak melihat adanya kompetisi untuk maju sendiri atau kaya sendiri dengan mengeruk sumberdaya desa misalnya. Melainkan prinsip gotong royong membangun ekonomi bersama seperti ini adalah kekuatan penting yang membangkitkan perekonomian desa secara umum dan juga orang per orang secara khusus.
Yang bisa saya pelajari dari cerita-cerita sukses desa-desa tersebut adalah, semuanya bermula atau berangkat dari hal kecil. Masyarakat disini tidak melihat bahwa memajukan desanya harus diawali dengan anggaran bombastis.Â
Karena ada juga desa yang sudah mendapat anggaran bombastis sayangnya minim analisis sehingga program yang ditawarkan atau keberlanjutan dari proyek bernilai fantastis itu mangkrak di tengah jalan. Ya, kita sering terseok-seok bila berbicara keberlanjutan.
Banyak konsep dan ide pemberdayaan desa yang menguap di permukaan. Kendalanya macam-macam, semangat membangun yang tidak sama, prinsip nafsi-nafsi (sendiri-sendiri) atau pilihan menggiurkan lainnya yang jauh lebih menguntungkan ketimbang membangun kegotongroyongan bersama membangun desa.Â
Mungkin karena di level tertinggi pun, setingkat kementerian misalnya masih saja terdapat perbedaan data jumlah desa antar lembaga yang satu dengan lembaga lainnya.
Berangkat dari fakta-fakta bahwa sesungguhnya desa-desa di Indonesia itu bisa maju dan mandiri dari dengan pendekatan kegotong-royongan.Â
Dari sana terbersit ide bahwa pemerintah bisa mengembangkan desa-desa inkubator terlebih dahulu, sebagai percontohan untuk desa-desa lain di Indonesia yang baru memulai visi besar membangun ekonomi desa dan masyarakatnya.
Seorang kolega yang cukup konsen dengan penelitian pengembangan desa tematik mengungkapkan bahwa keberhasilan pengembangan desa wisata di Jogja atau di Klaten itu karena kita mewarisi nilai-nilai kegotong-royongan yang masih kental. Sehingga pendekatan Top Down sepenuhnya pun tidak menjadi kendala.
Namun perlu berhati-hati juga karena pendekatan Top Down tidak bisa diadoposi sepenuhnya diterapkan bila sumberdaya manusia di desa tersebut belum cukup mumpuni mengembangkan potensi desa.Â
Di tahap ini sangat dibutuhkan pendamping desa yang mampu mengarahkan stakeholder dan masyarakat desa dalam menyusun potensi dan masalah di desanya, kemudian dipetakan dan dibuat profiling/pengkategorisasian untuk setiap isu.
Lalu Desa Inkubator itu seperti apa?
Ini bisa menjadi kritikan ke pemerintah terutama dengan adanya program dana desa yakni desa mendapatkan bantuan 1 M per desa untuk berbagai kegiatan pembangunan desa. Sayangnya banyak kelemahan dalam program ini, karena sistem basis data desa kita masih cukup lemah.
Tidak perlu berbicara terlalu jauh soal potensi desa, jika data jumlah desa saja ternyata berbeda. Bila urusan data saja kita masih belum valid lantas bagaimana pemerintah bisa menjamin dana 1 M per masing-masing desa ini tepat tujuan, karena untuk tepat sasaran saja rasanya itu target yang masih sangat jauh dicapai.
Gambaran soal basis data desa yang saya maksud disini dimulai dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
- Validasi jumlah desa di Indonesia, antar lembaga harus memiliki data yang sama. Pemerintah juga jangan melulu percaya pada data yang dikirim dari kabupaten misalnya. Perlu ada tinjauan langsung ke daerah untuk melakukan semacam sensus desa, kroscek data sekunder dan data lapangan sangat berperan penting di sini.
Dengan basis data yang valid, lalu dilakukan inventarisasi data untuk desa-desa yang sukses dan berhasil membangun kemandirian ekonomi. Selain berhasil membangun ekonomi desa, kisah sukses lain yang sekiranya sangat positif untuk lingkungan dan sosial bisa dikelompokkan. Misal desa yang berhasil dengan pengembangan energi terbarukan dan dilakukan secara swadaya, atau desa-desa tangguh terhadap bencana, atau juga desa yang cukup maju dengan sistem pendidikan alam.
Data untuk desa-desa yang sukses baik dalam membangun kemandirian ekonomi, memerangi perubahan iklim, tangguh bencana dan penddidikan berbasis alam (tentu bisa dieksplor lebih jauh lagi) tersebut kemudian diarahkan agar menyusun semacam profil pengelolaan desa sesuai dengan keunikannya tadi. Profil desa tersebut yang menjadi basis data pemerintah pusat dalam merumuskan Rencana Induk Pengembangan Desa Tematik. Tentu tidak dibuat saklek karena dinamika di masing-masing wilayah tentu berbeda juga.
Dengan data profiling seperti pada poin 3, pemerintah bisa menyusun proporsi persentase desa yang dinilai sudah mandiri, desa miskin dan desa berkembang. Untuk desa miskin dan berkembang, pemerintah bisa menawarkan pola-pola treatment dari desa-desa mandiri tadi untuk diadopsi, adaptasi kemudian disesuaikan dengan potensi desanya.
Desa-desa yang baru memulai tersebut paling tidak punya wadah untuk belajar dari desa yang sudah berhasil membangun kemandirian ekonomi misalnya. Dalam sistem basis data ini, misalnya bisa berbentuk platform website atau grup percakapan atau sistem digital yang mobile untuk memudahkan interaksi seluruh kepala desa se-Indonesia.
Tahap akhir, pemerintah baru akan menggelontorkan dana desa ketika desa-desa tersebut sudah menyusun profile desa seperti masalah mereka apa, lalu program yang akan dikembangkan apa saja dan dana yang dibutuhkan. Agar lebih valid, profil desa tersebut juga perlu disertakan dengan proses FGD (Focus Group Discussion) yang menjadi dasar dalam perumusan program desa tersebut. Artinya dana yang dikucurkan pemerintah untuk dana desa bisa saja tidak seragam, melainkan menyesuaikan dengan proposal yang ditawarkan.Anggaran yang disusun juga mesti dibantu dengan pendamping desa yang profesional dan bisa dipertanggungjawabkan melalui laporan per tri wulan. Kemudian apabila desa-desa tersebut berhasil membangun keberlanjutan pasca mendapat bantuan, maka desa-desa ini mendapatkan penghargaan dari pemerintah, baik dalam bentuk materi atau program lainnya. Hal ini juga bisa menjadi tolok ukur keberhasilan Kepala Daerah di kancah nasional misalnya.
Desa-desa inkubator seperti ini mungkin belum pernah ada di negara manapun di dunia. Bila pemerintah berhasil membawa konsep ini hingga ke tahap implementasi maka saya optimis lagu lama soal kesenjangan desa kota sudah tidak terdengar lagi.
Pemerintah pusat juga bisa punya sistem basis data yang valid desa-untuk desa di Indonesia.
Basis data desa seperti di atas akan berisi informasi yang sangat kaya sekali sehingga corong atau celah korupsi bagi yang diam-diam akan menjadi koruptor bisa ditekan.
Dengan konsep Desa Inkubator dan basis data desa, maka dana desa akan tepat tujuan dan sasaran tanpa lika liku ke desa fiktif yang cepat atau lambat kelak akan berujung di bui atau tanpa iming-iming insentif tapi berlimpah benefit.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H