Seperti biasa, setiap kembali bertugas di Kabupaten Teluk Wondama ingatan saya selalu merasa akan ada kejutan baru di setiap perjalanan. Kejutan itu sering saya rasakan ketika berada di pelabuhan rakyat yang ada di distrik-distrik kepulauan.Â
Bila tiga tahun yang lalu rute kapal penumpang dari Manokwari menuju Wasior hanya mampir di Distrik Windesi, Soughwepu, dan Roon maka tahun ini sudah dibuka rute baru yakni Manokwari-Soughwepu-Roswar-Wasior. Wasior sendiri adalah Ibukota Kabupaten, jantung segala aktivitas perdagangan dan lalu lintas jalur laut.Â
Sebagai informasi, Kabupaten Teluk Wondama ini terdiri dari 13 Distrik yang membentang di sepanjang pesisir Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih.
Roswar sendiri merupakan distrik yang berbentuk kepulauan sendiri, sama dengan Distrik Roon, sehingga ketika rute Manokwari-Roswar-Wasior di buka, saya akhirnya kembali menemukan kejutan perjalanan yang tidak biasa. Kejutan yang jarang saya jumpai ketika kapal penumpang bersandar di Distrik Soughwepu, Windesi dan Roon.
Sebuah ironi: Jual Beli Unik Antara Ikan dan Es Krim
Dari kejauhan saya melihat anak-anak kecil berlarian mendekati  kapal. Saya bertanya-tanya mengapa sekumpulan anak-anak ini tiba-tiba seperti berlomba ingin merapat ke bibir pelabuhan seakan menanti sesuatu depan pintu kapal.
Sementara dari dalam kapal saya melihat koki kapal mengambil coolbox yang sudah terisi penuh dengan es krim dan berjalan ke arah anak-anak pesisir itu berkumpul.
Amboi, ternyata anak-anak itu memadati bibir dermaga merapat ke dekat pintu kapal sembari menjulurkan uang limapuluh ribu untuk membeli es krim. Asal tahu saja, harga es krim bisa berkali lipat harganya karena setahu saya harga normal es krim itu hanya dua ribuan, tapi anak-anak ini membelinya seharga Rp.10.000,00.Â
Lama saya mengamati transaksi jual beli antara si koki kapal yang nyambi menjual es krim bersama anak-anak yang kelihatan girang bukan main ketika berhasil meng-genggam es krim kesukaannya. Saya iseng bertanya ke koki kapal, kira-kira es krimnya sering ludes terjual dan ternyata memang habis terjual. Saya melihat ke arah lain di sisi yang berlawawan, saya melihat mama-mama melakukan transaksi jual beli hasil tangkapan laut dengan penumpang kapal.
Hasil laut yang mama-mama ini jual bukan tangkapan laut biasa, karena kalau ini dijual di restoran harganya bisa sangat mahal. Tapi betapa terkejutnya saya ketika mengetahui harga lobster sebesar lengan orang dewasa itu hanya dijual sebesar Rp.100.000,- atau ikan-ikan berukuran besar yang hanya dijual seharga Rp.50.000,-. Selain tangkapan laut, juga dijual daging babi dan semuanya ludes terjual.
Saya masih memperhatikan dua kegiatan proses jual beli hari itu di Distrik Roswar. Proses jual beli pertama yakni jualan es krim antara koki kapal dengan anak-anak pesisir, dan jual beli tangkapan laut antara mama-mama dan penumpang kapal.
Kejadian itu membekas di kepala saya dan melihatnya ibarat sebuah sinyal atau pesan bahwa betapa kesenjangan ekonomi dan sosial itu sangat nyata dan kalau perlu saya sebut terlihat cukup romantis mengakrabi keseharian penduduk setempat.Â
Kesenjangan itu Mutlak Ada
Mengapa kesenjangan ekonomi ini saya katakan terasa agak memilukan? coba kamu bayangkan, penduduk di Distrik Roswar ini hanya mengandalkan datangnya kapal yang terjadwal cuma  satu kali seminggu, dimana kesempatan itu menjadi harapan satu-satunya menjual hasil tangkapan laut.Â
Pada hari itu juga, mama-mama ini bergembira karena sedikit dari hasil penjualan tangkapan lautnya bisa diberi ke anaknya untuk membeli es krim. Bukankah ini semacam ironi? Pulau yang kaya dengan kekayaan bahari dan hasil tangkapan laut yang berkualitas tinggi namun hanya mampu bertahan dari harapan tipis-tipis pada kapal yang bersandar?
Apa yang saya saksikan hari itu mengingatkan saya pada satu teori klasik tentang kemiskinan yang dihadapi para nelayan, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Teori itu mencoba menganalogikan pada dua paradigma yakni: apakah mereka (nelayan) menjadi miskin karena menjadi nelayan atau mereka menjadi nelayan karena miskin.
Penasaran dengan kondisi yang saya saksikan hari itu, saya tidak bisa menahan diri untuk menanyakannya pada forum pembahasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Tata Ruang Wilayah di salah satu instansi.Â
Penekanan saya pada saat forum itu lebih ke menjawab rasa ingin tahu kemana saja nelayan ini menjual ikannya? apakah hanya mengandalkan kapal angkutan barang penumpang yang sejatinya bukan kapal perdagangan perikanan, dan mengapa tangkapan laut Kabupaten Sorong jauh lebih unggul dan bisa diambil dalam kuota besar?
Dari forum itu saya mendapat sedikit gambaran bahwa secara kualitas perikanan baik Distrik Roswar dan Kabupaten Sorong sebenarnya memiliki potensi yang sama bagusnya. Bedanya nelayan di Sorong memiliki wilayah zona tangkapan laut yang lebih luas sedangkan nelayan di Distrik Roswar belum memiliki peralatan atau perahu berkapasitas khusus untuk penangkapan ikan.
Masyarakat di sini hanya menangkap ikan untuk konsumsi sehari-hari saja, sisanya mereka jual. Adapun pada distrik-distrik lain yang memang menjadi lumbung perikanan ternyata hasil tangkapan perikananya tidak terdata cukup baik di dinas terkait.Â
Bahkan hasil tangkapan laut itu langsung diangkut oleh kapal pengangkut hasil perikanan yang berlayar dari Kabupaten Nabire, Sorong dan ke Distrik Windesi di Teluk Wondama. Kapal ini datang setiap satu kali dalam tiga minggu.Â
Faktor geografis menyebabkan daerah sulit mendata atau sekadar mengetahui adanya tangkapan laut yang dibawa keluar melalui kapal seperti itu. Tapi sungguh tidak bijak bila hanya mengutuki keadaan geografis atas kondisi serba terbata-batannya pemerintah daerah memetakan potensi perikanannya sendiri.Â
Mengapa tol laut yang ada di Kabupaten Teluk Wondama belum menjadi sebuah primadona pemerintah daerah dan masyarakat dalam melaksanakan lompatan/percepatan pembangunan ekonomi? Kenapa ya?
Apakah Sebenarnya Pemerintah Daerah Sudah Tahu Fungsi dan Manfaat Dari Tol Laut?
Program-program strategis ini nyatanya ketika sampai di daerah (seperti tol laut) ternyata tidak sementereng kedengarannya ketika digaungkan pada saat debat capres. Tol laut ini bukan hanya soal bagaimana menyamaratakan/keseragaman harga misal semen di Indonesia Timur dan Pulau Jawa.Â
Tidak sesederhana itu pastinya, Tol laut pasti direncanakan untuk tujuan yang lebih besar, bukan tentang apa yang dari luar dibawa masuk ke daerah, tapi sebaliknya apa yang ada dari daerah yang bisa juga dibawa keluar.Â
Suatu hari saya iseng bertanya ke salah satu pejabat tata ruang, sejauh ini seperti apa sih ketergantungan pemerintah daerah tentang tol laut di daerahnya? Saya menanyakan apakah ada rencana strategis daerah untuk memanfaatkan tol laut ini untuk mendongkrak produk unggulan penduduk yang bisa dibawa keluar,jawabannya ternyata jauh dari ekspektasi saya. Nyatanya masyarakat dan pemerintah daerah belum bergerak sejauh itu.Â
Saya tidak mengatakan apakah tol laut di semua tempat kurang berhasil menggairahkan geliat ekonomi masyarakat. Tol laut ini adalah ide yang sangat jenius sehingga sangat disayangkan bila tidak ada rumusan strategis dalam kerangka program yang jelas tentang apa saja yang akan dilakukan, digerakkan pemerintah daerah agar keberadaan tol laut ini tidak sia-sia.Â
Pembenahan di sana-sini memang diperlukan, terutama dalam level rencana program kerjasama bagi setiap daerah yang menjadi wilayah pelayanan tol laut. Pemerintah harus tahu benar dan punya data cukup detil setiap sektor pertanian, perikanan, perkebunan bahkan peternakan yang kemudian dikelola (packaging produk olahan) sedemikian rupa untuk dibawa melintasi rantai-rantai pemasaran se-Indonesia melalui tol laut.
Dengan mengusung konsep konektivitas antar pelabuhan-pelabuhan di seluruh Indonesia, sudah selayaknya tol laut menjadi salah satu infrastruktur yang layak menjadi primadona setara dengan pembangunan bandara. Tol laut akan menjadi lambang kemaritiman kebanggaan Indonesia bila dikelola dengan benar.Â
Bila tol laut ini berhasil, mungkin saya tidak akan pernah lagi melihat proses jual beli unik antara mama-mama penjual ikan dengan penumpang kapal atau  koki kapal yang menjual es krim ke anak-anak. Dalam segala kondisi ketertinggalan, disitu saya merasa membutuhkan kehadiran senyata-nyatanya peran pemerintah.
Tabik.
***
Tulisan ini disusun dalam seri Travel to Remote: Papua Barat
- Travel to Remote: Keliling Taman Nasional Teluk Cenderawasih
- Trave to Remote: Lelaki Misterius di Pulau Mapimonu
- Travel to Remote: Tol Laut itu Nyata
- Travel to Remote: Keramahan di Yomakan
- Travel to Remote: Tiga Mutiara Baru Pariwisata Papua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H