Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merasakan Energi Nyepi di Ubud

7 Maret 2019   00:55 Diperbarui: 7 Maret 2019   08:41 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah tahu mau libur kemana tahun ini Ra?" pertanyaan seorang sahabat dua tahun lalu itu masih terngiang-ngiang di telinga saya hari ini. 

Bagaimana tidak,waktu itu kami sudah bekerja bagai zombie, puluhan penerbangan dalam beberapa bulan telah sukses membuat kami seperti orang yang tidak tahu mau menikmati apapun selain tidur pulas.

Tiba-tiba saja saya nyeletuk, "Nyepi di Bali yuk, kayaknya seru." Saya melontarkan kalimat itu seketika saja gegara melihat sekilas ke arah kartu pos yang tertempel di dinding kamar, bergambar perempuan Bali dengan gunungan buah-buahan di atas kepalanya. 

Partner yang gila ketemu dengan ide gila maka hasilnya pasti nekat, dan ya jadilah hari itu saya membeli tiket kereta api Jogja-Banyuwangi, dengan rencana pemberangkatan dua hari sebelum perayaan Nyepi. 

Saya sempat was-was waktu itu, khawatir pelabuhan Gilimanuk akan ditutup menjelang perayaan Nyepi namun beruntung ternyata jadwal yang saya pilih masih cukup luang sehingga masih bisa menginap sehari sebelum perayaan Nyepi dilaksanakan. 

Waktu itu kami berangkat sekitar pukul 07.00 pagi dari Stasiun Lempunyangan Yogyakarta menuju stasiun terakhir di Banyuwangi.

Waktu itu teman sudah menyarankan agar membeli tiket pesawat saja karena perjalanan dengan kereta api hanya membuang-buang waktu perjalanan, dengan pertimbangan badan pasti pegal-pegal seharian.

Tapi karena alasan ingin menikmati keseruan perjalanan yang bisa diresapi dalam-dalam selama kurang lebih 14 jam perjalanan maka diputuskan kami naik kereta untuk keberangkatan dan naik pesawat untuk rencana kepulangan ke Jogja.

Bila mengingat perjalanan ini lagi, saya pasti senyum-senyum sendiri mengingat betapa naifnya saya waktu itu, berangkat tanpa bekal informasi apapun selain hanya tahu akan sampai di Ubud. Saya ingin merasakan sensasi "Getting lost" ala-ala backpacker gitu. 

Waktu itu saya hanya berpikir bahwa perjalanan tersebut hanya akan mengandalkan komunikasi dengan penduduk yang saya temui di jalan. 

Saya sudah cukup jengah waktu itu karena begitu ketergantungan dengan telepon genggam pada semua lini kehidupan saya. Sekali-kali saya ingin menikmati sensasi kesasar atau kejutan-kejutan perjalanan yang mungkin saja tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup ini.

Ubud yang Memikat

Untuk sampai di tanah para seniman ini saya harus dikejutkan dengan perjalanan selama 5 jam dari Jembarana menuju Lukluk, kemudian dari Lukluk ke Ubud. 

Saya terkejut karena mengira jarak dari Jembrana menuju Ubud ini kurang dari 2 jam saja sehingga saya tidak membawa bekal sarapan sejak turun dari kapal lalu naik ke bus. Alhasil sepanjang perjalanan saya hanya membayangkan ingin segera cepat-cepat sampai ke Ubud dan mencari warung makan, yang ternyata tidak sesederhana saya cari makan di Jogja. 

Hari pertama sejak tiba di Ubud hanya saya gunakan untuk beristirahat, mengingat keesokan harinya kami akan keliling menyusuri ruang-ruang eksotis di Ubud sembari menunggu arak-arakan Ogoh-ogoh. 

Benar saja, esok harinya keramaian di Ubud mulai terlihat, terutama di trotoar jalan yang dijejali turis berkoper dan beransel besar. Banyak pemandangan yang cukup menggelitik selama menyusuri jalan-jalan setapak di Ubud, salah satunya adalah tingkah dan pola para turis asing di sana. 

Mereka duduk di emperan toko dan di trotoar dengan ransel-ransel besarnya dengan ekspresi entah kecewa atau apa ya, saya hanya menebak-nebak kemungkinan mereka sudah tidak dapat kamar kosong lagi.

Sementara di lapangan utama, saya melihat patung Ogoh-ogoh mulai dijajarkan satu persatu yang mewakili masing-masing desa. Disinilah saya melihat sebuah momen kebersamaan yang cukup kuat yang terjalin antara pemuda-pemuda yang mengusung ogoh-ogoh dengan ketinggian hingga 5-7 meter ke lapangan. 

Saya mengamati setiap patung og0h-ogoh yang diarak ke lapangan, ada patung yang berwujud perempuan, anak kecil dan berwujud menyeramkan seperti raksasa. 

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
(Foto: Dokumentasi Pribadi)
(Foto: Dokumentasi Pribadi)
(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Keseruan lain yang saya temukan ketika ada juga kelompok pembawa og0h-ogoh yang berusia kanak-kanak. 

Dengan kekompakan yang sama dengan kelompok dewasa mereka juga bersorak sorai memasuki lapangan sambil mengusung ogoh-ogoh. Saya sudah tidak sabar ingin menyaksikan kemeriahan malam perayaan sebelum Nyepi dimulai pada pukul 00.00 yang sudah bergitu tersohor ke seantero dunia.

Tepat pukul 17.00 kemeriahan ogoh-ogoh mulai terasa karena seluruh patung ogoh-ogoh setiap desa sudah masuk menuju lapangan utama. yang membuat suasana kala itu cukup membekas adalah iringan musik-musik khas Bali sepanjang pengiringan ogoh-ogoh. 

Wisatawan diberi kesempatan berfoto sebelum ogoh-ogoh ini diarak menuju lokasi perayaan/pesta sebelum Nyepi.

(Foto: Dokumentasi Pribadi)
(Foto: Dokumentasi Pribadi)
Berada dalam atmosfer kemeriahan, kemegahan dan kesakralan yang berbaur menjadi satu membuat saya lupa kalau saya sudah berkeliaran sejak jam 2 siang tanpa merasa lelah sedikit pun. 

Saya seperti anak kecil yang kegirangan ketika ogoh-ogoh ini mulai diarak keluar dari lapangan, dan bersama wisatawan asing lainnya saya berjalan cepat-cepat tidak ingin jauh dari kelompok pengiring musik, takut tertinggal. 

Sedikit lagi mungkin saya juga bisa ikutan gila terbawa energi perasaan lepas, liar dan bebas hanya karena menyaksikan semangat pemuda-pemuda Bali ini memainkan alat muski dan bersorak lantang ibarat menuju medan perang. 

Akhirnya tiba juga saya di lokasi pelaksanaan atraksi pagelaran tari-tarian yang menggunakan obor berapi. Pemuda-pemuda ini kemudian menari secara teatrikal mengikuti naskah cerita yang berbahasa Bali. 

Saya tidak mengerti apa yang dijelaskan sang dalang waktu itu selain karena sekeliling saya juga sudah berubah menjadi seperti orang kerasukan (bukan kerasukan setan).

Tadinya saya berpikir bila wisatawan asing itu cukup kalem dan lebih lebih mudah diatur ketika ada pertunjukan seni seperti ini, tapi nyatanya tidak. 

Meski berkali-kali disoraki sama pecalang agar tidak melewati batas yang ditandai dengan palang bambu agar tidak terus merangsek masuk ke area pertunjukan, nyatanya mereka tetap saling mendorong karena ingin melihat atraksi langka sekali setahun itu.

Suara pecalang di depan saya juga masih terngiang-ngiang, "Back, back, please back" dan tetap saja turis-turis itu semacam ngeyel entah karena tidak mengerti maksud si pecalang atau memang mereka sudah berubah jadi gila dengan atraksi-atraksi lokal seperti itu. 

Saya tidak bisa berbuat banyak karena saya dikepung dengan orang-orang berbadan tinggi hingga nyaris saya tidak melihat secara langsung kemeriahan atraksi tari-tarian para Bli-bli yang rupawan itu. 

Beruntung para wisatawan ini ada yang membawa tongsis, jadilah saya hanya menonton atraksi yang hanya berjarak 3 meter di depan saya, melalui handphone wisatawan dengan cara mendongakkan kepala. 

Melihat saya mulai agak susah payah karena tidak bisa melihat sama sekali apa kyang terjadi di depan, beberapa bule mencoba memberikan saya space agak luang sambil tersenyum ramah. Saya mengambil pelajaran dari sikap mereka yang cukup beradab sekalipun kondisinya sudah agak chaos gegara tetabuhan musik dan tari-tarian penuh energi. 

Selama perayaan berlangsung, ada beberapa ogoh-ogoh yang tidak bisa diarak masuk ke lokasi pagelaran karena ketinggiannya yang melewati kabel-kabel listrik. 

Beberapa kepala dari patung ogoh-ogoh ini ada yang patah ketika dipaksa melewati kabel listrik itu. Saat kepala patung itu ada yang terjatuh, seperti dikomandoi turis-turis ini berteriak kecewa, "ah, oh no!

Menjelang penhujung atraksi, saya mendengar sang Dalang semakin menyoraki para pemuda-pemuda untuk menari segila-gilanya mengekspreikan kemenangan karena sebentar lagi mereka akan membakar ogoh-ogoh pertanda masa Nyepi segera berlangsung. 

Sorakan semangat itu ibarat sebuah isyarat untuk melepaskan segala hawa nafsu dan murka yang membelenggu, bakar dan kemudian masuk ke fase kontemplasi yakni Nyepi.

Jika Sang Dalang bersorak penuh kemenangan, maka saya sendiri menyoraki diri saya sendiri untuk segera pulang. Saya pulang dengan perjuangan ekstra melewati kerumunan orang-orang yang masih memadati jalan. 

Saat itu saya hanya ingin cepat-cepat sampai di kamar dan merebahkan badan setelah seharian mengikuti seluruh rangkaian arak-arakan ogoh-ogoh yang sangat memikat itu.

Ubud, ogoh-ogoh dan kesakralannya berhasil membuat saya tidur pulas malam itu, tanpa berpikir panjang bahwa besok tidak ada makanan yang bisa saya makan selain cemilan ringan dan asin yang saya beli di minimarket. 

Cemilan itu juga yang ludes sebelum jam 12 siang dan membuat lidah saya tak bisa merasakan apa-apa selain ingin cepat-cepat melalui Nyepi dan melahap nasi padang. 

Hingga akhirnya saya berkontemplasi dalam keadaan lapar tak karu-karuan waktu itu, bahwa Nyepi bagi saya adalah proses menahan rasa lapar yang tiada tara. Saya memilih menyerah dengan tidur dan menanti hari esok sesegera mungkin agar bisa berburu Nasi Padang terenak di Ubud.

Selamat Merayakan Nyepi, Selamat Tahun Baru Saka 1941 dan damai selalu di Tanah Para Dewa.

Bersama Pak Sude Kepala Subak Ubud (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Bersama Pak Sude Kepala Subak Ubud (Foto: Dokumentasi Pribadi)
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun