Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Polusi//3: Bintang yang Menghilang dari Kubah Gemilang

25 Februari 2019   07:00 Diperbarui: 25 Februari 2019   07:20 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampakan cahaya malam Indonesia dari ruang angkasa. (NOAA)

Di Indonesia, khususnya, satelit NOAA menunjukkan dengan terang betapa Pulau Jawa menyumbang tingkat polusi cahaya paling besar dibandingkan pulau-pulai lain. Sebagai imbas dari urbanisasi dan kapasitasnya dalam kegiatan ekonomi, benderang kota-kota Jawa hanya "mengizinkan" kita menikmati bintang di kisaran magnitud 1 hingga 3, itupun dengan catatan kamu tidak sedang berada dalam radius 100 meter dari cahaya lampu kafe, jalan raya, konser, atau papan-papan baliho.

Dengan tingkat kedalaman langit yang terbatas itu, sangat sulit menikmati kerlip-kerlip quasar, bintang-bintang jauh, atau "bintang jatuh" yang secara alamiah jauh lebih redup dari pasangan sejati Mars dan Venus, yang di banyak tempat masih nampak cemerlang di ufuk kala senja. 

Kerlip bintang yang kamu nikmati di masa kecil tatkala di sebuah pendopo dekat sawah atau dari serambi rumah di pegunungan, kini menghilang dari keriuhan kubah kota yang gemilang.

Ekonomi gig mendorong terciptanya industri-industri yang ikut dalam gerakan mencintai lingkungan. Walaupun dalam praktiknya penggunaan listrik dan bentuk energi lain kerap diabaikan hubungannya dengan polusi cahaya, itikad-itikad baik dari para astronom amatir, bahkan LAPAN dengan Hari Antariksanya, sedikit bisa meyakinkan kita bahwa ada masa depan yang bisa diupayakan untuk menekan laju polusi cahaya kota-kota kita. 

Inisiatif penting ini tentu saja perlu sokongan pemerintah, bisnis, dan lembaga-lembaga nonprofit lain agar kampanye pentingnya "Malam Langit Gelap" bisa mendapatkan sohor yang sama dengan Earth Hour yang selama ini merayakan penghematan energi secara general.

Jikapun ekonomi berkembang mengikuti permintaan urbanisasi yang meningkat, biarlah setidaknya sejalan dengan kesadaran yang mendekati, bahwa polusi cahaya sama berbahayanya dengan polusi udara, dan juga suara.

Penerima Nobel bidang Kesehatan baru-baru ini dinobatkan kepada satu dari tiga ilmuwan yang mempelajari pentingnya menyelaraskan jam biologis tubuh dengan ritme sirkadia perputaran bumi, alias terbit dan tenggelamnya matahari, ataupun bergesernya bintang-bintang di langit.

 Meskipun di periode-periode sebelumnya Nobel mengganjarkan penghargaan yang sama untuk penemu teknologi LED biru yang kini  menyatu dengan polusi cahaya di kota-kota dunia, patutlah kita bersemangat bahwa urban escape, atau liburan di kota, masih akan bisa sama nikmatnya dengan rural retreat, atau menepi jauh di tepian desa yang gelap.

Karena di manapun jiwa merindukan ketenangan, langit berbintang selalu menunjukkan arah kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun