Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Travel to Remote 1: Perjalanan Jelajah Pulau di Taman Nasional Teluk Cenderawasih

15 Januari 2018   07:29 Diperbarui: 17 Januari 2018   12:07 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya selalu berprinsip tidak merepotkan orang ketika kunjungan kerja atau meminta keistimewaan khusus kepada mitra kerja, termasuk meminta dengan sengaja membawakan barang bawaan saya. Saya hanya mengutamakan kebersihan fasilitas kamar mandi karena saya termasuk orang yang sering berurusan di toilet pada pagi hari. Soal makanan saya selalu bisa menyesuaikan.

Perbedaan cukup mencolok soal makanan selama di Papua adalah jenis makanannya yang serba seafood jadi terkadang di hari ke-lima saya sering merindukan menu ayam penyet. Hal lain yang harus saya persiapkan sebelum bertugas di Papua adalah obat-obatan yakni Pil Kina, dan vitamin atau madu. 

Pil Kina ini dikenal sebagai obat anti malaria, waktu itu saya minum pil yang pada logonya ada tulisan TNI AD. Adapun madu saya selalu membawa 2-3 botol, bahkan 1 botol bisa habis dalam sehari karena saya meminumnya seperti minum air 2-3 teguk. Perihal menahan nafsu makan hendaknya tidak dilakukan bagi kamu yang diet ketika berada di Papua, katanya salah satu cara terhindar dari malaria adalah makan 3x sehari.

Lalu bagaimana dengan kopinya? Nah ini yang ingin saya ceritakan. Jadi entah ini sugesti yang sedang saya bangun sendiri bahwa jika rutin meminum kopi hitam selama di Papua maka daya tahan tubuh saya akan lebih kuat. Saya melihat setiap kali kami menepi di Pulau untuk beristirahat maka para rombongan penduduk lokal ini senang bersantai sembari minum kopi hitam. 

Saya akhirnya mencicipi sedikit demi sedikit karena saya hanya peminum kopi ala caf yang 90% cream dan 10% kopi. Ternyata kopi hitam dengan gula sedikit lebih enak dan bercitarasa di lidah saya. Saya jadi ketagihan minum kopi di pagi dan malam hari layaknya Pak Edi dan rombongan bahkan saya merasa nyaman bercerita apa saja dengan rombongan bapak-bapak itu sambil memegang gelas kopi. Ah rasanya benar-benar seperti menjadi penduduk lokal setempat.

dokpri
dokpri
Kegiatan minum kopi ini bisa menghasilkan beragam tema obrolan. Dari obrolan ringan hingga kehebohan yang terjadi di Ibukota Jakarta kami bahas layaknya gossip, dan mereka ternyata punya pandangan yang cukup objektif pada isu-isu intoleransi. Sembari berkelakar, salah satu rombongan yang bernama Om Gery berpendapat jika saya termasuk berani melakukan perjalanan seperti ini karena staf kantor mereka tidak semua berani melakukan kunjungan distrik dengan alasan takut dengan gelombang tinggi.

Perjalanan menuju 10 Pulau di Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih rencananya akan kami selesaikan selama 6 hari. Pak Edi meminta saya dan teman dari Jogja agar cukup makan dan beristirahat ketika malam hari. Kata Pak Edi kita tidak pernah tahu apa yang terjadi selama perjalanan ini, tapi kita terus berdoa semoga Tuhan melindungi kami dari marabahaya dan kembali dengan selamat. 

Pak Akwan juga menambahkan agar tidak mengotori pulau dan tidak mengeluarkan kata-kata kotor selama berada di pulau. Tidak peduli kamu seorang yang percaya atau tidak pada hal gaib tapi bagi Pak Edi, Pak Akwan, Pak Marten, Om Gery, Om AKu dan Motor race bahwa di Tanah Papua segala sesuatu bisa saja terjadi dan di luar akal sehat.

Siang itu selepas melakukan survei di Distrik Windesi kami kembali melanjutkan perjalanan di Distrik Rumberpoon pada pukul 13.00 dan rencananya akan menginap di Pulau Purup. Perjalanan ini masih Panjang dan kami rombongan dari Jogja baru menuntaskan 1 distrik. Perjalanan panjang ini tentu menyimpan keseruan, ketegangan dan permenungan sepanjang perjalanan ini. Layakya Eric Weiner jurnalis The New York Times yang senang merekam jejak perjalanan dalam jurnalnya, saya pun berharap tulisan ini sebagai pembuka bagi perjalanan-perjalanan berikutnya di Kawasan Taman Nasional Teluk Wondama.

                                                                                                                                                            ***

Baca seri travel:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun