Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Travel to Remote 1: Perjalanan Jelajah Pulau di Taman Nasional Teluk Cenderawasih

15 Januari 2018   07:29 Diperbarui: 17 Januari 2018   12:07 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelombang tinggi yang membuat perahu oleng ke kanan dan kiri menyebabkan saya dan dua orang surveyor cukup tegang. Ini bukan perjalanan pertama saya menyeberangi laut lepas di perairan Kawasan Taman Nasional Teluk Wondama, tahun 2016 bersama rombongan Dinas Pariwisata dan teman-teman dari WWF saya mengawali perjalanan menyeberangi lautan lepas dengan perahu motor dan minim fasilitas keamanan. Tahun 2017 saya kembali menyeberangi perairan Teluk Cenderawasih dan sensasi menyeramkan itu ternyata tetap saja mengganggu ketenangan saya.

"Ra, ini masih lama gak nyampenya?" seorang teman akhirnya mengeluarkan suara di tengah keheningan dan ketegangan. Dengan wajah pura-pura tenang saya pun menjawab santai bahwa sebentar lagi kita tiba di Distrik Windesi. Tidak ingin berlama-lama merasakan ketengangan bersama dua orang teman yang sudah terlihat pucat saya akhirnya memberanikan diri duduk di belakang dekat dengan mesin perahu bersama penumpang lainnya. Bersama mereka saya merasa lebih tenang sekalipun tinggi gelombang laut semakin terlihat jelas.

Dalam keadaan penuh tegang Saya melihat Pak Edi memegang tali pancing yang diurai di pundaknya sambal terkantuk-kantuk. Saya membatin sendiri bagaimana bisa Pak Edi merasakan kantuk di tengah suasana perjalanan yang sangat menyeramkan ini. Saya tidak bisa membayangkan mengapa saya ada di dalam perahu motor yang hanya mengandalkan mesin perahu dan beberapa gallon solar untuk menyeberangi lautan lepas dan tanpa pelampung. Ibaratnya jika kemungkinan terburuk benar-benar terjadi, perahu motor terbalik maka saya akan mengincar drum kosong sebagai media pelampung saya.

Dalam lamunan yang semakin ngawur tersebut tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara Pak Akwan yang berteriak kencang persis di samping telinga saya. Semua orang tiba-tiba berdiri, bahkan teman saya yang ada di dalam dek kapal mulai memegangi dinding perahu dengan wajah pucat tangan gemetaran. Saya pun panik karena Pak Edi dan rombongan berbahasa Papua tanpa satu kata pun saya pahami.

"Pak Edi, pak Edi ini ada apa?" saya mulai panik dan rasanya seperti ingin menangis membayangkan hal buruk yang akan terjadi beberapa waktu kemudian. Pak Edi lalu menarik tali (tasi) dengan tangan kosong yang tidak terbungkus sarung tangan lalu perlahan-lahan menarik tali pancing kemudian perahu motor perlahan mengurangi kecepatan. Ternyata dibalik kepanikan siang itu, Pak Edi berhasil menangkap ikan yang sangat besar. 

Saya belum pernah melihat ikan hasil pancing di laut sebesar yang ditangkap Pak Edi. Mungkin perumpamaan ini terlalu berlebihan tapi seperti itu yang saya saksikan. Warna sisik ikan itu dominan merah dengan mulut yang masih setengah terbuka. Ikan itu langsung ditangkap dan ditaruh dalam storageberisi es dalam keadaan masih setengah hidup.

dokpri
dokpri
Saat Pak Edi berhasil menangkap ikan merah itu, tiba-tiba para rombongan berteriak heboh dan sekali lagi dengan Bahasa Papua. Mereka kelihatan begitu senang sembari menepuk pundak Pak Edi yang memang nampak lebih kekar dibanding rekan-rekannya yang lain. Saya membayangkan berada dalam acara "Mancing Mania" dimana ketika para pemancing berhasil menangkap ikan maka mereka bersorak "Strike" Mancing Mania Mantap!

Pengalaman itu cukup berkesan, lucu dan konyol bagi saya. Sesuatu yang awalnya saya pikir adalah keadaan darurat nyatanya adalah ekspresi antusias karena berhasil mendapatkan ikan. Lalu Pak Edi setengah berterik "Horee, Mbak Ratih su tidak kelaparan lagi, kita nanti bakar-bakar ikan Mbak, ayo kita jalan sudah!"

Perahu motor kembali melaju kencang menantang gelombang di sekelilingnya dan saya kembali merenung, mencoba tenang sepanjang perjalanan.

dokpri
dokpri
Papua, Tentang Malaria dan Kopi Hitam

Saya tidak bisa mengungkapkan betapa terharunya saya berada di tengah-tengah rombongan penduduk lokal Teluk Wondama. Betapa mereka sangat memperhatikan kenyaman saya selama perjalanan termasuk logistik makanan dan obat-obatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun