Kejutan lain yang memacu adrenalin dan seketika saja semua doa dan dzikir keluar di mulut saya adalah ketika menyeberangi lautan lepas keluar dari gugusan pulau-pulau kecil di perairan Teluk Wondama menuju Pulau Yomakan. Waktu itu saya bepergian di awal bulan Desember yang dikenal oleh penduduk setempat sebagai musim gelombang tinggi. Jika kapal speedsaja bisa oleng ke kanan ke kiri, apa jadinya jika yang saya tumpangi itu hanya perahu kecil dengan mengandalkan dua mesin turbo.
Perjalanan ke Kampung Yomakan memang seru sekaligus menyadarkan saya, betapa kecilnya kami (sekumpulan manusia dan perahu) di tengah lautan lepas seperti itu. Kengerian sepanjang perjalanan menuju Kampung Yomakan akhirnya tercurah ketika kami bersantap malam di salah satu rumah penduduk yang menyediakan fasilitas berbagi ruang bagi wisatawan. Kengerian itu berubah jadi gelak tawa begitu tahu salah satu rekan kami yang sepanjang perjalanan kelihatan tangguh tidak takut ternyata sudah memikirkan ingin menggunakan jerigen kosong jika tahu-tahu perahu kami terbalik.
Rumah-rumah mereka ini terdiri dari ruanng tamu, ruang keluarga, dua kamar tidur dan ruang makan yang bergabung dengan dapur. Ruang makan ini memang agak luas, cukup untuk menampung 13-15 orang untuk duduk lesehan. Ruang tamu, ruang keluarga ini lah yang mereka gunakan sebagai kamar tidur bagi tamu-tamu yang datang rombongan.
Dapurnya di rumah ini bersih, dan anaknya juga ikut membantu kami memasak. Saat makan, mereka tahu cara menyajikan peralatan makan dengan baik, mereka juga menolak ketika kami ajak makan bersama. Pemilik rumah dan keluarganya baru ikut makan setelah kami selesai makan.
Entah penduduk Yomakan sadar atau mengerti soal konsep jenis-jenis penginapan, tetapi menurut saya mereka sudah berhasil menerapkan konsep Air B&B seperti yang banyak dilakukan pemilik properti di kota-kota besar. Malam harinya mereka menggelar tikar dan memberi bantal untuk masing-masing orang, selimut juga disediakan.
Sebelum tidur pemilik rumah juga menanyakan kira-kira ingin dibangunkan jam berapa dan memohon maaf bagi yang muslim di desa mereka memang tidak ada masjid jadi jika ingin shalat mereka sudah menunjukkan ruangannya, dan memberi tahu arah kiblat. Mereka pasti tahu arah mata angin, karena mereka adalah sahabat laut yang beratapkan langit malam. Insting alam dan cara mereka membaca tanda-tanda alam dari hembusan angina, kepekatan udara cukup membuat saya terkesan.
Sebelum akhirnya saya benar-benar terlelap, sesekali saya membayangkan kejadian di perahu motor tadi. Bagaimana caranya, nelayan yang tanpa GPS (Global Positioning System) tahu kapan harus berbelok, memutar arah ketika berada di tengah lautan, yang sejauh mata ini memandang sekelilingnya hanya ada lautan luas dan riak ombak. Sambil memikirkan itu semua, sayup-sayup saya mendengar lagu India yang berbunyi dari handphone yang belum memiliki kualitas stereo yang cukup ngebass.
Ingatan saya berikutnya tentang lagu-lagu India. Lagu India ini ibarat rempah-rempah, langka dan bikin nagih. Lagu India mampu menembus jarak ribuan kilometer, gelombang laut yang tinggi untuk sampai di salah satu kampung terpencil di Papua. Entah kesamaan apa yang menjadikan lagu India jadi pengantar tidur putri si pemilik rumah, yang jelas ketika saya terbangun pukul 02.00 pagi lagu India itu masih mengalun sayup-sayup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H