Perjalanan berakhir di Pulau Rumberpon, sekitar 2,5 jam perahu ke arah timur hingga dermaga Kampung Yomakan. Ditemani Mas Pasai dan WWF, saya disambut keramahan yang agak berbeda ketika saya berada di Kampung Yende. Masyarakat di Yomakan terlihat tidak canggung lagi melihat pendatang. Pemerintah provinsi sengaja mengundang WWF untuk membantu pelestarian alam laut di sini. Mereka lalu menanam kima dan membina penangkapan ikan lestari tanpa bom ataupun racun.
Kini beberapa pemuda aktif melaporkan kegiatan penyelaman illegal atau kapal-kapal wisatawan yang beroperasi tanpa izin. WWF juga membina ibu-ibu rumah tangga untuk menyambut tamu. Jadinya, sebagian rumah penduduk di Yomakan dapat digunakan sebagai penginapan atau berbagi-ruang ala AirBnB. Biasanya wisatawan membawa makanan lalu dimasak di dapur pemilik rumah, lalu makan bersama. Ruang tamu disulap jadi ruang istirahat. Sanitasinya juga lebih bagus, terlihat dari toilet bersih dan terpisah dari kamar mandi.
Kampung Yomakan cocok sebagai wisata ekologi, bagi peneliti ataupun orang awam. Aspek amenitasnya pun unik karena memanfaatkan rumah-rumah penduduk sebagai penginapan. Namun fasilitas penunjang lainnya seperti kesehatan dan balai penelitian mutlak diperlukan. Pendapatan dari penyewaan kamar-kamar bisa dikelola secara langsung oleh penduduk. Selain itu, perlu museum khusus merangkum informasi kekayaan bahari dan sejarah pelestarian. Lebih mantap lagi, terdapat paket wisata Terumbu Karang, Ikan Paus atau pelepasan Penyu pesisir.
- Diperlukan infrastruktur pariwisata untuk mengimbangi semangat warga lokalnya yang begitu besar.
- Tiap-tiap destinasi wisata dikembangkan sesuai potensi utamanya, Kampung Yende dengan wisata religi, Pulau Auri dengan bahari, dan Kampung Yomakan dengan konservasi.
- Diperlukan tenaga dan aturan profesional untuk dive master dan jasa pelayanan kapal-kapal pesiar, yang dikelola oleh pengusaha yang visioner.
- Pintu masuk kapal-kapal wisata masih terpusat di Manokwari di mana destinasi-destinasi lain masuk paket wisata Raja Ampat. Diperlukan regulasi rute pelayaran dari Raja Ampat dan Kapal Super Yatch dari Australia melalui CAIT (yang mengatur izin teritori perairan Indonesia).
- Rencana pengembangan destinasi sebaiknya dilakukan dengan FGD terlebih dahulu, melibatkan kampung, pemerintah, pebisnis, komunitas olahraga, konservasi, serta akademisi.
- Menyambut Sail Wondama 2019, SDM harus ditingkatkan dari sekarang. Libatkan masyarakat lokal dan pemuda dalam event-event berskala internasional, termasuk penyelenggaraan MICE (Meeting, Incentive, Exhibition, Conference).
- Fasilitas pendukung seperti rumah pelatihan, rumah sakit, kantor BPBD, dan sanitasi harus bersih dan aman. Dibutuhkan teknologi berkelanjutan agar bisa bersaing dengan Thailand dan Malaysia.
- Setelah produk terbentuk, diperlukan strategi BAS (Branding, Advertising, Selling). Ini penting untuk menguatkan ciri khas ketiga pulau di Kabupaten Teluk Wondama. Branding dapat berupa “Segitiga Mutiara Wondama”. Pemasarannya menggandeng maskapai penerbangan lewat in-flight magazine. Sedangkan selling-nya dapat mengoptimalkan dengan komunitas surfing, diving atau fotografi.
- Manajemen pengunjung (visitor management) akan membatasi kapasitas kunjungan 500 hingga 1.000 orang per hari dengan penyelaman maks. 100. Penyelaman wajib didampingi tenaga bersertifikat, berpengetahuan, dan fasilitas berorientasi pada pengurangan limbah non-degradable.
- Pembuatan website yang up-to-date memuat rute, jadwal kapal, akses darat, fasilitas wisata, penginapan, biro perjalanan, pemandu. Diperlukan pula komunitas media sosial di Instagram, Facebook, dan Twitter yang dikelola oleh duta-duta wisata yang ditunjuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H