Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Cara Sendangsono Lestarikan Air

5 Mei 2015   11:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_415092" align="alignnone" width="600" caption="Penataan kawasan ziarah umat Katolik di Sendangsono, Kulonprogo. (Foto:Ratih Purnamasari)"][/caption] Akhir tahun 2013, saya berkunjung ke tempat ziarah umat Katolik, Sendangsono di Kabupaten Kulonprogo. Saya menempuh perjalanan ke Sendangsono melalui Jalan Magelang lalu belok kiri tepat di Pasar Muntilan. Berawal dari buku yang menceritakan penataan lingkungan di kawasan ziarah Sendangsono, saya kemudian memutuskan untuk melihat sendiri desain tata kawasan dan lingkungan di Sendangsono. Sebelumnya, Dosen saya pernah mengajak kami ke Kali Code (Yogyakarta) untuk melihat penataan kampung dan pengelolaan air bersih di kampung Code. Dosen saya menyebut nama Romo Mangunwijaya sebagai tokoh yang punya peran penting dalam penataan kampung Code. Romo Mangun menggerakkan komunitas untuk memberikan pendidikan di Kali Code, termasuk cara-cara memelihara sungai Kali Code. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Kampung Kali Code, Kota Yogyakarta (Ratih Purnamasari)"]

Kampung Kali Code, Kota Yogyakarta (Ratih Purnamasari)
Kampung Kali Code, Kota Yogyakarta (Ratih Purnamasari)
[/caption] Rumah penduduk dibangun dengan menghadap sungai, bukan membelakangi sungai, tujuannya agar penduduk tidak melihat sungai sebagai tempat sampah melainkan bagian dari hunian mereka atau halaman rumah mereka. Hal yang sama juga saya temukan di kawasan Sendangsono, Romo Mangunwijaya menata lansekap sesuai kontur kawasan yang berbukit. Pada bagian tengah kawasan Sendangsono ada sungai yang membelah dua sisi kawasan. Masing-masing sisi di sungai ini ditata dengan apik oleh Romo Mangun dengan membuat undakan bersusun-susun dari batu alam. Undakan ini mirip tangga-tangga kecil dan tidak dibeton, sehingga masih tersisa area resapan air pada dua sisi sungai ini. Nama Sendangsono berasal dari gabungan dua nama, Sendang yang berarti air dan Sono yang berarti pohon. Sendangsono artinya air yang berasal dari pohon Sono, karena di kawasan ini memang banyak sekali pohon seukuran beringin. Bangunan yang menarik di kawasan Sendangsono adalah menara air atau tempat penampungan air. Air dari bangunan menara ini kemudian disalurkan ke keran-keran yang disediakan dan pengunjung lalu membasuh muka atau mengisi botol mereka dari air ini. [caption id="attachment_415093" align="aligncenter" width="450" caption="Tempat penampungan air Sendangsono (Foto:Ratih Purnamasari)"]
14308003831912989406
14308003831912989406
[/caption] [caption id="attachment_415094" align="aligncenter" width="600" caption="Air dari tempat penampungan kemudian dialirkan ke pipa dan keluar dari keran air untuk digunakan pengunjung (Foto:Ratih Purnamasari)"]
1430800437234514332
1430800437234514332
[/caption] Air Sendangsono dan asal usul namanya mengingatkan pada daerah kelahiran saya di Kabupaten Bantaeng (Sulawesi Selatan). Kabupaten Bantaeng juga punya Eremerasa, artinya air yang mengalir melalui akar pohon. Eremerasa terletak di Desa Kampala Kecamatan Eremerasa, 45 menit dari Kota Bantaeng. Kontur Sendangsono yang berbukit juga sama dengan di Eremerasa, untuk mencapai permandian Eremerasa ada sekitar 70-100 anak tangga yang dilalui. Orang Bantaeng percaya, tidak akan habis air di daerah ini karena sumber air di Gunung Lompobattang dikenal sangat melimpah. Bahkan mereka percaya sumber air yang mereka nikmati dari pegununungan Lompobattang adalah salah satu sumber air terbaik yang pernah ada. Walaupun saya sebenarnya tinggal di bagian pesisir Kota Bantaeng, tapi air yang saya konsumsi tidak asin. [caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="Permandian alam Eremerasa Desa Kampala Kabupaten Bantaeng (Foto:Ratih Purnamasari)"]
Permandian alam Eremerasa Desa Kampala Kabupaten Bantaeng (Foto:Ratih Purnamasari)
Permandian alam Eremerasa Desa Kampala Kabupaten Bantaeng (Foto:Ratih Purnamasari)
[/caption] Beda halnya ketika saya pernah tinggal di Makassar, karena termasuk daerah pesisir maka air yang saya konsumsi rasanya memang agak asin meskipun sudah dimasak. Air yang saya gunakan di Makassar bukan air dari PDAM, tapi air dari sumur bor sehingga warnanya tidak sejernih air leding. Pakaian saya biasanya agak kekuning-kuningan jika mencuci menggunakan air sumur tadi. Tidak mudah mendapatkan air PDAM untuk anak kos-kosan di Kota Makassar, karena jika ingin menikmati air PDAM, maka harus mengeluarkan biaya lebih setiap bulan. Setelah tidak tinggal kosan, dan memilih mengontrak rumah saya kemudian menggunakan air PDAM. Setiap bulan harus membayar Rp.40.000-70.000. Ini untuk konsumsi satu orang saja, bagaimana dengan pemakaian rumah tangga? tentu lebih mahal lagi. Khawatir Berlebihan Karena Air Semakin lama saya jadi agak khawatir dengan air yang dikonsumsi setiap hari, apalagi selama ini saya terus menetap di kota besar yang beban lingkungannya juga tidak kalah besarnya. Jika dimasa kanak-kanak, saya justru lebih percaya dengan air yang telah dimasak, maka sekarang sebaliknya. Sekarang saya mulai ragu menggunakan air leding atau sumur lalu memasaknya di pemanas air. Pengalaman lain yang membuat saya agak paranoid adalah munculnya iklan air kesehatan yang diproses dengan menggunakan alat-alat canggih. Iklan ini jelas mempengaruhi saya, iklan ini menunjukkan buruknya kualitas air di perkotaan, seperti kandungan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Iklan ini semakin meyakinkan saya jika air yang saya konsumsi dengan dimasak saja itu tidak cukup, saya butuh teknologi super untuk mengolah air yang dikonsumsi agar bebas bakteri berbahaya. Mengerikan bukan? Karena paranoid tadi, saya jadi sering membanding-bandingkan kualitas air dari beberapa merek air mineral yang saya konsumsi. Saya mengumpulkan botol-botol air mineral ini lalu membaca keterangan kandungan dan sumber air ini berasal. Yang unik dari beberapa botol mineral yang terkumpul, saya menemukan botol mineral yang menyediakan informasi kandungan air yang diperlukan dengan visual yang menarik. [caption id="attachment_415097" align="aligncenter" width="600" caption="Beberapa merek air mineral yang saya konsumsi (Foto: Ratih Purnamasari)"]
1430800694403751059
1430800694403751059
[/caption] Botol mineral ini saya dapatkan di salah satu acara dan waktu itu saya tidak membeli langsung jadi kurang tahu harganya. Saya cari tahu harganya ternyata harganya sekitar Rp.9.000,- cukup  mahal untuk air mineral 200ml. Mungkin karena kandungan yang terdapat di dalam air ditambah infografis yang menarik disampulnya jadi harga air mineral ini cukup mahal. Bagaimanapun juga itu iklan ini juga termasuk yang membuat saya lagi-lagi paranoid soal air minum. Waktu survei di Jakarta Utara Tahun 2013, saya mendatangi perkampungan kumuh disana. Pulangnya ketemu dengan bapak yang mendorong gerobak berisi jerigen. Saya tanya isi jerigennya, katanya isinya air PAM. Air ini dijual ke warga di pemukiman kumuh. Harganya cukup mahal juga sekitar Rp.20.000/jerigen untuk satu kali konsumsi tentunya. Jika dihitung-hitung kebutuhan air saya sehari selain minum kira-kira 60-100 liter/hari. Misalnya per jerigen berisi 20 liter air berarti saya harus membayar Rp.60.000 setiap hari. Cukup mahal bukan? [caption id="attachment_415099" align="aligncenter" width="400" caption="Penjual air PDAM (Lokasi Jakarta Utara, foto Ratih Purnamsari)"]
14308007521400048482
14308007521400048482
[/caption] Beruntung saya tinggal di Jogja, walaupun di kosan saya hanya menggunakan air sumur saja tapi kualitas airnya masih bagus. Tidak berwarna kuning keruh, tidak berbau dan masih segar. Namun saya tetap khawatir, 5 atau 10 tahun mendatang mungkin kualitas air sumur di Kota Jogja tidak lagi sebaik kondisi sekarang. Melestarikan air secara kolektif kadang membuat saya bingung apalagi jika berbicara tentang pengelolaan air berkelanjutan. Saya lebih memahami konsep praktis pelestarian air yang diterapkan Romo Mangunwijaya baik di Kali Code dan Sendangsono, atau seperti cara warga Desa Kampala di Kecamatan Eremerasa yang melestarikan air dengan menataati aturan batas hutan konservasi dan hutan pemanfaatan terbatas. Konsep praktis keduanya lebih general namun tepat sasaran jika yang dimaksud adalah pengelolaan air berkelanjutan, bukan dengan iklan air yang berbayar dan menakut-nakuti konsumen. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun